Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10.
Kodasih menatap Mbok Piyah dengan tatapan tajam.
“Tidak usah kamu banyak bertanya! Tuan Menir belum benar benar pergi.” Ucap Kodasih dengan nada dingin.
Mbok Piyah dan teman temannya langsung menganggukkan kepala dan cepat cepat melangkah pergi melaksanakan perintah Kodasih yang kini menjadi pengusaha loji dan perkebunan kopi menggantikan Tuan Menir. Sedangkan Pak Karto melangkah keluar loji untuk menemui Pak Mandor Yatmo.
🌸🌸🌸
Pagi itu, kabut belum sepenuhnya sirna saat puluhan pekerja mulai berkumpul di halaman loji. Mereka berdiri diam, sebagian berbicara pelan dengan nada khawatir.
Lalu dari pintu depan loji terbuka lebar.. aroma kemenyan dan aroma bunga empat rupa menguar pekat dari dalam loji itu..
Kodasih melangkah keluar, masih pucat, namun sudah berganti pakaian. Kebaya hitam panjang membungkus tubuh nya. Rambutnya disanggul rapi, meski tak seketat biasanya. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam.
Mbok Piyah dan teman temannya mengiringi langkah Kodasih dari belakang..
“Saudara saudara, Ibu ibu, bapak bapak semua...” suaranya lirih, tapi cukup nyaring didengar. “Tuan Menir sudah tiada. Tapi loji dan seluruh perkebunan kopi belum runtuh.”
Beberapa pekerja mulai berbisik. Seorang pria muda mengangkat tangan. “Lalu siapa pemilik loji dan kebun kebun kopi sekarang, Nyi?”
“Aku,” jawab Kodasih tegas. “Sampai surat tanah dan warisan jatuh ke tangan lain, aku akan jaga tempat ini.”
Sejenak hening.
Lalu Mandor Yatmo maju, berdiri di samping Kodasih. “Kalau begitu, Nyi... kami ikut. Tapi kami butuh kepastian. Jepang bukan pihak yang bisa ditawar tawar.”
Kodasih mengangguk. “Aku mengerti. Gaji kalian akan dibayarkan hari ini. Sekarang bekerja lah kalian seperti biasanya. Nanti sore gaji kalian akan aku bayar.”
Mandor Yatmo memberi hormat singkat. “Baik, Nyi.”
Namun sebelum pekerja mulai bubar, sebuah suara lirih terdengar dari arah dalam rumah.
Suara anak kecil bergumam lirih tidak begitu jelas.
Padahal... tak ada anak anak di loji itu.
Semua menoleh.
Dari jendela loteng, sebuah bayangan kecil terlihat berdiri. Seorang anak perempuan berambut pirang, mengenakan gaun putih kusam.
Ia menatap langsung ke arah Kodasih... lalu tersenyum.
Namun tak semua melihatnya.
Hanya Kodasih, Mbok Piyah, dan Tiyem yang menyadari bayangan itu.
“Nyi...” suara Mbok Piyah bergetar. “Itu... siapa...?”
Kodasih tidak menjawab.
Ia hanya menatap ke arah loteng, lalu bergumam pelan.
“Arwah yang juga tidak ingin loji ini jatuh ke tangan orang lain.. mungkin lebih dari satu.” Ucap Kodasih lalu melangkah masuk ke dalam loji megah itu.
Kodasih seorang diri melangkah menuju ke ruang kerja Tuan Menir.
“Semoga masih ada uang cukup untuk membayar pekerja. Aku tidak perlu menjual perhiasan atau kopi sebelum waktu nya.” Gumam Kodasih sambil melangkah masuk.
Kodasih duduk sendiri di ruang kerja Tuan Menir, yang kini menjadi miliknya. Aroma cerutu tua dan kertas lembab masih melekat di udara, meski jendela sudah dibuka lebar. Di hadapannya, sebuah kotak kayu kecil terbuka. Di dalamnya: kunci lemari, surat surat, dokumen tanah, dan selembar foto yang sudah mulai pudar.
Foto itu menampilkan seorang pria Belanda, berdiri di samping seorang perempuan Jawa muda belia dengan tatapan muram. Kodasih. Dulu.
Dari balik jendela, bayangan kecil si anak perempuan muncul lagi. Kali ini lebih dekat. Lebih nyata. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajah.
Kodasih tidak bergeming. Ia tahu siapa anak itu.
“Dia tidak pernah dilahirkan di dunia ini,” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Anakku... yang tak sempat aku miliki.”
Air mata Kodasih meleleh.. Statusnya sebagai gundik, dipaksa harus menggugurkan kandungannya. Tuan Menir tidak ingin mendapat masalah dengan atasan dan istri sahnya. Meskipun Tuan Menir sangat menyayangi Kodasih.
“Apa dia bersekutu dengan Tuan Menir, Papanya. Dan menyerang aku semalam.. hingga aku berada di ujung kematian ku ..” gumam Kodasih yang jantungnya mulai berdebar debar..
“Aku harus ke rumah Mbah Jati, untuk mencari tahu semua ini.. Hubunganku dengan arwah Tuan Menir katanya sudah tidak ada cinta. Tapi kenapa dia marah besar saat aku akan mencari laki laki lain..” gumam Kodasih di dalam hati lagi.
Setelah mengambil satu kantong uang, lembaran dan logam dari laci uang di dalam lemari. Kodasih cepat cepat keluar dari ruang kerja Tuan Menir.
“Pak Karto!” teriak Kodasih menggema di dalam loji megah itu.
Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki cepat cepat setengah berlari.
“Ya Nyi...” suara Pak Karto patuh dengan tubuh sedikit membungkuk saat berada di dekat Nyi Kodasih
“Ini uang gaji untuk para pekerja. Nanti kamu berikan pada Pak Mandor.”
“Dan sekarang suruh Pak Sastro menyiapkan kereta kuda, aku akan ke rumah Mbah Jati.” Titah Kodasih selanjutnya.
Pak Karto menerima satu kantong yang terasa berat dan ekspresi wajahnya terlihat sangat kaget.
“Nyi mau ke rumah Mbah Jati? Sendiri?” tanya Pak Karto dengan hati hati.
“Iya! Cepat jangan banyak tanya! waktuku tak banyak!”
Pak Karto mengangguk tanpa bertanya tanya lagi, tapi jelas ada keraguan di wajahnya. “Baik, Nyi. Tapi... jalanan ke sana sempit , masih licin dan....” Pak Karto berhenti sejenak mengambil nafas dalam dalam, “Apa tak sebaiknya ...”
“Sudah ku bilang tidak ada waktu,” potong Kodasih. “Aku harus pergi sekarang.”
Kodasih berdiri di pelataran loji. Kabut mulai menipis, tapi bayang-bayang belum sepenuhnya pergi. Ia menoleh ke arah samping.
Tak lama kemudian, suara roda kayu dan derap kuda terdengar dari samping loji. Kereta kuda tua milik Tuan Menir, dulu dipakai untuk ke kota atau menyambut tamu pejabat, sebelum ia punya kereta besi atau mobil. Kini kereta kuda itu dinaiki oleh perempuan yang status nya sebagai gundik Tuan Menir.
Kodasih menaiki kereta itu tanpa ragu. Baju kebaya hitamnya menjuntai, anggun sekaligus angker. Ia duduk sendiri di dalam, menggenggam erat tas kecil berisi uang, foto, kunci, dan surat-surat penting.
Sastro, kusir tua yang sudah setia sejak dulu , hanya menatap lewat kaca kecil di depan. “Nyi... kalau boleh tanya... Nyi bawa pisang raja atau bunga telon?”
“Tidak,” jawab Kodasih singkat.
Sastro menghela napas. “Kalau begitu kita harus cepat. Jalanan ke rumah Mbah Jati suka dimainin... sama yang tak kelihatan.”
Kereta mulai bergerak pelan, menyusuri jalan tanah berlumpur yang membelah kebun kopi tua. Pepohonan menjulang di kiri dan kanan, menutupi langit yang mulai gelap meski hari masih pagi. Di dalam kereta, Kodasih hanya diam. Tapi hatinya tak tenang. Angin dari jendela kecil membawa bisikan samar , bahasa Belanda yang dulu begitu akrab di telinganya.
“Je bent van mij... voor altijd...”
(“Kau milikku... selamanya...”)
Kodasih memejamkan mata, menenangkan dirinya.
Suara itu bukan dari dunia ini.
Tiba-tiba, kuda di depan meringkik keras.
Kereta berguncang.
“Sastro, ada apa?” Kodasih mengetuk dinding kayu keras.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk