"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10
Meja makan yang biasanya hanya di huni oleh tiga orang yaitu, pak Ikram, Kartika dan Sophia. Kini terasa lebih hangat dan ramai sebab Fauzan dan Renata sudah bergabung. Meski semuanya makan dalam keadaan hening, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Namun kehadiran sepasang suami istri tersebut mampu memberi atmosfer yang berbeda.
Renata dan Fauzan belum lama tiba dan mereka langsung disambut makan malam bersama yang sengaja di tunda oleh kedua orang tuanya demi menunggu kedatangan mereka.
"Nak, makan yang banyak. Ibu sengaja masakin sup ikan kakap kesukaanmu. Biar ASInya subur." Kartika menggeser mangkok ke arah Sophia, meminta menantunya untuk mengambil lagi.
"Sudah kenyang Bu, Alhamdulillah hari ini makannya enak sekali. Mungkin karena ada mbak Rena dan mas Zan." Sophia menoleh kearah Renata yang hanya tersenyum sambil mengusap punggungnya.
Renata tak bersuara ia hanya diam, menunggu Fauzan menghabiskan makannya.
"Rena, gimana pekerjaanmu nak?" Pak Ikram yang baru saja meletakkan gelasnya menatap ke arah Renata.
"Alhamdulillah lancar pak, meski di musim penghujan sekarang pasien jadi lebih meningkat. Makanya susah sekali kalau pengen ngambil cuti sekarang-sekarang pak." Renata menghela napas, mengingat dirinya yang tak bisa leluasa mengambil cuti. Bahkan tidak jarang disaat orang lain masih libur ia dan teman-temannya sudah berkutat dengan pekerjaan.
"Alhamdulillah nak, di saat orang lain susah mencari pekerjaan. Kamu masih bisa menikmati kesibukan bekerja meski ada hal yang harus di korbankan. Tapi tidak ada salahnya kalau sesekali kalian ambil cuti barengan dan pergi liburan. Karena bapak lihat kalian sama-sama sibuk dan jarang memiliki waktu bersama." Tutur pak Ikram panjang lebar sembari menatap putra dan menantunya bergantian.
"Iya pak, itu juga yang tengah kami pikirkan. Tapi mas Zan juga katanya ada proyek baru di sini daerah Bandung, jadinya malah makin susah buat mengatur waktunya."
"Beneran Zan?" Kartika yang sedari hanya menyimak sontak menatap Fauzan saat mendengar ucapan Renata yang mengatakan Fauzan ada proyek baru di daerah Bandung, berarti putranya itu akan lebih sering bolak balik Bandung.
"Iya bu, kemarin beberapa hari sebelum almarhum meninggal. Perusahaan memenangkan tender besar, dan Alhamdulillah perusahaan mempercayakannya padaku. Pak, bu. Doakan ya supaya proyeknya sukses dan lancar." Sahut Fauzan menganggukkan kepala.
"Enggak di minta pun ibu selalu mendoakanmu nak. Alhamdulillah enggak sia-sia ibu dulu habis-habisan menguliahkanmu sampai tinggi, karena kamu sekarang bisa sukses." Wajah Kartika berbinar, bangga dan bahagia nampak jelas dalam sorotnya selama menatap Fauzan. Kemudian paruh baya tersebut beralih menatap Renata.
"Re, ibu ingin berpesan padamu. Sekarang karir Fauzan semakin bagus otomatis penghasilannya pun akan meningkat, ibu harap kamu tetap bisa mengelola uang dan berhemat. Jangan karena suamimu gajinya besar terus kamu foya-foya dan membeli barang-barang branded. Fauzan bisa sesukses sekarang karena ada pengorbanan dan perjuangan kami di masa lalu." Ucapnya hati-hati, meskipun suaranya tenang dan pelan namun didalam nada bicaranya mengandung ketegasan yang tak ingin dibantah.
"Iya Bu," sahut Renata pendek. Rasanya ia ingin bicara panjang lebar mengungkapkan kalau selama ini dirinya hanya menerima uang jatah bulanan saja, untuk kebutuhan rumah dan dapur. Fauzan tidak pernah memberi lebih untuk uang jajan karena suaminya itu pernah berkata kalau dirinya memiliki penghasilan sendiri untuk mencukupi kebutuhan pribadinya.
Namun kata-kata yang ingin dilontarkannya hanya tersangkut di tenggorokan, pengakuannya hanya akan dianggap sebagai penyangkalan.
Ekor matanya melirik kearah Fauzan yang hanya diam dengan mata fokus pada ponselnya. Sudah bukan hal yang aneh bagi Renata, kalau suaminya itu pasti akan pura-pura tuli setiap kali Kartika memojokkannya.
"Bagus. Karena sekarang Fauzan ada si kembar juga yang harus diurus, mereka anak yatim sudah seharusnya mendapat limpahan kasih sayang dan perhatian. Selain pahalanya besar, menyayangi anak yatim juga bisa membuat rezeki kita semakin berkah apalagi ini keluarga sendiri. Sebelum sedekah pada orang lain pastikan dulu keluarga tidak kekurangan.
"Sayang, aku ke kamar duluan ya mau mandi sudah enggak betah." Fauzan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kemudian ia berdiri setelah mendapat anggukan dari Renata.
Setelah Fauzan pergi, Renata langsung berdiri membawa semua piring kotor ke dapur kemudian di cucinya. "Mbak Rena istirahat saja, ini perabotan biar bibi yang cuci. Mbak istirahat saja perjalanan Jakarta-Bandung kan lumayan jauh pasti capek." Bi Karsih segera mengambil alih piring kotor dari tangan Renata, lalu ia segera mencucinya.
"Bi, padahal biarin aku yang cuci sekalian cuci tangan."
"Sebaiknya mbak sekarang istirahat saja, sudah malam apalagi tadi di Jakarta juga sebelum kesini kerja dulu kan? bibi mah disini cuma beres-beres rumah gini aja jadi enggak terlalu capek." Ucap bi Karsih lagi seraya mengeringkan tangannya dengan lap.
Renata akhirnya mengalah, memang benar yang dikatakan oleh bi Karsih ia merasakan lelah. "Bi, aku pamit duluan ya, belum mandi." Ucapnya sambil terkekeh meninggalkan dapur.
"Iya mbak."
Sesampainya di kamar, Renata membuka tas lalu mengeluarkan pakaiannya bersamaan dengan munculnya Fauzan dari arah kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggang.
Renata segera berdiri membuka lemari mengambil pakaian Fauzan lalu meletakkannya diatas tempat tidur tanpa berucap sepatah katapun.
"Sayang kamu marah dengan ucapan ibu tadi?" Fauzan mendekati Renata kemudian duduk di tepi ranjang menghadap pada istrinya. Namun setelah beberapa saat Renata tak kunjung bersuara.
"Rena, kamu beneran marah? kenapa harus diambil hati, kan sudah tahu ibu memang seperti itu." Fauzan menarik Renata supaya duduk di sampingnya. "Tolong bicara! jangan ngambekan kayak anak kecil." Ucapnya lagi, seraya mengulurkan tangan hendak melepaskan jilbab yang masih dikenakan Renata. Namun dengan cepat Renata menghindarinya.
"Aku enggak marah sama ibu, karena sudah tahu juga sifatnya seperti itu. Aku hanya kecewa sama mas, kenapa di saat ibu bilang aku harus hemat mas diam saja? seenggaknya mas bicara kalau aku enggak pernah neko-neko! bahkan untuk beli kebutuhan pribadi saja aku pake uangku sendiri, mas tahu itu kan?" Ucap Renata pelan namun penuh penekanan. Ia tak habis pikir dengan Fauzan yang seolah tak peduli setiap kali dirinya terpojok oleh kata-kata ibu mertuanya.
"Kamu mau mas melawan ibu? kamu yang lebih muda seharusnya lebih paham dan mengalah sayang. Tadi dengar kan kata ibu apa? kami bukan dari keluarga berada, bahkan ibu dan bapak harus berjuang mencari nafkah sana sini hanya karena ingin aku kuliah. Jadi wajar kalau ibu punya ketakutan seperti yang beliau bilang tadi."
Mendengar ucapan Fauzan, Renata hanya menghela napas dalam. Menahan kekesalan yang kian memuncak. Sungguh laki-laki di depannya itu tidak paham dengan apa yang disampaikannya.
Tak ingin menambah emosinya. Renata memilih beranjak sambil membawa pakaian ganti menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu." Ucapnya seraya melangkah meninggalkan Fauzan yang perlahan kembali berdiri hendak memakai baju santainya.
.
.
.
Renata keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piyama. Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Fauzan, namun suaminya itu sama sekali tak terlihat. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengeringkan rambut.
Sebaiknya aku turun dulu sebelum tidur, tadi belum sempat ngobrol-ngobrol sama Sophie gumamnya sembari menyisir. Setelah memastikan rambutnya kering, Renata mengambil jilbab instan dan mengenakannya lalu keluar untuk menemui adik iparnya.
Kakinya terayun menuruni tangga, namun saat di tengah-tengah ia memelankan langkahnya saat samar-samar mendengar suara mertuanya.
"Zan, lihat! Azka semakin besar semakin mirip kamu lho!"
"Mirip Fajar Bu, tapi Fajar sama Zan kan mirip." Sela pak Ikram yang terlihat keberatan dengan ucapan sang istri, sebab mau bagaimana pun juga Azka dan Azkia anaknya Fajar jadi tak seharusnya istrinya itu berkata seolah-olah Azka dan Azkia adalah anaknya Fauzan.
"Iya pak, maksudnya ibu seperti itu."
"Ehem!... Si kembar sudah pada pulas ya? padahal tadi belum sempat bercanda." Renata mendekati ranjang bayi melihat dua keponakannya yang sudah terlelap.
"Sudah mbak, Alhamdulillah mereka enggak pernah tidur larut." Jawab Sophie menatap sepasang anak kembarnya dengan sorot bangga.
"Ya sudah ibu istirahat duluan. Sophie kalau si kembar bangun atau nangis panggil ibu atau mas mu, jangan sungkan-sungkan! dan tidurnya juga jangan larut. Rena, ibu duluan ya." Kartika menatap Sophie lalu beralih pada Renata, setelah itu ia baru pergi meninggalkan kamar almarhum putranya yang kini hanya ditempati Sophia dan kedua cucunya.
"Iya bu, selamat istirahat." Renata mengangguk sambil tersenyum untuk menyembunyikan kegetiran hatinya.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌