Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Rayza sudah tiba dan kini duduk sangat dekat denganku, di seberang meja makan. Ini adalah momen paling dekat kami sejak pertama kali bertemu di sebuah acara kemarin yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami. Meskipun pada akhirnya, acara itu berantakan total… dan entah kenapa, aku justru merasa lega.
Setidaknya kali ini dia tidak datang dalam keadaan mabuk berat, pikirku sambil melirik pria di hadapanku.
Sekarang setelah aku bisa melihatnya dari jarak sedekat ini, aku harus jujur Rayza memang tampan dan memikat. Rambut cokelat terang yang rapi, kulit bersih, mata tajam berwarna cokelat muda, dan wajahnya... ya, wajah yang terawat dengan hidung mancung dan rahang tegas. Dia terlihat seperti perpaduan antara aktor film, pangeran kerajaan, dan model iklan parfum mahal.
Seperti yang kulihat waktu di gedung, Rayza sangat tinggi. Bahkan dengan sepatu hak tinggi yang terpaksa kupakai saat itu, tinggiku masih belum sampai ke pundaknya. Nggak heran kalau dia pasti punya pacar… atau minimal, mantan pacar… atau selingkuhan… atau entahlah, lebih dari satu?
Dan aku cukup yakin, pria setampan dan sekarismatik dia pasti nggak akan tertarik sama cewek biasa kayak aku. Aku nggak bilang aku nggak menarik, tapi aku juga bukan tipe wanita yang tampil di majalah fashion. Sementara Rayza... dia pasti dikelilingi cewek-cewek sekelas selebgram atau artis sinetron.
Tapi ya, kalau dipikir-pikir… justru itu jadi keuntunganku.
Meski wajahnya menarik dan gayanya memukau, ada sesuatu yang terasa ganjil dari sosok Rayza. Sejak dia melangkah masuk ke ruangan ini, auranya terasa berat. Gelap. Mengintimidasi.
Keheningan ini rasanya menyesakkan. Tegang. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana. Mulai ngobrol duluan? Atau langsung makan saja? Tapi… apa itu nggak sopan?
Hhh… kenapa aku malah jadi overthinking sekarang?
“Umm… aku Maya Sanjaya. Senang bertemu denganmu,” kataku akhirnya, mencoba tersenyum sedikit. Aku nggak tahu ekspresiku kelihatan seperti apa, tapi aku curiga senyumku lebih mirip orang meringis.
“Aku sudah tahu namamu. Dan aku juga tahu kau nggak benar-benar senang bertemu denganku. Aku juga bisa bilang hal yang sama,” jawab Rayza datar, tanpa ekspresi.
“Ya, kurasa kau benar. Aku juga sudah tahu namamu… jadi, aku mulai makan saja ya,” balasku, sama datarnya.
Yang membuatku terkejut, Rayza malah melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat aku mulai.
“Kudengar kamu ke sini karena utang 7 miliar ke Ayahku. Kerja tiga puluh hari di perusahaanmu dianggap sepadan? Kamu cukup mahal juga ya… siapa nama ‘panggung’ kamu? Aku pengin cari tahu,” tanya Rayza sambil menatap wajahku tanpa berkedip.
“Saya… saya nggak kerja di bidang seperti itu…” jawabku pelan.
“Tentu saja tidak. Lihat saja penampilanmu,” katanya sambil mengedarkan pandangan dari atas kepalaku sampai ke pinggang, yang hanya bisa dilihat dari sudut tempat duduknya.
“Apa maksudmu?” tanyaku, tak lagi berusaha menyembunyikan nada kesal di suaraku.
“Wajahmu polos, bentuk tubuhmu juga biasa aja. Aku nggak bakal mau bayar kamu segitu, bahkan kalau gratis pun aku pikir-pikir dulu. Jujur aja, aku heran kenapa Ayahku sampai bisa jatuh standar,” kata Rayza seperti sedang menilai barang dagangan.
“Buat kamu tahu aja, aku juga nggak mau ada di sini!” bentakku.
“Bagus. Aku juga nggak butuh satu lagi cewek matre yang nemplok demi uang, apalagi yang nggak punya tampang. Jadi dengerin baik-baik yang mau aku bilang,” katanya sambil menyandarkan dagunya di tangan dan menatapku lurus.
“…Aku dengar,” jawabku tegas.
“Biar jelas antara kita. Setelah tiga puluh hari ini selesai, kita berdua bakal bilang ke Ayahku supaya batalkan semua kesepakatan gila ini. Tenang aja, kamu bakal bebas dari utangmu begitu saja,” ucapnya mantap.
“Deal. Mantap! Kayak musik di telinga!” jawabku dengan nada yang mungkin agak terlalu keras karena senangnya.
“Walaupun kita harus tinggal bareng di sini, aku punya beberapa aturan…” lanjut Rayza, tak menghiraukan reaksiku.
“Oke…” jawabku kali ini lebih kalem.
“Aturan nomor satu, kamu nggak boleh… jangan pernah… masuk ke kamar aku,” katanya dengan mata tajam menatapku.
“Ya jelas lah…” aku langsung setuju. Maksudku, kenapa juga aku pengin masuk ke kamarnya?
“Aturan nomor dua, jangan pernah sentuh aku tanpa izin,” lanjutnya.
“Baik… tentu aja,” jawabku cepat. Emangnya ngapain juga aku harus… nyentuh dia?
"Aturan nomor tiga, kamu nggak boleh ngomong ke aku kecuali aku yang duluan ngajak bicara," katanya sambil menatap mataku tajam, memastikan aku benar-benar menangkap setiap katanya.
"Kalau kita lagi nentuin apakah aku bakal bantu kamu atau kamu yang minta tolong ke aku, gimana?" tanyaku, penasaran. Sebenarnya aku juga nggak niat mulai obrolan sama dia, tapi kadang situasinya nggak bisa dihindari.
"...kalau begitu ya boleh bicara, kurasa..." jawab Rayza setelah mikir sebentar.
"Oke... terus... ada lagi?" tanyaku.
"Peraturan terakhir. Nomor empat, kamu harus nurut apapun yang aku minta. Nggak peduli apa pun yang terjadi, kapan pun, dan di mana pun kamu berada," ucap Rayza pelan tapi jelas banget.
Nggak peduli apapun yang terjadi, kapan pun dan di mana pun... bukannya itu gila?
"Menurutku aturan yang keempat itu agak... keterlaluan?" ujarku, jujur.
"Aku nggak pernah nanya pendapatmu. Dan kamu baru aja melanggar aturan nomor tiga," kata Rayza datar.
Gawat. Seriusan dia? Segalak itu?
Kalau aku bales, apa aku ngelanggar aturan nomor tiga lagi? Jadi, harus diam?
"Aku nggak pernah minta kamu setuju sama peraturannya. Aku cuma kasih tahu. Oh... aku juga belum bilang soal hukumannya ya?" lanjut Rayza, dan aku bersumpah mata dia sempat berkilat aneh.
"Belum... belum," gumamku, balik menatap dia.
"Biasanya, di dunia bawah, orang dihukum dengan dipotong bagian tubuhnya atau diambil organnya. Kayak yang sering kamu lihat di film. Ya, nggak jauh beda lah..." ucap Rayza santai, seakan ngomongin hal biasa.
"Kamu becanda, kan…" gumamku kesal.
"Aku pengen becanda. Tapi aku ini laki-laki sejati, tahu? Dan aku nggak suka nyakitin perempuan, jadi hukumannya bakal aku sesuaikan… demi kebaikanmu juga. Dan kebaikanku," Rayza tersenyum dan itu senyum yang paling nggak enak yang pernah aku lihat.
Pertama kalinya aku lihat dia senyum… dan senyumnya serem.
"Maksud kamu apa?" tanyaku pelan. Aku sama sekali nggak bisa nebak isi kepalanya, tapi setidaknya dia nggak akan nyiksa fisikku… itu kabar baik?
"Setiap kali kamu langgar salah satu peraturan, aku bakal ambil sebagian dari tubuhmu… jadi milikku," ucap Rayza, menatapku tajam sambil menyipitkan matanya sedikit.
“…Aku nggak ngerti,” kataku bingung.
“Simpel aja. Setiap kali kamu ngelanggar salah satu aturan, aku bakal klaim sebagian dari tubvhmu jadi milikku,” kata Rayza sambil tersenyum santai tapi bikin merinding.
“Milikku? Maksud kamu gimana?” tanyaku masih bingung. Kalau semua bagian tubuhku masih nempel, gimana bisa dia klaim satu bagian sebagai miliknya?