"Bocah iblis" teriak pemimpinnya murka.
"Semuanya serang, aku menginginkan kepala bocah itu" teriaknya kencang memberi perintah.
Ningrum yang melihat perhatian para penculik terarah sepenuhnya pada Argadana segera memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari tempat bersembunyi yang aman.
Argadana menampilkan kuda - kuda siap tempur yang kokoh. Kedua tangannya terkembang memancarkan cahaya putih menyilaukan, Jurus Pembelah Matahari.
Jurus ke tiga dari Kitab Muara Darah telah siap digelar.
"Bocah, jangan salahkan kami kalau kau mati tanpa penguburan. Salahkan saja dirimu karena terlalu berani. Hahaha "
Lima belas orang maju menyerang Argadana. Serangan mereka teratur seperti telah terlatih dengan baik.
Ningrum hanya melihat dari kejauhan dengan harap - harap cemas. Argadana bergerak lincah di dalam kepungan lima belas orang bersenjata tajam sambil mengamati kelemahan barisan serangan musuh. Sesekali Argadana memberikan serangan balik yang cukup merepotkan.
Karena Argadana mempunyai kecerdasan di atas rata - rata, dalam dua puluh jurus saja dia telah mampu menghafal pola - pola pergerakan barisan musuh.
Hal ini memudahkannya untuk memecah formasi serangan yang cukup ketat itu. Pada suatu kesempatan Argadana yang melihat sedikit celah pada barisan segera bergerak mengerahkan Jurus Pembelah Matahari menyerang salah seorang musuh yang sedikit lengah.
Plak....
Desss.....
"Ughhkk...."
Serangan kilat tersebut membuatnya mati langkah sehingga hanya satu saja dari pukulan Argadana yang dapat di tahan dengan telapak tangannya karena begitu serangan pertama tertahan Argadana segera menyusul dengan sikutan melingkar yang tepat mengenai hidung orang tersebut membuat pandangannya berkunang - kunang dan ada darah mengalir keluar dari hidung yang terkena sikutan. Tidak berhenti sampai di situ, murid Dewi Obat itu lalu kembali melancarkan serangan bertubi - tubi yang mengincar satu titik saja yaitu bagian ulu hati.
Lima kali tinju mungil Argadana mendarat di ulu hati. Pada tinjuan ke enam salah seorang dari pengepung terlempar menubruk sebatang pohon dan jatuh tidak sadarkan diri.
"Rangkaian jurus - jurus Kitab Muara Darah ternyata memang sangat merusak, seperti kata Ibu. Kelak setelah belajar ilmu kepandaian kedua guru aku sebisa mungkin tidak akan menggunakan jurus ini" batin Argadana mashgul melihat musuhnya yang langsung memuntahkan darah segar hanya dalam beberapa gebrakan saja, padahal dia sudah berusaha seminimal mungkin menggunakan tenaga dalamnya ketika mengerahkan jurus ke dua dari Kitab Muara Darah. Dalam hatinya Argadana bertekad untuk tidak akan menggunakan jurus ke tiga apalagi ke empat jika tidak benar - benar dalam keadaan terdesak.
Berkat Jurus Pembelah Matahari yang dilancarkan Argadana barisan formasi serangan musuh akhirnya terpecah menjadi dua kubu berjumlah tujuh orang di masing - masig kubunya.
Para penjahat yang merasa panik segera bergerak berusaha menyatukan kembali barisan mereka, namun tentu saja tidak dibiarkan oleh Argadana.
Bocah itu memfokuskan menyerang kubu sebelah kiri yang terlihat lemah dan tidak mempedulikan serangan musuh yang mengejar di belakangnya.
Argadana merubah gerakannya menggunakan ilmu meringankan tubuh Jurus Nafas Siluman dan ....
Slapppp....!!!
Dia seolah - olah menghilang dan satu helaan nafas kemudian terdengarlah suara teriakan kesakitan tujuh orang yang ditargetkan Argadana tadi.
Tujuh orang di belakang yang melancarkan serangan pada Argadana tadi terkejut ketika musuh yang mereka serang tiba - tiba menghilang dan seketika saja terdengar teriakan teman - teman mereka di seberang sana.
Argadana kembali bergerak cepat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, yaitu Jurus Nafas Siluman yang dipadukan dengan Jurus Tapak Darah menyerang tujuh orang tersisa.
Bukk.....
Dess ....
Dalam waktu sepeminuman teh kemudian enam orang ambruk dan hanya menyisakan sang ketua saja.
Argadana menyeringai sinis.
"Sekarang hanya tersisa kamu saja, paman jahat" katanya menakut - nakuti. Penculik itu yang kini hanya tersisa dia sendiri saja merasa gemetar di sekujur tubuhnya. Dia berfikir bahkan keroyokan saja dia masih kalah, apalagi kalau harus bertarung sendiri.
Begitulah dia berkata dalam hatinya. Tetapi karena gengsi dia berusaha sekuat tenaga menahan rasa takut itu.
"Bocah siluman. Aku tidak tahu ilmu iblis apa yang telah kau gunakan untuk merobohkan semua anak buahku. Tapi jangan berpikir aku Subala akan takut padamu"
Dahi Argadana berkerut melihat orang tersebut mengeluarkan sebuah benda berbentuk kembang api dari balik pakaiannya lalu diacungkan tinggi menghadap langit. Benda itu melesat terbang....
Daaarr .....
Sekejap kemudian benda berbentuk kembang api itu pun meledak di udara membentuk cahaya warna - warni menyilaukan.
"Hahha..... Bocah, guruku sebentar lagi akan datang kemari setelah melihat sinyal yang baru aku berikan. Bersiaplah untuk mati, bocah. Hahahaha..." pimpinan penculik itu tertawa terbahak - bahak.
Argadana baru mengerti bahwa rupanya kembang api itu merupakan sinyal untuk memanggil seseorang.
Dan benar saja, tidak lama kemudian datanglah seorang perempuan tua yang selalu tersenyum. Usianya hampir sama seperti Kasih Pertiwi. Wajah keriputnya dipenuhi bedak tebal, bibirnya dipolesi dengan gincu.
Wanita ini adalah tokoh golongan sesat berjuluk Peri Malam. Tidak ada yang tahu pasti siapa namanya. Kegemaran tokoh aliran hitam yang satu ini selain membunuh adalah mencabuli lelaki - lelaki muda dan tampan untuk dijadikan pemuas nafsunya.
"Guru ..." panggil Subala pada wanita tua itu sambil berlutut.
"Mana orangnya yang berani menghalangi urusanku, Subala? Biar kucincang tubuhnya" kata Peri Malam tegas namun tetap disertai senyuman.
"A..ampun, guru. Murid ini menemukan dua orang bocah yang cocok untuk tumbal ritual guru, tetapi tidak disangka bocah itu mampu menumbangkan semua anak buahku" kata Subala takut - takut.
"Bodoh ... Hanya menghadapi bocah umur belasan tahun saja kau sudah sampai memanggilku" bentak Peri Malam
"Minggir. Dasar tidak berguna" katanya sambil menendang Subala hingga terlempar dan memuntahkan darah. Peri Malam lalu menatap ke arah Argadana dengan senyum terkembang, tetapi karena wanita itu sudaj berkeriput senyumnya justru membuat merinding Argadana.
"Bocah bagus, andai kau besar sedikit aku pasti akan menjadikanmu gendakku. Tetapi aku sekarang sedang membutuhkanmu sebagai tumbal untuk menyempurnakan kesaktianku. Jadi kau pilihlah, menyerah baik - baik atau aku akan memaksamu. Hik..hik..hik..." tawa Peri Malam membuat bulu kuduk berdiri.
"Nenek, kau sudah tua, sudah bau tanah. Lebih baik bertaubat saja, sebelum ajal menjemput. Bukan berkeliaran seperti layaknya anak muda" balas Argadana.
Wajah Peri Malam mengelam seketika kemarahan membakar hatinya.
"Aku tidak butuh ceramahmu, anak set4n. Karena kau tidak menghargai kebaikanku maka aku hanya akan menggunakan kekerasan"
Peri Malam setelah membentak kembali tersenyum.
"Apa pelajaranku tempo hari masih kurang cukup untuk membuatmu jera, Nawang Tresni?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Harman LokeST
fokus terus Argadana
2022-10-23
1
Abdus Salam Cotho
ah, ini pasti musuh bebuyutan sepasang pendekar Naga
2022-10-11
1
Abdus Salam Cotho
meminta bantuan guru kok bangga 😆
2022-10-11
1