NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hukuman

Ada gumaman kecil yang enggak jelas dari balik pintu, lalu kunci berputar. Begitu pintu terbuka dan mata Rainn melihat kita berlima, dia langsung pucat dan mencoba tutup pintunya lagi.

Tapi aku sudah keburu taruh kaki di ambang, menahan pintu agar enggak tertutup. Aku dorong pelan, pintunya terbuka lagi.

Dia mundur beberapa langkah, wajahnya panik. “Ya, Tuhan. Aku enggak tahu apa yang Amilio lakuin. Aku enggak ada hubungannya sama sekali, sumpah.” Suaranya bergetar. “Dia enggak di sini.”

Aku tarik napas dalam, tanganku menyentuh bahunya pelan, bukan kasar, ya, cuma buat menenangkan. Tapi mataku menyapu sekujur tubuhnya, dan di situ aku lihat memar. Ungu. Merah. Biru.

Cavell juga lihat, dan dia berkomentar, “Itu udah lama kan, Remy?”

Rainn mundur lagi, tertatih-tatih. Melihatnya seperti itu, rasa marah di dadaku makin melawan logika. Aku keluarkan suara rendah, “Kenapa kamu jalan kayak gitu, hm?”

“Aku nginjak pecahan kaca,” keluhnya, mata sudah berkaca-kaca, ketakutan.

Aku enggak berpikir panjang. Aku maju, terus angkat dia, gendong dia ke meja dapur yang terlihat dari pintu masuk.

Matanya meleleh melihatku, suaranya melengking ketakutan. Aku merasakan dia gemetaran. Saat aku taruh dia pelan di meja, dia pegang bisep aku buat menahan diri agar enggak jatuh.

Aku setengah membungkuk di atas dia, tanganku di pinggulnya, mataku menangkap setiap detail di wajahnya. Nadaku bercampur amarah waktu aku tanya, “Waktu Torra sama anak buahnya datang, kamu diapain?”

Air matanya mengalir terus, dagunya gemetaran. Pemandangan itu malah bikin aku bengong. Gila, belum pernah ada yang sebegitu indah di depan mataku.

Aduh.

Dia imut banget waktu menangis.

Ada yang aneh di dadaku. Tanpa pikir panjang, aku buka sedikit kedua kakinya supaya bisa dekat, menempelkan kepala dia ke dadaku, dan peluk dia erat.

Aku belum pernah melakukan hal seperti ini dengan siapa pun. Rasanya aneh, tapi entah kenapa nyaman juga.

Braun berdahak pelan, “Kita tunggu di ruang tamu aja.”

Suara langkah mereka pergi, meninggalkan kita berdua di dapur.

Rainn mendorongku pelan, sedikit canggung, lalu buru-buru hapus air matanya pakai ujung jemari. Suaranya masih gemetar waktu dia jawab, “Torra bikin kagetku. Aku keseret ke lemari minuman, terus kacanya pecah dan kena kaki aku. Terus mereka ngacak-acak ruangan, terus pergi.”

“Kaki yang mana?” tanyaku.

“Kaki kanan,” bisiknya, matanya memperhatikan mukaku.

Aku mundur satu langkah, jongkok, pegang pergelangan kakinya dan cek perban di bawah tumit. Lega waktu aku lihat cederanya enggak serius, alias bisa sembuh.

Aku berdiri lagi, mataku menjelajahi tubuh dia sambil tarik lengan mungilnya, usap memarnya dengan ujung jari. “Siapa yang ngelakuin ini?”

Dia menolak, “Aku aja yang ceroboh.”

Aku tatap dia, mataku menyipit. “Kalau orang bohong ke aku, aku suka bunuhin dia.”

Waktu kata itu keluar, aku langsung menyesal.

Dia peluk tubuhnya sendiri, terus melirik ke pintu masuk. “Kenapa kalian semua datang ke sini?”

“Cavell kasih tahu aku dia kirim orang buat ngecek Amilio,” jawabku.

“Amilio enggak ada di sini.”

Aku tarik napas panjang. “Kita datang cuma mau lihat kondisi kamu.”

Matanya melewati mukaku, bingung. “Kenapa kamu repot-repot?”

Aku polos saja jawab, “Karena kamu enggak bersalah.”

Dia meninggalkan meja, melangkah menjauh, lalu menengok ke pintu masuk, “Kalian bisa pergi sekarang?”

Aku mengangguk, teriak ke teman-temanku di depan, “Ayo!!”

Keempatnya langsung melangkah ke ruang tamu, kami meninggalkan Rainn.

Aku harus keluarkan dia dari rumah Amilio secepat mungkin. Melihat wajahnya yang ketakutan bikin aku makin ingin bawa dia jauh.

“Sampai jumpa ... di pernikahan kita,” candaku sambil tatap dia sekali lagi.

Keluar rumah, aku tutup pintu depan, lalu ikut teman-teman ke G-Wagon.

Di mobil, Cavell menyeringai, “Jangan bunuh Torra. Dia selalu bantu aku. Dia cuma jalanin tugas.”

“Baiklah.”

Balik ke rumah besar Cavell, aku masuk dan panggil, “Torra!”

Enggak lama, Torra pun keluar dari dapur, mukanya basah keringat.

“Kamu nyakitin Rainn,” gertakku. Ekspresinya datar, terus aku tambah, “Dia punyaku.”

Ekspresi pasrah dari muka Torra. Dia enggak keberatan. Di dunia kita, orang rela mati untuk hal sepele, jadi aku enggak mau kompromi.

Aku tarik pistol dari belakang celana. Torra cuma mengangguk pelan, melipat tangannya, pasrah.

“Kamu bisa berterima kasih ke bos-mu.” Aku dekati, bidik kaki kanannya, dan tarik pelatuknya.

“Vloo!” teriak Cavell waktu Torra menjerit kesakitan. “Kasih Whisky!”

Hukuman itu berakhir, Farris tertawa sinis, “Habis ini, kekalahan pokermu bakal terasa kayak masalah kecil doang.”

Braun tepuk pundakku, “Ayo. Satu dari kita yang harus kasih pelajaran ke anak sombong kayak dia.”

Torra merintih, “Terima kasih, Boss. Aku enggak bakal ngulangin lagi.”

Aku mengangguk, jalan ke ruang hiburan, ambil gelas Whisky dari Vloo, lalu meneguknya.

Di kepalaku cuma ada satu rencana. Begitu Rainn jadi istri aku, aku bakal cari Amilio. Aku bakal bunuh dia dengan tanganku sendiri, karena sudah berani menyentuh adiknya.

...જ⁀➴ ୨ৎ જ⁀➴...

Masuk katedral, aku hampir enggak sadar sama bangku-bangku gereja yang kosong.

Pastor Yeskil baru saja keluar dari ruang pengakuan dosa, terus saat dia melihatku, dia langsung berlari ke arahku. "Tuan Arnold. Ini benaran enggak terduga."

Aku memang bukan orang yang religius, tembok gedung ini saja jarang melihatku datang, jadi wajar kalau dia kaget melihatku di sini.

Karena mau cepat-cepat pergi dari katedral, jadi aku berbisik, "Di mana kita bisa bicara berdua aja?"

"Kamu di sini buat pengajuan dosa?"

Aku tertawa, geleng-geleng kepala, "Aku masih nyaman sama cita-citaku buat ke neraka."

Big Jonny menahan tawa di belakangku sambil pura-pura batuk.

Wajah Pastor Yeskil sedikit kecewa sama komentarku. Dia menunjukkan sebuah pintu. "Kita bisa bicara di kantorku."

Aku mengikuti orang suci itu ke bagian belakang katedral dan masuk ke kantornya. Di sini pengap banget sampai kulitku jadi gatal.

Sambil menampung tatapan ke Big Jonny, aku kasih perintah, “Tunggu di luar.”

"Ya, boss."

Aku tutup pintu lalu alihkan perhatian ke pendeta itu.

Ada raut waspada di wajah Pastor Yeskil waktu dia tanya, "Kalau bukan buat beribadah, kenapa kamu di sini?"

Langsung ke pokoknya, jadi aku jawab, “Aku mau nikah dan aku butuhmu buat melaksanakan upacaranya.”

Keterkejutan lewat di wajah lelaki tua itu. "Oh." Dia berkedip ke arahku terus menghela napas lega. "Itu kabar baik. Kapan pernikahannya?"

Mungkin dia kira aku mau pakai Paroki ini buat tujuan yang enggak benar.

"Besok malam."

Semakin cepat aku selesaikan urusan ini, semakin cepat pula aku bisa kembali fokus ke bisnisku.

Alisnya terangkat. "Oh, waw. Bakal diadain di sini, di katedral?"

Aku geleng. "Upacaranya bakal di gedungku. Aku harap kamu udah di sana jam tujuh."

Dia maju ke meja dan bertanya, "Siapa pengantinnya?"

"Rainn Margot."

Tatapan pendeta itu mengarah ke mukaku, dan darahnya seolah berhenti di kulitnya. "Rainn enggak bilang apa-apa soal pernikahannya sama kamu."

Aku melangkah sedikit, menurunkan kepala. Nada suaraku jadi rendah, "Itu karena dia enggak tahu, dan bakal tetap gitu sampai kita berdua ngucapin janji suci nanti."

Ekspresi memohon membuat raut wajahnya makin keras. "Tuan Arnold, aku enggak bisa nikahin secara paksa antara kamu dan Ree."

Sabarku mulai tipis, rahangku mengatup waktu tatapan kita bersinggungan. "Kamu bakal lakuin apa yang aku katakan, atau pendeta baru yang bakalan ambil alih posisimu." Aku maju mendekat sambil mengancam. "Dan kamu enggak bakal bilang ke siapa pun soal ini sampai Rainn resmi jadi istriku."

"Dia anak baik," mohonnya. "Jangan lakuin ini padanya."

Setelah percakapan itu, aku berdengung, "Besok malam, jam tujuh tepat. Jangan sampai aku nambahin seorang pendeta ke daftar dosa aku." Buat membungkamnya, aku tutup jarak di antara kita dan memperhatikan dia sejahat mungkin yang bisa aku lakukan.

"Aku bakal kuras tiap tetes darah dari tubuhmu sebelum aku paku kamu ke Salib terkutuk itu."

Orang tua itu menelan ludah dengan susah payah, tubuhnya gemetaran, kepala manggut-manggut panik ke atas dan ke bawah.

Setelah pertemuannya selesai, aku pun jalan ke pintu, buka pintunya, meninggalkan pendeta yang melongo di kantornya, terus meninggalkan katedral.

Aku ingin bereskan pernikahan ini secepat mungkin agar hidupku bisa balik normal lagi.

Semoga Tuhan mengutuk siapa pun yang berani menghalangiku untuk menaruh cincin di jari Rainn.

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!