Langkah kaki lunglai itu masih saja terayun. Entah kemana Adam membawa laju langkahnya itu, yang pasti dia butuh suasana tenang saat ini, sampai dia berhenti di depan warung Andini.
Di lihat warung itu sepi, dimana penjualannya? Pikir Adam yang semakin mendekati kursi panjang di depan warung.
Dia pun duduk begitu saja di depan warung tersebut, dengan sesekali mendesah. Dan mencoba terus menghubungi nomor Nesa yang masih tidak aktif itu.
'apa aku kelewatan ya?' batin Adam yang mulai merasa bersalah. Memang selama ini istrinya itu kurang apa?
Karena Nesa memang tidak pernah terdengar membantahnya selama ini.
Apapun yang ia titahkan, Nesa selalu menjawab dengan iya. Dia bahkan selalu berusaha menjadi air yang tenang ketika Adam sedang menjadi bara.
Lalu kenapa hanya karena tidak menjawab telfonnya selama seharian, dia jadi seegois ini dan bahkan memintanya untuk keluar dari pekerjaannya itu.
Saat ini mungkin Nesa sedang sedih. Aaahhh entah lah, mungkin karena rasa rindu sehingga membuatnya hilang akal. Adam menggaruk kasar kepala di bagian belakangnya, matanya terus saja tertuju pada layar ponsel di tangannya, beberapa pesan permintaan maaf sudah dia kirim ke Nesa.
Dan akibat nomor yang masih tidak aktif itulah. sedikit membuatnya uring-uringan.
Hingga di sisi lain Andini yang baru saja dari toko kelontong terkejut. Dia pun bergegas mendekati Adam.
"Mas... Maaf, sudah dari tadi ya?" Tegur gadis itu dengan kantung kresek sedang di tangannya.
Adam mengangkat kepalanya, "Oh... Enggak mbak. Baru saja." Jawab Adam yang kembali menurunkan kepalanya, dan kembali fokus pada ponselnya.
"Masnya mau pesan sesuatu lagi?" Tanya Dini.
Pria itu menoleh ke kiri dan ke kanan, di lihat warung itu sepertinya sudah mau tutup. Karena plastik kerupuk dan beberapa makanan yang biasa menggantung di luar pun sudah di masukan ke dalam warungnya.
"Mbak Dini mau tutup ya?" Tanya Adam.
"Iya mas, tapi kalau masnya mau pesan sesuatu, bisa saya buatkan kok. Cuma yaaa... itu, kalau mau gorengan yang agak banyak seperti tadi, sudah tidak bisa membuatnya. Bahan-bahannya sudah habis mas." Jawab Dini. Adam pun tersenyum.
"Nggak mbak, kalau mbak mau tutup dan mau pulang, silahkan. Saya cuma mau numpang duduk saja di sini mbak." Ucap Adam.
Andini mengamati raut wajah tidak seceria biasanya. Walaupun Adam memang pendiam selama ini, namun sepertinya untuk yang ia lihat sekarang. Sepertinya lain. "Emmm... Kalau masnya mau saya buatkan kopi, masih bisa saya tunggu kok." Ucap Andini. Adam pun menatap senyum tulus di bibir Andini membuat dia kembali menunduk.
"Ya... Ya sudah, tolong segelas ya mbak." Ucap Adam.
"Iya." Gadis itu bergegas masuk ke dalam warungnya. Dimana kepala Adam kembali terangkat mengarah pada Andini.
Lalu menghela nafas. Dan kembali fokus pada ponselnya.
Hingga tak berapa lama, Andini kembali keluar dengan segelas kopi di tangannya, meletakkan kopi itu di hadapan Adam lalu kembali masuk, menata semua yang perlu di tata.
Sementara Adam sendiri mulai meletakkan ponselnya di atas meja, lalu mencoba meraih bungkusan kacang telur yang berada di keranjang kecil, tidak jauh dari gelasnya.
"Mbak Dini?" Panggil Adam seraya membuka bungkusan kacang telur itu.
"Ya mas?" Masih sibuk menata barang.
"Maaf, mbaknya memang sendiri gitu?"
"Maksudnya?"
"Ya, anak mungkin."
"Saya ada anak perempuan mas." Jawab Dini.
"Oh, umur berapa?"
"Sekitar tujuh tahun sudah SD kelas dua." Jawabnya.
"Sudah besar berarti ya?"
"Iya mas." Dini masih sibuk membersihkan semua dan Adam pun hanya membulatkan bibirnya manggut-manggut. Hening sejenak, karena Andini sepertinya sedang sibuk berkemas, sehingga membuat Adam memutuskan untuk tidak menggangunya. Setelah selesai dia pun duduk di dalam warungnya. "Mas nya kok sendirian? Nggak sama teman-temannya? Ini kan malam Minggu."
Adam tersenyum, dia meraih gelas itu lalu menyeruputnya. Takkk... Meletakkan lagi gelas itu di atas piring kecilnya. "Memang kenapa kalau malam Minggu, itu kan buat yang jomblo. Saya kan nggak jomblo. Nih..." Adam mengangkat tangannya menunjukkan cicin pernikahannya.
"Hahaha... Masnya jujur ya, sudah punya istri gitu. Biasanya kan laki-laki kalau di perantauan suka ngaku bujangan, atau duda."
"Nggak lah mbak, sini mbak duduk di luar saja. Kali saja bisa ngobrol yang lebih enakan." Ucap Adam yang melihat Dini hendak duduk di kursinya.
"Di sini saja mas, nggak enak sayanya."
"Enggak enak sama siapa?"
"Ya sama warga di sini."
"Hahaha iya deh, Oh... Mbaknya nggak di apelin pacar gitu." Ngeledek.
"Masnya nih ya... Memang aku masih anak remaja apa di apelin." Terkekeh.
"Ya habis mbaknya kaya masih muda sekali. Kalau boleh tahu, mbaknya umur berapa sih?"
"Sekarang dua puluh lima tahun mas."
"Waduh, memang masih muda sekali. Maaf lagi mbak, yang saya tahu mbak kan sendiri ya dan pernah menikah, memang dulu menikahnya umur berapa."
"Delapan belas tahun mas." Jawab Andini.
"Wah... Masih bocah sekali." Ucap Adam yang semakin tertarik dengan obrolan ini.
"Iya, dulu saya kan cuma lulus SMP mas. Dan di lamar mantan suami itu saja sebenarnya saya pas lagi kerja di Jakarta sebagai seorang asisten rumah tangga."
"Oh... Jadi suami mbak warga desa ini juga?" Tanya Adam.
"Iya mas... Cuman ya itulah, karena menikah mendadak, jadi nggak awet." Terkekeh.
"Oh..." Adam meraih gelas kopinya, menyeruput lagi.
Angin malam semakin berhembus, Adam pun mendesah. "Mbak, saya boleh bertanya?"
"Boleh mas." Jawab Dini halus.
"Misalnya nih, suami mbak merantau jauh. Terus mbaknya sudah tercukupi dari hasil kiriman suami mbak, apa mbak Dini masih mau bekerja?" Tanya Adam.
"Tergantung mas... Kalau ada satu alasan yang mengharuskan saya bekerja ya saya bekerja."
"Walaupun sudah cukup Begitu? Dan anak jadi kurang terurus?" Tanya Adam.
"Kalau itu sih, mungkin saya akan memilih menanggalkan karir saya. Dan beralih untuk mengurus anak, karena mau bagaimana pun. Anak butuh sentuhan seorang ibu kan?" Dini berucap sembari mengingat Fika, dengan tatapannya yang kosong dan sendu.
"Nah itu... Seharusnya seperti itu kan?"
"Iya... Seharusnya. bahkan saya iri jika ada seorang wanita yang bisa bersama anaknya sepanjang hari."
'duh... Kok dia jadi sedih sih kelihatannya.' batin Adam yang menyadari gadis di dalam warung itu seperti merasakan kesedihan saat ini.
"Iri?" Tanya Adam.
"Iya, saya iri karena tidak bisa seperti mereka yang bisa bersama anaknya sepanjang waktu." Dini mendesah. "Di luar sana Ada sebagian wanita yang dengan sengaja mentelantarkan anaknya, atau mungkin dengan egonya lebih memilih karir dia, menyia-nyiakan waktu, sementara seorang ibu yang kasusnya sama seperti saya, sangat menginginkan untuk bisa bermain bersama buah hatinya sepanjang waktu." Dini tersenyum kecut dengan mata yang sudah menganak sungai. dia pun tersadar lalu terkekeh. "Loh kok saya jadi kaya curhat. Maaf ya mas." Mengusap matanya yang basah, Adam pun tersenyum.
"Tidak apa mbak... Maaf ya, jadi buka masalah mbak."
"Aiiihhh... Nggak papa mas. Sungguh."
Keduanya terdiam sejenak, menikmati suasana hening di malam itu. Meratapi nasib masing-masing, namun lebih ke Dini sih. Sementara Adam, hubungannya dengan Nesa masih bisa di perbaiki. Mungkin besok juga sudah baik-baik saja. Karena memang cekcok antar suami istri itu sudah biasa bukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
adning iza
itulah knp dianjurkn hya bermunajat kpd Allah jgan pernh curhat sma sesama makhluk krn pd dsary mreka tak tau inti dr pkok msalh itu sndri jdiy slah ambil kputusan,,ingatlah Allah maha tau tanpa diberi tau,,
2023-11-03
0
novi 99
Adam kepala keluarga tapi kok lemes mulutnya ....
Curhatnya sama perempuan pula ... apa Andini sangat polos sampai gak ngerti maksud pertanyaan Adam mengarah kemana.
Nikah dadakan kenapa Andini ???
maaf Andini bukan gadis lagi , tapi wanita ... klo baca " gadis itu serasa lupa status Andini yang sekarang 🙏🙏🙏
2022-12-05
0
istri gong ou
makanya klo lagi maragan sama pasangan jgn keluar rumah nanti ketemu orang curhat apalagi lawan jenis wah bisa jadi tanda tanda nih apalagi klo merasa nyaman
2022-05-07
0