Wulan, seorang bayi perempuan yang diasingkan ke sebuah hutan karena demi menyelamatkan hidupnya, harus tumbuh dibawah asuhan seekor Macan Kumbang yang menemukannya dibawa sebatang pohon beringin.
Ayahnya seorang Adipati yang memimpin wilayah Utara dengan sebuah kebijakan yang sangat adil dan menjadikan wilayah Kadipaten yang dipimpinnya makmur.
Akan tetapi, sebuah pemberontakan terjadi, dimana sang Adipati harus meregang nyawa bersama istrinya dalam masa pengejaran dihutan.
Apakah Wulan, bayi mungil itu dapat selamat dan membalaskan semua dendamnya? lalu bagaimana ia menjalani hidup yang penuh misteri, dan siapa yang menjadi dalang pembunuhan kedua orangtuanya?
Ikuti kisah selanjutnya...,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pangeran Rajendra
Sosok itu berjalan dengan cepat hutan. ia sudah menyiapkan kuda sejak beberapa hari yang lalu. Ia menanggalkan gelar pangeran, demi untuk mencari ketenangan jiwanya.
Ia melompat naik keatas punggung kuda, lalu menarik tali kekangnya, dan pergi meninggalkan istana, menembus kegelapan malam yang semakin pekat.
Sementara itu, Sang Macan Kumbang sedang duduk bersila diatas sebuah batu besar. kemudian mengatupkan kedua tangannya didepan dada seolah sedang bertapa. Ia memejamkan kedua matanya, lalu merapalkan mantra dan doa yang membuat selarik cahaya berwarna keperakan mengitari bagian perutnya.
Ia membangkitkan tenaga dalamnya, sebab ujung pedang tersebut beracun, dan pastinya sangat berbahaya untuknya.
Perlahan larikan cahaya itu menghilang bersama dengan lukanya yang mulai tampak menghilang dan sembuh secara instan.
Ia menghela nafasnya dengan sangat dalam, lalu mengakhiri pengobatannya.
Tatapannya nanar menatap dinding goa. Ia membayangkan wajah Wulan yang semakin hari semakin tumbuh dewasa.
Ia telah merawat gadis itu sedari kecil saat sang ayah yang merupakan seorang Adipati penguasa kadipaten Utara diserang oleh pemberontak yang merongrong kekuasaannya.
Diluar dugaan, Wulan justru dianggap membawa petaka bagi Kadipaten yang telah diramalkan oleh seorang dukun sakti, yang mana Wulan akan menjadi penghancur bagi Bisrah, yang saat itu sudah bersiap untuk merebut kekuasaan Wijaya Ningrat.
Untuk menghindari kejadian itu terjadi, maka sang Patih yang telah berkhianat, bergerak cepat untuk membinasakan sang Adipati bersama istri dan juga puteri yang baru saja dilahirkan.
Tetapi satu kesalahan besar yang dilakukan oleh sang Patih, yang mana ia tidak menyadari sesosok makhluk yang sedang bertapa telah menghuni goa itu jauh terlebih dahulu dari kedatangan Wilan. Dia adalah Macan Kumbang yang bernama Birendra, sang Pemimpin sejati, datang menyelamatkan sang bayi mungil.
Sementara itu, Wulan, merasa gelisah saat mengetahui jika sang Macan Kumbang terluka oleh goresan ujung pedangnya. Ia takut terjadi sesuatu dengan sosok yang ia sebut guru.
"Apakah ia marah padaku?" gumamnya lirih, sembari meletakkan ujung dagunya diatas lututnya yang ditekuk.
"Aku tidak marah padamu, aku juga baik-baik saja, dan kamu beristirahatlah, esok kita lanjutkan kembali," ucap Birendra dengan suaranya yang terdengar sangat lembut dan menenangkan.
Seketika Wulan mengangkat wajahnya, lalu melihat sang Macan Kumbang berjalan menuju padanya.
"Guru...," teriaknya, lalu melompat dari ranjang batu dan berjalan cepat, ia mendekap erat tu--buh sang Macan dengan sangat erat dan ia sangat takut jika sesuatu terjadi pada sang Guru.
"Aku mengkhawatirkanmu," ucap Wulan dengan cepat, lalu mengecup pipi sang Macan Kumbang dengan perasaan yang sangat dalam.
"Aku tidak ingin berlatih pedang, aku tidak membuatmu terluka," ucapnya dengan terisak. Ia sangat takut jika sosok itu meninggalkannya.
"Jangan cengeng lemah dan lemah, sebab musuhmu jauh lebih berbahaya diluar sana," tegasnya dengan nada penuh penekanan.
Wulan tampak lega, setidaknya sang guru tidak mengalami hal yang sangat serius
"Memangnya, seperti apa diluar sana," tanyanya dengan antusias.
"Sesuatu yang tak pernah kau lihat didalam goa," jawabnya dengan meyakikan.
"Benarkah?" Wulan semakin bersemangat.
Sang Macan Kumbang meraih jemari tangan gadis lugu tersebut, dan ia mengusap gelang tangan yang terbuat dari emas, dan merupakan peninggalan dari kedua orangtuanya.
"Gelang ini tersemat nama romomu dan juga Kadipaten yang dipimpinnya. Maka jangan pernah mengenalkan namamu pada siapapun dengan nama romomu." pesannya pada sang gadis.
"Lalu, aku harus menggunakan nama apa?" tanyanya dengan rasa penasaran.
"Wulan Ningrum, tanpa gelar Ningrat dibelakangnya," tegas sang Macan Kumbang.
Gadis itu mendengarkan dengan seksama. "Baiklah, aku akan mengingatnya, guru." ucapnya dengan cepat.
"Baguslah, sekarang istirahat, sebab esok kamu akan berlatih lagi, ada ajian yang masih harus kamu pelajari,"
"Baik, Guru," sahutnya dengan cepat. Lalu beranjak ke batuan cadas yang menjadi tempat untuk tidurnya.
Sementara itu, sang Macan Kumbang memejamkan kedua matanya. Ia melihat dalam bayangan mata bathinnya, seorang pemuda berwajah tampan sedang menunggangi kuda dan menuju ke arah hutan.
Birendra melirik Wulan yang sudah meringkuk diatas tempat tidurnya. Dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya, Birendra melesat keluar dari dalam goa, lalu menuju ke hutan, tempat dimana sang pemuda sedang dalam pelarian diri.
Sosok itu menggunakan ajian saifi angin, untuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan sangat mudah.
Hingga akhirnya, sebatang pohon yang tumbuh tinggi, membuatnya terhenti sejenak, ia ingin beristirahat untuk melepaskan lelah.
Ia menambatkan kudanya dibawah pohon. "Kamu disini saja, jangan kemana-mana," titahnya pada seekor kuda berbulu coklat tua itu.
"Ngiiiiiik," ringkik kuda itu dengan patih, seolah mengetahui apa yang dikatakan oleh tuannya.
Rajendra menaiki pohon dengan sangat mudah, lalu duduk diatas dahannya, dan ia ingin beristirahat dengan santai, setelah membuat seisi istana kacau balau karena ia menghilang tanpa jejak.
Saat ia hampir saja terlelap, indera penciumannya mengendus sesuatu yang tak biasa.
Ia membuka matanya, menajamkan indera penglihatannya dalam kegelapan malam.
Sontak saja ia tersentak kaget, saat melihat seekor macan kumbang sudah berdiri menatapnya diatas dahan yang sama.
"Hah! Ia tersentak kaget, dan dengan cepat mencabut pedang dipinggangnya, lalu menghunuskannya ke arah macan kumbang.
"Jangan mendekat, Ki! Aku hanya menumpang tidur," ucapnya dengan sikap waspada.
"Turunkan senjatamu, apakah kau bersikap lancang saat datang kerumah seseorang," ucap Macan Kumbang dengan menatap sang Pangeran.
Pemuda itu kembali menyarungkan pedangnya. "Baiklah, maaf, tapi jangan mengelabuiku,"
Gggrrrrr
Sang Macan Kumbang bersiap untuk menerkam, tetapi Rajendra dengan sigap menangkap kucing besar itu, lalu memeluknya. "Sudah, jangan bermain lagi, aku mengantuk," ucapnya dengan santai, lalu memejamkan matanya dan tertidur dengan pulas.
Sedangkan sang Macan Kumbang tampak memperhatikan wajah sang pemuda. Usianya kini sudah menginjak dua puluh lima tahun. Ia sudah pantas menikah, dan juga akan mewarisi tahta ayahnya.
Tetapi saat esok akan diadakan pemilihan calon puteri raja yang berasal dari keluarga bangsawan, ia justru melarikan diri, dan membuat suasana kerajaan menjadi kacau.
"Lapor, Yang Mulia, Raden Pangeran Rajendra tidak ada dikamarnya, sepertinya ia melarikan diri, dan tidak mau menerima perjodohan yang akan dilakukan esok hari. Sedangkan para bangsawan dan juga Tumenggung yang mendapatkan undangan dari kerajaan sudah melakukan perjalanan menuju ke istana," seorang Senopati melaporkan atas hilangnya pangeran yang entah bagaimana bisa melakukan tindakan yang dianggap sebagai bentuk hinaan dan mempermalukan Raja.
Wajah Arsana tampak memerah. Ia menatap sang Senopati dengan sangat kesal. "Cari, dan temukan Pangeran, jangan sampai tidak ketemu!" titah sang raja dengan murka.
Sang Ratu Gusti Rahayu tampak gelisah. Ia merasakan dadanya sangat sesak, bagaimana putera mahkota dapat mencoreng aib diwajahnya.
berguling dibukit diiringi lagu
tum pa se aeeee
tp ini rajendra mah kok ya suka kali ngelitik si macan sih 🤔🤔
kk siti masih ada typo ya di atas hehehe
meski aq ratu typo sih 🤭🤭