Ningrum terbangun di sebuah tempat seperti ruangan namun tidak terdapat dinding pembatas apapun di dalamnya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna putih saja.
"Bocah manusia. . ." Ningrum menoleh ke arah datangnya suara, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat seekor naga berukuran sangat besar berwarna hitam legam. Penampilannya sangat menyeramkan menurut Ningrum, taring - taring panjangnya mencuat keluar dari sela bibir naga tersebut bagaikan pedang tajam yang siap merobek - robek tubuh lawannya.
"Apakah kau yang dikirim kemari oleh Kasih Pertiwi sebagai pewarisnya?" Naga Guntur bertanya pelanggan namun suaranya bergema di tempat itu.
Ningrum walaupun merasa takut setengah mati namun tidak lantas menjadi gugup. Gadis itu lalu menjawab
"Benar, aku datang kemari atas perintah guruku untuk menyempurnakan ilmu ajarannya dengan cara mengalahkanmu" katanya dengan tegas tanpa terlihat takut sedikitpun.
"Hmm. . . Baiklah, kita tidak usah berbasa - basi lagi. Akan memakan banyak waktu nanti. Mari perlihatkan semua yang sudah kau dapatkan dari Kasih Pertiwi kepadaku"
"Baiklah, Naga Guntur. Bersiaplah, aku akan memulai" teriak Ningrum berapi - api.
Ningrum mengawali serangannya dengan Jurus Umbak Segara yang menitik beratkan pada serangan dengan gerakan ringan namun bertubi - tubi saling susul seolah tanpa henti. Untuk melakukannya seseorang haruslah mencapai kecepatan tertentu baru bisa mengerahkan potensi terbaik dari jurus ini.
Beberapa kali pukulan dan tendangan Ningrum mendarat di tubuh Naga Guntur tetapi serangan gencar Ningrum tampak tidak berarti apa - apa di hadapan Naga Guntur.
Karena terlalu serius memikirkan bagaimana cara mengalahkan Naga Guntur, Ningrum jadi sedikit lengah. Naga Guntur memanfaatkan hal tersebut untuk melancarkan serangan dengan ekornya yang mengandung energi petir sangat kuat.
Desss. . .
Ningrum terlempar bergulingan sejauh enam tombak ke belakangbelakang namun tidak merasakan sakit sedikitpun.
"Penguasaan jurus yang bagus, bocah. Kau melebihi gurumu dulu di saat dia menghadap kepadaku" puji Naga Guntur
"Naga ini sangat tangguh. Beruntung di alam ini aku tidak merasakan sakit atau pun lelah"
Ningrum berkata dalam hati sebelum melanjutkan Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini Naga Guntur berinisiatif menyerang lebih dulu.
Mulut Naga Guntur terbuka membentuk sebuah bola bercahaya terang yang penuh dengan energi petir. Roh Pusaka Penghuni Pedang Naga Guntur itu menyemburkan bola petir itu ke arah Ningrum.
Sementara Ningrum yang diserang dengan energi petir yang sangat kuat itu pun tidak tinggal diam, gadis itu melawan serangan dengan menggunakan Jurus Segulung Ombak Menerpa Karang. Ningrum mendorong kan kedua tangannya ke arah bola petir.
Seberkas sinar kebiruan melesat keluar dari tangan Ningrum dan bertabrakan dengan energi petir Naga Guntur.
Duaaarr.....!!!
Ledakan keras terjadi. Akibat bentrokan kekuatan itu Ningrum terjajar mundur tiga langkah, sedangan Naga Guntur hanya sedikit bergoyang tubuhnya.
***
Kita beralih pada Sepasang Pendekar Naga.
Anung Pramana dan Kasih Pertiwi dengan tenang mengawasi proses meditasi Argadana dan Ningrum yang sepertinya telah memasuki titip terdalam yaitu alam meditasi.
Ketika Anung Pramana mengalihkan pandangannya pada Argadana tiba - tiba memancarlah seberkas sinar merah di dahi pemuda ituitu sehingga membuat silau mata Anung Pramana. Kasih Pertiwi juga ikut terkejut melihat keanehan itu. Jendral Thalaba yang melihat kejadian tersebut ketika sedang berdiri seketika berbaring merunduk seolah - olah sedang bersujud menghormati pada Argadana.
"Kakang, cahaya apa yang memancar di dahi Argadana?" tanya Kasih Pertiwi sembari menutup kedua mata dengan telapak tangan kirinya dan menoleh ke arah samping karena tak kuat memandang cahaya yang memancar dari dahi murid laki - lakinya.
"Entahlah, dinda. Aku juga tidak mengerti. Setahuku guru dulu tidak pernah menjelaskan tentang hal ini. Yang kuingat hanyalah ketika meditasi ganda dilakukan semua benda pusaka jenis apapun yang menempel di tubuh akan ikut keluar meski di sembunyikan di balik pakaian sekalipun. Tetapi yang terjadi pada Argadana aku tidak pernah mendengarnya dari guru. Dan juga harimau ini tampaknya mengetahui sesuatu, sayangnya dia tidak bisa berbicara" kata Anung Pramana seolah berbicara pada dirinya sendiri karena heran dengan tingkah Jendral Thalaba.
"Kakang lihat, cahayanya mulai mengecil" tunjuk Kasih Pertiwi.
Dan benar saja tidak lama kemudian cahaya menyilaukan di dahi Argadana mengecil dan perlahan - lahan membentuk gambar sebuah pedang berwarna merah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebenarnya seperti yang telah dijelaskan oleh Anung Pramana ketika meditasi ganda dimulai semua benda pusaka yang menempel di tubuh penggunanya akan ikut tertarik keluar meskipun telah disembunyikan di balik pakaian. Akan tetapi dalam kasus Argadana ini sedikit berbeda. Yaitu Pedang Siluman Darah memang tersembunyi di dalam tubuhnya, hanya saja kemunculannya tertahan oleh sebuah segel berbentuk pedang merah di dahi Argadana yang diciptakan oleh Dyah Ayu Pitaloka dulu sesaat sebelum dia menggunakan ilmu lebur raga dan menyatu dengan Pedang Siluman Darah.
Untuk mempertahankan keberadaan pedang di dalam tubuh Argadana agar tidak terekspos keluar, maka kekuatan Dyah Ayu Pitaloka di dalam segel tersebut menyesuaikan dengan kekuatan yang mencoba mendobrak segel sehingga ketika Argadana melakukan meditasi ganda segel pedang merah memancarkan cahaya terang. Dan secara tidak sengaja pula melalui meditasi ganda tersebut Argadana membuka salah satu misteri tentang Pedang Siluman Darah.
***
Ketika Argadana membuka mata, yang terlihat olehnya hanyalah sebuah pekarangan rumah yang sangat megah. Lebih tepatnya sebuah istana, dan istana itu sangat mirip dengan istana Kerajaan Siluman Darah.
Hal ini tentu saja membuatnya merasa sangat penasaran, karena tidak dapat menahan keingintahuannya Argadana melanjutkan langkahnya memasuki gedung istana tersebut yang memang tampak tidak ada bedanya penataan ruangnya dengan yang berada di istana Kerajaan Siluman Darah.
Argadana terus memasuki ruang singgasana raja dan terkejut menemukan dua orang sedang tersenyum menatap ke arahnya. Tidak jauh dari kedua orang itu seekor naga berwarna keemasan melingkarkan tubuh besarnya dalam jarak sepuluh tombak di hadapan mereka. Jelas dia terkejut karena kedua orang itu salah satunya adalah orang yang sangat dikenalnya. Itu adalah seorang wanita berambut emas, sama seperti Argadana. Jubah putih panjang menjuntai sampai ke lantai menambah wibawa tersendiri darinya. Kulitnya putih bagaikan kapas.
Ya, dia adalah orang yang selama ini dirindu - rindukan oleh Argadana. Dia adalah Dyah Ayu Pitaloka, ibu kandung Argadana. Dan di sebelahnya duduk seorang lelaki yang meskipun sudah tampak sangat tua namun tubuhnya tegap kekar berisi. Warna rambutnya juga sama, warna emas.
"Kau sudah datang, nak?" sapa Dyah Ayu Pitaloka lembut.
Argadana gemetar seluruh tubuhnya. Selama pengembaraannya selain ayah kandung, satu - satunya orang yang sangat dirindukannya hanyalah sosok sang ibu. Pasalnya ketika dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, dia justru dihadapkan pada kenyataan pahit yang mau tidak mau harus diterimanya. Ibu meninggal, dan ayah pun masih harus dicari keberadaannya.
Air mata mengalir deras di pipi Argadana, dia sudah tidak lagi mengingat ajaran sang ibu dulu yang mengajarkan bahwa seorang lelaki boleh mengeluarkan pedang, tetapi sekali - sekali tidak boleh mengeluarkan air mata. Argadana berlari menubruk ke arah sang ibu melepaskan kerinduannya selama beberapa tahun terakhir berpisah darinya.
"Ibu. . . Aku merindukan Ibu" lirih Argadana
Dyah Ayu Pitaloka membiarkan putra semata wayangnya itu memeluk nya lebih lama untuk melepaskan kerinduan yang selama ini membuncah di hatinya.
Setelah puas Argadana lalu melepaskan pelukannya di tubuh Dyah Ayu Pitaloka.
"Ibu, maafkan anak tak berbakti ini karena tidak menuruti ajaranmu untuk tidak menitikkan air mata"
"Hik.. Hik.. Hik... Anak Ibu sudah besar rupanya, sudah tumbuh menjadi anak yang tampan" kata Dyah Ayu Pitaloka tersenyum.
"Nah, perkenalkan dulu. Ini adalah kakekmu" katanya memperkenalkan orang tua di sampingnya yang duduk di singgasana itu yang tidak lain adalah Ayahnya, Raja Mahardika Pradana, kakek Argadana.
"Ah... Kakek, terimalah salam hormat cucumu" kata Argadana seraya menjabat dan mencium tangan Raja Mahardika Pradana.
"Cucuku benar - benar tampan. Hehehe..." Raja Mahardika Pradana tertawa mengekeh.
"Benar, yang mulia. Cucu yang mulia sangat tampan, hamba merasa terhormat karena dapat menjadi tunggangannya kelak" ucap naga berwarna emas tadi.
Dahi Argadana berkerut karena memikirkan sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Menurut kedua gurunya setelah memasuki titik terdalam dalam meditasinya dia akan memasuki sebuah alam yang disebut alam meditasi tetapi mengapa dia malah masuk ke istana yang tidak dia pahami sama sekali?
Ada apa sebenarnya? Apakah meditasinya gagal? Tunggu kelanjutannya pada chapter berikutnya 😁😁😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Harman LokeST
seeeeeeeeeeeeeeemmmaaaaaaaaaannngggaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaTtttttttttttttttttt teeeeeeeeerrrrrrrrrrruuuuuuuusssssssss meditasi nya
2022-10-23
1
Abdus Salam Cotho
dan ternyata ruh2 pusaka pendekar naga adalah para leluhur Lalu Argadana...
2022-10-11
1
Salt Eater
Salah satu novel yang gaya bahasanya enak. 👍
2022-06-02
1