Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunangan??
Tak berselang lama,suara ketukan pelan menyadarkanku dari lamunan.
"Nona Kanaya?".Ternyata itu Sofia dari balik pintu.
"Ya,masuk saja.".
Sofia pun kini melangkah masuk,memancarkan aura profesional seperti biasanya,meski senyumnya masih sedikit tersisa dari insiden ciuman berantai tadi.
"Artama meminta saya menyampaikan, Nona harus segera turun untuk sarapan.Dan beliau juga sudah menunda zoom meeting nya pagi ini dan di gantikan malam nanti," ujar Sofia, nadanya kembali datar. Ia melirik sekilas tawa tertahannya yang gagal ditahan di sudut bibirnya.
Artama menunda pertemuannya? Astaga! Itu berarti aku harus duduk di meja makan yang sama dengannya, dalam hitungan menit! Rasa malu dan kesal ku pun bercampur aduk.
"Baik, beri aku waktu lima menit," kataku cepat sambil bergerak menuju kamar mandi. "Dan Sofia..."
"Ya, Nona?"
"Tolong... lupakan saja pemandangan aneh yang baru saja..terlihat," pintaku, wajahku rasanya kembali terasa panas.
Sofia hanya tersenyum sopan. "Tentu saja, Nona. Saya sudah melupakannya."
Tentu saja dia tidak melupakan,dia pasti sedang menahan diri untuk tidak menceritakan adegan itu pada semua orang di penthouse ini.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian off-shoulder dress,aku pun melangkah keluar kamar. Setiap langkah menuju ruang makan terasa berat.Otakku terus saja memutar ulang adegan pagi itu,dimulai dengan kehangatan pelukan, bantingan di karpet, dua ciuman tak terduga, dan kecupan yang...ah sudahlah.
Saat aku tiba, Artama sudah duduk di kepala meja, rapi dengan kemeja kerjanya, memegang ponsel di telinga.Wajahnya terlihat serius,pasti sedang berbicara dengan kliennya.
"Ya, Mr. Smith. Saya pastikan pertemuan ini akan memberikan hasil maksimal. Kita bahas detailnya nanti malam,setelah saya menyelesaikan beberapa urusan pribadi," katanya datar, lalu menutup teleponnya.
Dia pun mendongak, dan mata kami pun bertemu.
Deg.
Sekelebat ingatan tentang posisi kami di karpet pagi tadi langsung menyeruak.Wajahku pun kini terasa menghangat lagi. Dia juga tampak... sedikit tegang. Wajah datarnya pagi ini tidak sedatar biasanya; ada sedikit kekakuan di rahangnya.
"Sarapan sudah siap, Nona Kanaya," ujar Sofia yang dengan sigap menarik kursi untukku.
"Terimakasih".Ucapku.
Aku pun duduk,berusaha menyibukkan diri dengan memandang piring di depanku,menghindari tatapan Artama.Keheningan pun melingkupi ruang makan yang luas itu.Hanya terdengar denting sendok dan garpu,dan samar-samar Artama yang sesekali membalas pesan di ponselnya.Aku lun lalu makan perlahan, berusaha mengabaikan kehadiran "monster" di seberangku ini.
Sesekali,aku mencuri pandang ke arahnya. Artama makan dengan tenang dan elegan,seolah-olah dia tidak baru saja mencuri tiga ciumanku.Dia benar-benar bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa! Monster yang tidak tahu malu!Huh!.
Dan Sofia, di sisi lain, tampak menikmati kesunyian ini, sesekali tersenyum sambil menikmati minumannya.Entah dia menikmati sarapannya, atau drama canggung yang sedang terjadi di antara kami.
Rasanya hening. Sunyi dan canggung.
Denting!
Tiba-tiba, bel pintu penthouse berdenting keras.Suaranya pun kini memecah keheningan, membuatku terlonjak sedikit.
Artama terlihat mengerutkan kening. "Siapa itu?" tanyanya tanpa menoleh.
"Saya akan periksa, Tuan," sahut Sofia, beranjak menuju pintu depan.
Setelah beberapa saat, pintu ruang makan terbuka lagi.Sofia tampak ragu-ragu di ambang pintu, raut wajahnya terlihat sedikit tidak nyaman.
Dan di belakang Sofia, muncullah seorang wanita.
Wanita itu luar biasa mencolok.Ia mengenakan gaun mini ketat berwarna merah menyala yang memperlihatkan hampir seluruh kakinya,dan riasan tebal dengan lipstik yang sama-sama merah menyala.Rambut hitamnya ditata sempurna.Di tangannya, ia membawa sekotak cemilan cokelat mahal dan dua botol anggur premium.
Aku pun terpaku melihatnya.Wanita itu melangkah masuk dengan gerakan penuh percaya diri, matanya langsung tertuju pada Artama.
"Sayang!" serunya nyaring, suaranya pun manja dan dibuat-buat.
Artama, yang baru saja hendak menyesap minumannya, langsung membeku.
Mendengar panggilan itu, "Sayang," jantung ku pun langsung berdetak kencang, kali ini bukan karena amarah atau malu. Rasanya seperti ada sesuatu yang dingin dan tajam menusuk dadaku,entahlah.
Wanita itu tidak mengacuhkan Kanaya dan Sofia.Ia berjalan lurus ke arah si monster,meletakkan bawaannya di meja, dan langsung menyandarkan tubuhnya ke samping Artama, mengusap bahu pria itu dengan mesra.Melihat adegan itu membuat ku memutar bola mata malas.
"Aku merindukanmu,Artama," bisik wanita itu, manja.
"Aku membawakan cemilan cokelat kesukaanmu dan anggur spesial. Ayo kita nikmati. Kau pasti lelah setelah bekerja,iyakan??.".
...----------------...
Artama, untuk pertama kalinya pagi ini, terlihat benar-benar tidak nyaman.Sementara Kanaya, yang masih mematung di kursinya, merasakan matanya membulat sempurna.
Siapa wanita ini? Dan kenapa dia memanggil "monster" itu dengan sebutan "Sayang"? Ada rasa aneh yang tiba-tiba meluap di dalam hatinya, sebuah perasaan tidak suka yang kuat
Artama pun menarik napas, wajahnya yang tadi tegang kini mulai menunjukkan ekspresi jengkel. Ia dengan halus menyingkirkan tangan Valencia dari bahunya.
"Valencia, bisakah kau beri aku sedikit ruang?" ujar Artama dingin, tanpa menatap wanita itu.
"Dan tolong duduk. Kita sedang sarapan.".
Valencia cemberut, tapi menuruti perintah pada Artama.Ia pun lalu menarik kursi di samping Kanaya, namun sengaja duduk menghadap ke Artama, mengabaikan kehadiran Kanaya sepenuhnya.Ia masih terlihat jengkel karena sambutan Artama yang tidak hangat.
Kanaya pun kembali ke makanannya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampakkan bahwa ia terganggu.Tapi, nafsu makannya sudah hilang sepenuhnya.Sendok dan garpu terasa sangat berat. Ia hanya mengaduk-aduk Scramble Egg di piringnya tanpa niat.
Sofia, di ujung meja pun, tampak seperti penonton setia di bioskop. Bibirnya berkedut menahan senyum. Dia pasti menikmati drama yang tersaji di pagi hari ini, jauh lebih seru daripada rapat ataupun layar monitor.
"Jadi," Valencia pun memulai, suaranya terdengar menusuk di telinga Kanaya.Ia memiringkan kepalanya, menatap Kanaya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan merendahkan.
"Siapa gadis kecil ini, Artama?" tanyanya, nada suaranya penuh nada mengejek.
"Kenapa dia ada di sini? Apa kau sedang adopsi?".
Kanaya pun langsung berhenti mengaduk makanannya. Darahnya mendidih.
"Gadis kecil yang terlihat bod0h," katanya pada Artama, tapi matanya tetap tertuju tajam ke Kanaya.
Kanaya merasa ingin meledak. Ingin membanting sendok ini ke meja dan meneriakinya!
Kau yang berpenampilan seperti badut sirkus, dasar j4lang!
Batin Kanaya.
Namun, Kanaya menahan diri. Ia ingat, ia harus bersikap profesional.Ia adalah Kanaya, gadis yang akan menaklukkan monster ini, bukan gadis kecil bodoh.
Valencia menoleh kembali pada Artama, menunggu jawaban, sambil tersenyum sinis.Artama kemudian meletakkan garpunya dengan suara dentingan kecil yang tajam.Ia menatap Valencia dengan sorot mata yang membuat Kanaya sedikit merinding.
"Valencia," kata Artama, suaranya datar, memotong ketegangan yang menggantung di udara. "Tolong jaga ucapanmu. Dia....."
Kanaya pun langsung memotong ucapan Artama.
Jangan berani-berani mengenalkanku sebagai adik tirimu!.
"Aku Kanaya," potongku cepat, mengangkat kepala dan menatap lurus ke mata Valencia. "Dan aku tunangan Artama.".
Seketika itu juga, keheningan melanda ruangan.Sofia tersedak minumannya.Dan Valencia langsung terdiam, ekspresi sinisnya lenyap, digantikan keterkejutan yang nyata.
Artama, untuk sesaat, terlihat seperti terkena serangan jantung, matanya sedikit membulat, menatap Kanaya dengan tatapan tak percaya yang sulit dibaca.
...----------------...
^^^-Pov Kanaya^^^
Aku tahu keputusanku untuk mengatakan hal itu sangat gila. Tapi, aku tidak tahan lagi diperlakukan seperti pengganggu kecil yang bodoh oleh wanita dengan make-up setebal ini.Dan saat aku melihat Artama yang terlihat risih dengan sentuhan wanita itu, entah kenapa membuatku ingin merebut kendali dan membuatnya kesal, sekaligus.... melindungi??
Valencia pun tertawa, tawa yang terdengar palsu dan dipaksakan.
"Tunangan? Artama, apa-apaan ini?Jangan bercanda padaku,sayang!".Ucap j4lang itu.
Aku tetap mempertahankan tatapan lurusku. Wajahku mungkin merah karena malu, tapi aku harus terlihat percaya diri.
"Aku tidak bercanda," sahutku tegas. "Dan kami sedang menikmati sarapan pagi tunangan, sebelum Artama pergi bekerja. Jadi, bisakah kau minggir? Atau sebaiknya, pulang saja?".
Valencia menatap Artama, mencari konfirmasi.
"Artama, jelaskan! Apa maksud gadis gila ini?".
Artama menghela napas panjang,merapikan dasinya.
"Valencia," katanya, nadanya kini lebih tenang, tetapi penuh otoritas.
"Kanaya adalah... tamu istimewa di penthouse ini. Dan, dia benar. Kami sedang sarapan.".
Ia tidak mengonfirmasi, tapi juga tidak menyangkal. Artama memilih ambigu.Pria ini memang pengecut!Atau karena aku hanyalah bonekanya?jadi ia tidak mengiyakan itu?
"Jadi, kau mau sarapan bersamaku?" tanyanya pada Valencia, sambil menunjuk kursi di sampingku.
Valencia tidak bergerak. Matanya masih menyorotku tajam.
"Aku tidak berselera makan dengan....tamu istimewa-mu ini."
"Kalau begitu, silakan pergi," balas Artama tanpa ekspresi, kembali mengambil garpunya.
"Aku ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan.".
Wajah Valencia pun memerah karena marah, lebih merah dari gaunnya. Dia menatapku sekali lagi, seolah ingin mencakarku, sebelum akhirnya mengambil tasnya dan melangkah keluar tanpa pamit, membanting pintu penthouse dengan sangat keras.
Akhirnya, keheningan kembali melanda. Hanya ada kami bertiga.Aku yang jantungnya masih berdebar, Artama yang ber pura-pura tenang, dan Sofia yang berusaha keras untuk tidak tertawa terbahak-bahak.
Aku pun lalu meletakkan sendokku.
"Apa-apaan itu?" bisik Artama, nadanya rendah dan tajam, tanpa ekspresi.
Aku mengangkat bahu, berpura-pura santai. "Apa? Bukankah itu yang kau inginkan? Agar dia pergi?"
"Aku bertanya tentang 'tunangan'," tekannya.
Aku tersenyum sinis."Oh, itu? Itu hanya untuk menghentikan racauan wanita itu. Bukankah kau yang memulai drama ini dengan menciumku tiga kali pagi ini?".
Artama tidak menjawab.Ia hanya menatapku, tatapannya kini jauh lebih dalam dan tak terbaca. Dia menyerah untuk berdebat denganku.
Sofia kemudian berdeham, memecah keheningan.
"Tuan Artama, jika sudah selesai, saya akan membersihkan meja. Dan mungkin, Tuan perlu segera bersiap-siap?".
Artama pun mengangguk, lalu beranjak dari kursinya, tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Saat dia melewati kursiku, dia berhenti sejenak, menoleh sedikit.
"You're so brave,little girl!" bisiknya pelan, hanya untuk kudengar. Lalu, dia pergi, menuju ruang kerjanya.
Aku pun menghela napas lega, bersandar di kursi. Si4lan Artama, kau monster br3ngsek. Tapi, aku merasa sedikit puas. Aku berhasil mengusir wanita itu dan membuat Artama terkejut.
Saat aku hendak bangkit, tiba-tiba Sofia pun ikut mendekat. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, berbisik sambil tersenyum geli.
"Nona Kanaya," bisiknya.
"Tadi itu ide yang bagus.Valencia adalah tunangan Tuan yang sah.Mereka sudah bertunangan sejak SMA.".
Aku pun mematung di tempat. Apa?!!