Suasana di alun - alun istana Kerajaan Siluman Darah sangat ramai pagi ini. Semua rakyat berkumpul menimbulkan suara hiruk - pikuk. Hal ini tiada lain karena pada hari ini akan diadakan penobatan raja Kerajaan Siluman Darah yang baru sebagai penerus tampuk kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Ratu Dyah Ayu Pitaloka.
Penjagaan sekitar istana dijaga ketat oleh prajurit - prajurit yang terlihat sangar.
Para petinggi - petinggi Kerajaan berkumpul di panggung yang terias indah. Mulai dari patih, penasehat, mentri, dan seluruh pejabat tinggi lainnya ada di sana.
Di tengah - tengah mereka terdapat dua kursi berukuran besar nanti indah, duduklah Ratu Dyah Ayu Pitaloka dan Lalu Argadana.
Dyah Ayu Pitaloka tampak sangat anggun dengan pakaian emasnya, begitu juga dengan Argadana yang tampak gagah dengan tubuhnya yang terlatih dengan baik sejak kecil.
"Para rakyatku yang berbahagia!!!" terdengar suara seorang sepuh menggelegar merambah seantero istana karena disertai dengan tenaga dalam tinggi. Itu adalah suara Patih Girinda yang menjadi pembawa acara.
"Pada hari ini kita akan menyelenggarakan acara penobatan Raja Kerajaan kita yang baru dengan penyerahan mahkota Kerajaan Siluman Darah dan Pedang Siluman Darah sebagai simbol kekuasaan penuh."
Patih Girinda berhenti sebentar sembari menatap seluruh hadirin yang datang.
"Baiklah kita akan mulai saja acara penobatannya. Mohon Ibunda Ratu dan yang mulia calon raja Kerajaan Siluman Darah untuk memulai ritual penobatan"
Dyah Ayu Pitaloka dan Lalu Argadana kemudian maju ke tempat yang telah disediakan. Lalu Argadana kemudian berlutut di hadapan Dyah Ayu Pitaloka setelah saling berhadapan - hadapan dengan ibundanya.
Dyah Ayu Pitaloka mengambil mahkota kebesaran yang dibawakan oleh seorang petugas pelaksana penobatan kemudian memasang sikap siap meletakkan mahkota di atas kepalanya.
"Dengan disaksikan oleh sang penguasa alam semesta, dan seluruh rakyat Kerajaanku tercinta. Aku Ratu Kerajaan Siluman Darah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putraku"
Dyah Ayu Pitaloka menjeda sejenak orasinya untuk memberikan kesempatan seluruh hadirin untuk menyimak dan menghayati seluruh prosesi penobatan tersebut.
"Ananda Lalu Argadana. Sudah siapkah engkau untuk memikul semua beban penderitaan maupun kemakmuran rakyat Kerajaan Siluman Darah?"
"Ananda telah siap, Ibunda Ratu"
"Maka terimalah mahkota kebesaranmu, ananda Raja Siluman Darah"
Dyah lalu memasangkan mahkota kebesaran di kepala Argadana yang dilanjutkan dengan penyerahan pusaka pedang siluman darah.
Setelah penerima pusaka pedang siluman darah Lalu Argadana berdiri tegap mengangkat pedang siluman darah yang memancarkan aura yang sangat mengerikan itu di atas kepalanya.
"Para rakyatku semuanya. Aku tidak begitu memahami tentang hakikat seorang pemimpin" kata Argadana memulai pidatonya.
"Hanya saja yang aku ketahui adalah sebuah negeri itu bukan tentang luas wilayah kekuasaannya, melainkan tentang rakyatnya"
Argadana berhenti sejenak menyapukan pandangannya ke seluruh rakyat yang berdiri takjub di hadapannya.
"Oleh karena itu aku, Lalu Argadana. Sebagai raja siluman darah akan mengabdikan seluruh hidupku demi kemaslahatan seluruh rakyatku. Tetapi, para rakyatku sekalian. Aku pun juga bukan makhluk sempurna. Kelak jika aku ada berbuat keliru, jangan segan - segan untuk menegurku demi menghidupkan dan memakmurkan Kerajaan kita bersama"
Duarrr.....!!!
Salakan petir menggelegar di siang hari itu seolah merestui penobatan raja yang baru.
Seluruh rakyat dan para pejabat tinggi berlutut.
"Sembah hormat kami, yang mulia Raja Siluman Darah. Semoga yang mulia tetap sehat dan panjang umur" kata mereka serempak.
"Bengkitlah, dan berbahagialah selalu kalian semua wahai rakyat negeriku"
Seru Argadana menjawab sembah hormat rakyatnya.
"Hidup yang mulia Raja Siluman Darah...!!!"
"Hidup...!!!"
"Hidup yang mulia Raja Siluman Darah...!!!"
"Hidup...!!!"
###
Saat ini Argadana bersama Dyah Ayu Pitaloka sedang menghadiri pertemuan dengan seluruh petinggi Kerajaan Siluman Darah.
"Ada apa Ibu tiba - tiba mengadakan pertemuan ? Apakah ada masalah?" Argadana bertanya dengan nada penasaran karena setelah seminggu dia memerintah di kerajaannya sang ibu tiba - tiba mengadakan pertemuan mendadak yang melibatkan seluruh pejabat tinggi istana.
"Anakku, Ibu rasa sudah saatnya kamu mengetahui semuanya" Seperti biasa Dyah selalu tersenyum ketika berbicara dengan putranya itu.
"Sebenarnya Ibu sudah lama menderita penyakit aneh yang perlahan - lahan menggerogoti energi kehidupan Ibu. Karena itulah Ibu selalu mendesakmu melatihmu dengan keras agar secepat mungkin menjadi kuat. Dan kamu saat ini sudah melampaui harapan Ibu. Ibu sangat bangga padamu, nak"
Argadana bagai disambar petir mendengar penuturan sang Ibu yang tidak dapat dipercayainya.
"I... Ibu jangan bercanda. Aku tidak pernah melihat Ibu sakit, Ibu pasti bercanda kan?" kata Argadana.
"Heii... Kalian semua, ayo cepat katakan Ibu berbohong kan?" Argadana berteriak panik.
"Mohon ampun, yang mulia. Kami tidak berani berbohong kepada Raja kami" jawab Patih Girinda.
"Kami sudah lama merahasiakan semua ini dari yang mulia sambil mencari cara untuk mengobati Ibu Suri. Tetapi sampai saat ini pencarian kami tidak juga membuahkan hasil"
"Benar, yang mulia." jawab para petinggi yang lain membenarkan penjelasan Patih Girinda.
"Apakah benar - benar tidak ada cara untuk dapat menyembuhkan penyakit itu, Ibu?" Argadana mulai merengek pada Dyah.
Memang, Argadana telah menjadi seorang raja. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun dia dapat bersikap lebih dewasa tidak seperti kebanyakan anak seusianya, di balik itu dia tetaplah masih anak yang baru berumur sepuluh tahun yang batinnya bisa tergoncang kapan saja ketika menyangkut keselamatan sang Ibu.
Dyah Pitaloka menggeleng pelan sambil mengusap kepala putra tercintanya.
"Nak, kamu harus tumbuh besar menjadi pribadi yang tegar. Ingatlah! Kamu sekarang adalah seorang raja, dan seorang raja pantan memperlihatkan airmatanya di hadapan rakyat. Kamu tidak lupa ajaran Ibu itu kan?"
Argadana seketika menyeka airmatanya dengan lengan bajunya.
"Ananda tidak akan menangis, Ibu" katanya kemudian sambil memasang senyum yang dipaksakan
"Nak. Energi kehidupan Ibu semakin terkikis. Ibu tidak keberatan untuk meninggalkan dunia ini, tetapi Ibu tidak ingin mengalami kematian yang sia - sia. Kemarikan Pedang Siluman Darahmh, nak" minta Dyah Ayu Pitaloka.
Argadana segera menurut perintah ibunya.
"Mulai sekarang berjanjilah untuk tidak pernah memperlihatkan airmatamu, anakku." Argadana hanya menjawab dengan anggukan karena tidak sanggup bersuara.
"Sebelum energi kehidupan Ibu lenyap sepenuhnya Ibu akan menggunakan Ajian Lebur Raga lalu menjadi roh pusaka siluman darah. Dengan begini Ibu akan terus dapat melindungimu di sisimu, anakku. Dan dengan adanya jiwa Ibu di dalam badan pusaka pedang siluman darahmu kau dapat melenyapkan atau memunculkan wujud pedang siluman darah hanya dengan kau memikirkannya saja"
"Kamu tenanglah. Kamu masih akan dpat bertemu dengan Ibu setelah Ibu lenyap, meskipun hanya dalam bentuk jiwa. Kamu tinggal mengerahkan kekuatan batinmu ke pedang siluman darah dan Ibu akan datang menemuimu selama periode waktu setengah hari."
"Bb.. Benarkah, Ibu? Itu artinya dengan ilmu lebur raga itu ibu tidak lenyap seutuhnya" mata Argadana terlihat berbinar - binar
"Benar, anakku. Nah sekarang kau bersiaplah. Ibu akan mulai menggunakan ajian lebur raga."
Dyah Ayu Pitaloka menoleh kepada sesepuh - sespuh Kerajaan dan para bawahannya memberikan pesan terakhir.
"Kalian semua para abdiku. Aku telah memberitahu kalian semua sebelumnya tentang putraku yang akan menjalani takdirnya. Dia akan melakukan perjalanan yang sangat panjang. Dan aku berharap agar kalian mewakili putraku memerintah negeri ini dengan baik dan adil sampai masanya tiba nanti dia akan kembali untuk memerintah negeri ini lagi."
"Baik, Ibu Suri. Kami akan mematuhi perintah dengan segenap jiwa raga kami" jawab para petinggi serempak
"Dan khusus untukmu, Panglima Thalaba. Kau akan menyertai perjalanan rajamu dengan bentuk terkuatmu, yaitu harimau putih untuk menjaga keamanan putraku dari marabahaya"
"Sebuah kehormatan bagi hamba untuk dapat menyertai perjalanan yang mulia raja. Hamba berjanji akan melindungi yang mulia raja dengan nyawa hamba sendiri, Ibunda Ratu" jawab Panglima Thalaba.
Sebagai kaum siluman tentu saja Thalaba dapat merubah bentuk tubuhnya menjadi seperti apapun yang dikehendakinya. Bahkan seluruh kaum siluman memiliki kemampuan seperti itu, kecuali Argadana tentunya. Karena dia merupakan setengah manusia.
"Kalau begitu aku bisa meninggalkan kalian dengan tenang. Putraku, kau harus tabah menjalani takdir yang sudah dipersiapkan untukmu. Ibu selalu menyayangimu, anakku" Dyah Ayu Pitaloka tersenyum sangat lembut. Senyuman terakhir untuk putranya, sementara Argadana sendiri semakin tak kuat menahan gemuruh di hatinya yang dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata yang hendak merebak keluar dari pelupuk matanya.
Dyah Pitaloka lalu memejamkan matanya membaca mantra untuk menggunakan ilmu Ajian Pecah Raga. Dalam lima tarikan nafas kemudian tubuh Dyah Ayu Pitaloka terselimuti cahaya keperakan menyilaukan. Setelah itu perlahan - lahan tubuh bercahaya itu terpecah menjadi serpihan - serpihan kecil seperti debu yang melayang masuk ke dalam badan pusaka pedang siluman darah.
"Ibu, pergilah dengan tenang. Putramu ini berjanji akan menemukan ayah secepat mungkin dan menceritakan padanya bahwa Ibu selalu merindukannya" Akhirnya hujan itupun tak dapat dibendung, mengalir di pipi Argadana.
Seluruh rakyat berkabung mendengar berita kematian Dyah Ayu Pitaloka yang mereka cintai. Wanita cerdas dan baik yang pernah memimpin mereka dengan bijak, kini telah tiada.
"Ibu Ratu adalah sosok pemimpin yang sempurna. Semoga beliau mendapatkan ketenangan selamanya!!"
Doa - doa dipanjatkan oleh semua kalangan lapisan masyarakat untuk sosok yang pernah memimpin mereka dengan bijak dan tanpa pilih kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Budi Efendi
lanjutkan
2023-02-01
1
Abang Lon
lanjuuuut thor
2021-12-28
1
Rahmaa Dewii
menyimak trs.....
2021-11-13
3