Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 — Rahasia yang Mulai Retak
Pagi yang biasanya cerah kini terasa berat. Matahari menembus kaca jendela kelas dengan sinarnya yang lembut, tapi suasana hati Yunita tak sehangat itu. Sejak gosip foto itu menyebar, setiap langkahnya di koridor terasa seperti berjalan di atas bara. Tatapan murid-murid lain menusuk, seolah semua orang tahu sesuatu yang seharusnya tidak mereka tahu.
Yunita menatap papan tulis di depan, mencoba fokus pada pelajaran, tapi pikirannya melayang. Kalimat guru lain yang sedang mengajar hanya lewat di telinganya seperti angin.
“Yun, lo gak apa-apa?” bisik Rara pelan dari sebelahnya.
Yunita menggeleng lemah. “Enggak. Aku cuma capek aja.”
“Capek karena gosip itu?” tanya Rara penuh simpati.
Yunita tak menjawab. Ia menunduk, memutar-mutar pulpen di jarinya. Satu bagian dirinya ingin berteriak dan menjelaskan semuanya, tapi bagian lain takut—takut kalau rahasianya benar-benar terbongkar.
Sementara itu, di luar kelas, beberapa guru mulai berbisik satu sama lain.
“Aku dengar foto itu udah sampai ke tangan komite sekolah,” ujar salah satu guru perempuan setengah berbisik.
“Serius? Tapi katanya kepala sekolah udah beresin?”
“Iya, tapi orang tua murid udah mulai nanya. Katanya, ‘kenapa ada guru yang jalan malam-malam bareng siswi?’ Gimana gak heboh?”
Salah satu guru pria menatap mereka dan menghela napas. “Kita gak bisa asal tuduh. Pak Yudhistira itu orang paling disiplin di sini. Aku yakin ada penjelasan.”
Namun rumor tetaplah rumor—dan rumor tak butuh kebenaran untuk menyebar.
Sore hari, di ruang guru.
Yudhistira sedang memeriksa tumpukan laporan tugas, tapi matanya sesekali menatap ponsel. Ia baru saja mendapat pesan dari kepala sekolah.
“Besok rapat internal dengan komite. Terkait gosip yang beredar. Harap hadir.”
Ia menutup ponsel perlahan. Napasnya dalam, wajahnya tetap datar, tapi jemarinya sedikit menegang.
Yunita masih di kelas, dan ia tahu gadis itu pasti sedang ketakutan setengah mati.
Pikirannya terpecah antara kewajiban dan perasaan. Ia bukan hanya guru sekarang, tapi juga suami yang harus melindungi istrinya—dalam diam.
Suara pintu ruang guru terbuka. Seorang guru muda, Bu Meisya, melangkah masuk dengan senyum samar.
“Pak Yudhistira, saya dengar Bapak dipanggil rapat sama kepala sekolah, ya?” tanyanya dengan nada ingin tahu.
“Ya,” jawab Yudhistira singkat tanpa menatapnya.
Bu Meisya tersenyum lebih lebar. “Hati-hati, Pak. Banyak yang bilang gosip itu… menarik untuk dibahas.”
“Kalau Ibu datang hanya untuk bergosip, saya sarankan Ibu ke ruang staf, bukan ke sini.”
Nada datar tapi dingin itu membuat Meisya langsung terdiam. Ia tersenyum canggung, lalu segera pamit keluar.
Begitu pintu tertutup, Yudhistira memijit pelipisnya. Ia tahu, gosip di antara murid mungkin bisa dikendalikan. Tapi kalau sudah sampai ke guru-guru—itu lain cerita.
Malam hari.
Rumah kecil mereka terasa lebih sunyi dari biasanya. Yunita duduk di ruang tamu, memeluk bantal, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan dari Rara baru saja masuk:
“Yun, hati-hati besok. Gue denger orang tua murid bakal datang ke sekolah.”
Ia menggigit bibir, lalu menatap ke arah dapur. Yudhistira sedang menyiapkan teh hangat seperti biasa, gerakannya tenang, wajahnya sulit ditebak.
“Pak,” panggil Yunita pelan.
“Hm?”
“Bener ya besok Bapak rapat sama komite sekolah?”
“Iya.”
“Kalau mereka tanya soal foto itu, Bapak mau bilang apa?”
Yudhistira menatap teh di tangannya sejenak sebelum menjawab, “Aku akan bilang sesuai fakta. Bahwa malam itu aku hanya mengantar siswaku pulang karena sudah terlalu malam.”
Yunita menatapnya khawatir. “Tapi kalau mereka tanya kenapa aku bisa semobil sama Bapak?”
Ia menatapnya lembut. “Kau mau aku bohong?”
Yunita menggigit bibir. “Enggak… tapi aku takut.”
“Takut kehilangan sekolah ini?”
“Takut kehilangan Bapak.”
Kalimat itu membuat suasana hening seketika.
Yudhistira menatapnya lama, lalu duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Yunita pelan. “Aku janji, aku gak akan ninggalin kamu. Tapi kamu juga harus kuat, Yunita. Kalau kamu goyah, gosip itu akan menang.”
Air mata Yunita menetes, tapi ia tersenyum kecil. “Kenapa sih Bapak selalu ngomong kayak di drama?”
“Karena kamu hidup kayak pemeran utama drama yang keras kepala.”
Yunita tertawa kecil, lalu menyandarkan kepala di bahu Yudhistira. “Kalau hidup ini drama, aku harap ending-nya bahagia.”
Yudhistira membalas lirih, “Tergantung siapa yang menulis naskahnya. Tapi aku bakal pastikan kamu gak menangis di akhir.”
Bersambung
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏