Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Ben!
"Aku terlalu sering menunggu di antara kemungkinan, seolah kamu masih nyata. Padahal yang kutunggu mungkin cuma bayangan dari harapan yang tak pernah pulang."
...***...
Ponsel Rayna berdering, nomor tak dikenal yang tadi mengirim pesan. Seseorang yang ia harap itu Vando saat ini menelponnya. Jantungnya berdebar tak karuan, tangannya gemetar saat menjawab panggilan itu.
"Halo?" ucap Rayna dengan suara bergetar.
Beberapa detik hening, membuat Rayna semakin tegang. Kemudian, sebuah suara menjawab,
"Halo, Rayna sayang."
Rayna mengerutkan kening. Suara itu terdengar familiar, tapi bukan Vando.
"Loh, Mama? Kok Mama pakai nomor baru?" tanya Rayna, sedikit lega.
"Ah, ceritanya panjang, Rayna. Sekarang Mama cuma mau ngabarin ke kamu kalau ada apa-apa hubungi ke nomor ini ya," jawab Mama dari seberang sana.
"Mama ini, Rayna pikir tadi...." Rayna menggantungkan kalimatnya, merasa sedikit malu.
"Siapa hayo? Kamu mikir siapa?" goda Mama.
"Emm... aku pikir tadi orang iseng," jawab Rayna, berusaha menutupi kegugupannya.
"Hahaha, siapa sih yang berani isengin anak Mama yang cantik ini?" Mama tertawa.
"Ya ini Mama iseng," balas Rayna, ikut tertawa kecil.
"Eh, Mama gak iseng loh, cuma ngabarin kamu. Eh, ngomong-ngomong, Ben ada di situ sama kamu?" tanya Mama.
"Nggak ada, Ma, dia udah gede kali. Dan kehidupan dia bukan cuma deket-deket sama aku doang, Ma," jawab Rayna, sedikit kesal.
"Emm, iya iya, tapi kalian harus pulang bareng ya. Pokoknya Mama harus liat kamu dianter sama dia ke rumah," pinta Mama.
"Iya, Mama," jawab Rayna pasrah.
"Yaudah, gitu dulu deh ya, Rayna. Babay!"
"Bye, Ma!"
Telepon ditutup. Rayna menghela napas. Ada sedikit rasa lega di hatinya karena ternyata itu bukan Vando. Tapi, di saat yang sama, ada juga rasa kecewa karena pesan itu bukan dari seseorang yang ia tunggu. Ia merasa bodoh karena sempat berharap.
Baru saja Rayna menyimpan ponselnya, sebuah pesan masuk dari Ben.
"Lo di mana? Gue udah nunggu lo lama di depan gerbang ini."
Rayna menghela napas. Ia lupa kalau hari ini ia harus pulang bareng sama Ben. Dengan cepat, ia membalas pesan Ben.
"Iya, gue kesana sekarang."
Rayna bergegas keluar kelas, berusaha menyembunyikan rasa kecewa di hatinya. Ia harus bersikap seperti biasa di depan Ben. Ia tidak ingin Ben tahu tentang pesan misterius itu, atau tentang perasaannya yang masih belum sepenuhnya hilang pada Vando.
Rayna naik ke motor Ben, lalu mereka melaju meninggalkan sekolah. Ben tiba-tiba membunyikan klakson berkali-kali sambil berteriak,
"Minggir, minggir! Orang ganteng mau lewat nih!"
Orang-orang di sekitar mereka langsung menoleh dan menatap Ben dengan berbagai ekspresi. Ada yang tersenyum geli, ada juga yang menggelengkan kepala.
"Ih, Ben, lo ngapain sih?" tegur Rayna, merasa malu.
"Abis mereka ngalangin tau," jawab Ben santai.
"Iya, tapi nggak usah gitu juga, malu tau!" kata Rayna lagi.
"Malu? Kok malu sih? Kalau jadi tukang bangunan baru tuh malu, ngapain lo malu coba?" balas Ben.
"Loh, kok jadi tukang bangunan malu? Kan pekerjaan halal," sanggah Rayna.
"Iya, gue tau halal, tapi ya tetep aja malu," kekeh Ben.
"Ya enggak dong, ngapain malu? Aneh banget sih lo! Malu tuh kalau jadi maling, atau berbuat hal yang jahat, itu baru malu bahkan pake banget." Rayna berusaha menjelaskan.
"Ohh, tentu tidak. Jadi maling gak perlu malu, Ray. Yang perlu malu itu jadi tukang bangunan," Ben bersikeras dengan pendapatnya.
Mereka terus berdebat dengan pendirian masing-masing, hingga tiba-tiba Rayna tersadar akan sesuatu.
"Malu? Malu? Ohhh, maksudnya malu itu!" seru Rayna sambil menoyor kepala Ben dan sedikit malu karena ia baru tersadar.
"Aw, apaan sih kok kepala gue ditoyor gitu? Bener kan tukang bangunan malu?" protes Ben sambil mengusap kepalanya.
"Itu sih 'memalu', Ben! Ih, bukan malu yang ... Tau ah.. Kesel deh!" Rayna mendengus.
"Lah, emang iya, lo pikir malu apaan?" Ben masih bingung.
Ben sedikit bingung, tapi kemudian ia sadar itu hanya jokes. Ia pun tertawa terbahak-bahak, membuat Rayna semakin bingung. Akhirnya, Rayna memilih diam sepanjang perjalanan pulang. Sesampainya di depan rumah Rayna, Ben memarkirkan motornya.
"Udah sampe nih," kata Ben, masih tertawa kecil.
Rayna turun dari motor dengan perasaan campur aduk. Ia bingung kenapa Ben tertawa, tapi ia juga merasa malu karena tadi sempat terpancing emosi.
"Makasih," ucap Rayna singkat, lalu berbalik menuju pintu rumah.
"Ray, kamu kenapa sih? Kok diem aja?" tanya Ben, menghentikan langkah Rayna.
Rayna berbalik, menatap Ben dengan tatapan bingung. "Aku? Nggak papa kok," jawabnya, berusaha tersenyum.
"Beneran? Tapi kok kayak yang lagi mikirin sesuatu?" Ben menatap Rayna dengan tatapan menyelidik.
Rayna menghela napas. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak ingin Ben tahu tentang kebingungannya, atau tentang pesan misterius yang ia terima tadi.
"Udah ah, aku masuk dulu ya. Udah sore," kata Rayna, berusaha mengakhiri percakapan.
"Oke deh. Tapi kalau ada apa-apa cerita ya," pesan Ben.
Rayna mengangguk singkat, lalu berbalik dan hendak masuk ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba ia berbalik lagi, menghampiri Ben yang masih berdiri di depan gerbang.
"Ben!" panggil Rayna.
Ben menoleh, menatap Rayna dengan tatapan bertanya. "Kenapa?"
"Lo masuk dulu deh! Temuin Mama," pinta Rayna. Ia teringat pesan Mama yang ingin melihatnya diantar Ben sampai rumah.
"Kenapa?" Ben mengerutkan kening, bingung.
"Udah, nggak usah banyak tanya! Cepetan sini temuin Mama," Rayna menarik tangan Ben, membawanya masuk ke halaman rumah.
"Iya, iya," Ben hanya bisa pasrah mengikuti Rayna. Ia masih bingung, tapi ia juga penasaran kenapa Rayna tiba-tiba menyuruhnya menemui Mama.
Rayna menggandeng Ben masuk ke dalam rumah, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Mamanya nanti, tapi ia berharap semuanya berjalan lancar.
"Hai, Ma!" sapa Rayna begitu mereka masuk ke ruang tamu.
Mama yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV, langsung menoleh. Matanya berbinar melihat Rayna datang bersama Ben.
"Eh, ada Ben. Sini, Nak, duduk," Mama menyuruh Ben duduk di sofa.
Ben tersenyum ramah dan duduk di sebelah Rayna. "Lagi ngapain nih, Tante?" sapanya sopan.
"Biasa, nonton TV nih," jawab Mama.
Rayna hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Ia merasa sedikit tegang, menunggu Mamanya menanyakan hal-hal yang aneh.
"Nah, gitu dong, Ray. Mama kan seneng liat kamu dianter Ben. Jadi tenang Mama kalau kamu pergi-pergi," ujar Mama sambil tersenyum lebar.
Rayna hanya membalas senyuman Mamanya dengan kikuk. Ia merasa bersalah karena sempat berpikiran aneh tentang Mamanya.
"Mama ini ada-ada aja," sahut Rayna, mencoba mencairkan suasana.
"Ya emang bener kan? Eh, Ben, tadi kamu kan udah sarapan di sini ya? Enak kan masakan Mama?" tanya Mama, menoleh ke arah Ben.
Ben tersenyum lebar. "Enak banget, Tante! Selalu jadi favorit Ben deh," jawab Ben dengan semangat.
"Tuh kan, Ray. Dengerin tuh, Ben aja suka masakan Mama," kata Mama sambil tertawa kecil.
Rayna merasa lega karena Mamanya tidak menanyakan hal-hal yang aneh. Ia berharap semua ini segera berakhir.
"Eh, tapi kok Mama perhatiin kamu kayak yang lagi nggak enak badan gitu, Ray?" Mama melanjutkan sambil menatap Rayna dengan tatapan khawatir. "Kamu nggak sakit kan?"
Rayna tersentak kaget. Ia merasa Mamanya mulai mencurigai sesuatu. "Nggak kok, Ma. Rayna baik-baik aja," jawab Rayna, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Beneran? Kok muka kamu pucet gitu? Atau jangan-jangan kamu lagi mikirin sesuatu?" tanya Mama lagi, semakin membuat Rayna gelisah.
Ben hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, tapi ia tidak tahu apa itu. Ia menatap Rayna dengan tatapan khawatir, tapi Rayna hanya memalingkan wajahnya.
Bersambung...