NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 — Desa yang Tak Ada di Peta

Rendra berjalan menjauhi Dimas, tetapi bisikan laki-laki itu—*“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak”—*menggantung di gendang telinganya, menari bersama suara air yang menetes tanpa henti.

Ia menyusuri jalan utama yang dilapisi lumpur tebal, setiap langkah kakinya meninggalkan jejak isapan yang basah. Desa Waringin terasa seperti galeri foto yang suram. Semua rumah terlihat sama: kayu tua, basah, dan penuh dengan lumut hijau luminescent yang memantul redup di bawah langit yang redup. Tidak ada satu pun jendela yang terbuka, seolah udara luar adalah racun yang harus dihindari.

Rendra mengangkat kamera analognya, refleks seorang fotografer dokumenter. Ia mencoba membidik, tetapi suasana kelabu dan lembab membuat lensanya berembun dengan cepat. Ia mengusapnya dengan lengan jaketnya, mencium kembali aroma besi yang menempel di udara. Aroma yang kini ia yakini bukan lagi sekadar tanah liat, tetapi residu logam dari darah yang telah lama larut dalam air hujan.

Ia menemukan rumah kepala desa tepat di seberang lapangan kecil yang ditutupi genangan air. Rumah itu sedikit lebih besar dari yang lain, dibangun dari kayu yang lebih kokoh, tetapi aura ketakutan yang sama tetap menempel di dindingnya. Di teras depan, tergantung lampion kertas yang sudah basah dan koyak.

Rendra ragu-ragu sejenak di depan pintu. Ia merasa seperti seorang detektif yang hendak mengetuk pintu sarang laba-laba. Ia mengangkat tangan, mengepalkan buku jarinya, dan mengetuk dua kali. Ketukannya terdengar teredam, seperti memukul kasur basah.

Keheningan yang mengikuti terasa sangat berat, seolah waktu berhenti sejenak. Rendra hendak mengetuk lagi, ketika pintu itu terbuka perlahan, tanpa suara, hanya bunyi gesekan kayu tua yang engselnya sudah haus.

Di balik pintu berdiri Pak Darmo, Kepala Desa Waringin.

Ia adalah pria paruh baya yang tampak lebih tua dari usianya yang 58 tahun, dengan rambut yang sebagian besar telah memutih. Wajahnya adalah cetakan kekakuan; garis-garis kerutan dalam, mata yang memandang tanpa ekspresi, dan bibir yang terkatup rapat. Ia mengenakan baju batik yang rapi tetapi basah dan lembab, dan di tangan kanannya, ia menggenggam erat-erat tasbih kayu—bukan tasbih biasa, tetapi tasbih yang manik-maniknya terlihat seperti akar pohon yang dipoles, warnanya cokelat gelap, hampir hitam.

Pak Darmo tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menunggu, berdiri tegak di ambang pintu, menghalangi pandangan Rendra ke dalam rumah yang juga tampak gelap.

“Selamat sore, Pak Darmo,” Rendra menyapa, berusaha menjaga intonasinya senetral mungkin. “Nama saya Rendra Adyatma. Saya sudah menghubungi Pak RT perihal kedatangan saya. Saya datang dari Jakarta.”

Kepala desa itu hanya mengangguk pelan, gerakannya kaku seperti boneka kayu yang digerakkan oleh tali yang basah.

“Saya tahu, Nak Rendra,” suara Pak Darmo terdengar rendah, serak, seperti suara air yang mengalir di batu-batu. “Kami… jarang sekali kedatangan tamu. Terutama di musim hujan abadi ini.”

“Saya mencari adik saya, Rani Adyatma. Dia seorang mahasiswi antropologi. Dia datang ke sini sebulan yang lalu untuk meneliti budaya desa-desa terisolasi. Ini fotonya.”

Rendra mengeluarkan selembar foto Rani dari saku jaketnya. Rani tersenyum lebar di bawah sinar matahari yang cerah—sebuah kontras yang menyakitkan dengan suasana kelam di desa itu. Rambutnya terurai, matanya bersinar penuh idealisme.

Pak Darmo mengambil foto itu dengan gerakan sangat hati-hati, seolah foto itu adalah abu yang rapuh. Ia menatap wajah Rani lama sekali. Rendra bisa melihat, meskipun mata kepala desa itu tanpa ekspresi, ada sesuatu yang berkedip di sana: sedikit penyesalan, atau mungkin... ketakutan.

“Rani Adyatma,” Pak Darmo mengulang namanya, membiarkannya larut dalam kelembaban udara. “Gadis yang bersemangat. Dia sering bertanya tentang sumur tua di tengah desa. Dan tentang… Yang Basah.”

Rendra merasakan perutnya mengencang. “Bapak mengenalnya?”

“Dia menginap di rumah Bu Lurah lama, di pinggir hutan sana. Dia bilang dia tertarik pada mitos desa kami, pada alasan mengapa Tuhan mengirimkan hujan yang tidak pernah berhenti.” Pak Darmo mengembalikan foto itu, tangannya tidak menyentuh tangan Rendra, seolah menghindari kontak fisik.

“Di sini, Nak,” lanjutnya, menatap lurus ke mata Rendra, “semua yang datang… jarang pulang.”

Kalimat itu. Kalimat yang sama persis dengan yang diucapkan Pak Jaya, sopir bus tua itu. Rendra merasakan bulu kuduknya berdiri. Itu bukan sekadar peringatan. Itu adalah sebuah mantra, sebuah pernyataan fakta yang dingin.

“Tapi mengapa?” Rendra menuntut. “Kenapa Bapak tidak mencari dia? Dia mengirimkan pesan terakhir yang ambigu. Dia bilang dia menemukan sesuatu yang besar tentang sejarah desa ini, sesuatu yang berhubungan dengan darah.”

Pak Darmo menghela napas, suaranya mengandung suara air. Ia melihat ke atas, ke langit kelabu yang terus menyaring hujan.

“Kami tidak mencari, Nak Rendra. Kami hanya… menerima. Sudah tiga puluh tahun, kami belajar untuk tunduk pada hujan. Kami percaya, hujan ini bukan bencana. Itu adalah pembersihan. Air yang turun dari langit mencuci dosa-dosa masa lalu.”

“Dosa apa?”

“Dosa yang menuntut darah.”

Pak Darmo membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Rendra untuk masuk. Rendra melangkah melewati ambang pintu. Bau di dalam rumah jauh lebih kuat dari luar—campuran bau jamur, kayu lapuk, dan bau besi yang sangat pekat. Jendela-jendela ditutup rapat. Lampu minyak kecil berkedip di atas meja, memberikan cahaya yang sangat redup, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak dan menipu.

Mereka duduk di kursi kayu yang keras, suasananya terasa sesak. Pak Darmo mulai memilin-milin tasbih kayu di tangannya, gerakan itu cepat dan gugup, kontras dengan wajahnya yang tenang.

“Kami punya legenda,” Pak Darmo memulai, bicaranya perlahan, seolah setiap kata harus dipertimbangkan. “Tentang kekeringan parah tiga puluh tahun lalu. Desa kami sekarat. Para tetua desa saat itu, mereka memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk memohon air adalah dengan pengorbanan.”

Jeda yang diikuti oleh Pak Darmo terasa seperti pukulan. Rendra tidak berani bernapas.

“Mereka mengorbankan seorang gadis. Usianya 16 tahun, namanya Laras. Mereka menguburkannya hidup-hidup di dasar sumur tua—sumur yang kau lihat di tengah lapangan.”

Rendra teringat bayangan tangan yang ia lihat di hasil foto sumur tua itu. Ia meremas kamera di tangannya. “Lalu, apa yang terjadi?”

“Hujan turun. Deras, tak terhentikan. Tapi air itu tidak hanya memberi kehidupan. Ia membawa kemarahan. Arwah gadis itu bangkit. Ia menjadi… Yang Basah.”

Pak Darmo menatap Rendra dengan mata yang tampak basah, bukan dari air mata, tetapi dari kelembaban yang meresap.

“Setiap petir menyambar, satu penduduk harus hilang. Itu adalah perjanjiannya. Darah sebagai ganti air. Jiwa sebagai ganti kehidupan.”

Rendra mencoba memproses informasi itu, memilah mana yang mitos dan mana yang kenyataan. “Apakah Bapak percaya adik saya adalah salah satu korbannya? Atau dia sengaja diculik untuk perjanjian itu?”

Pak Darmo tidak menjawab langsung. Ia malah mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menjadi bisikan yang conspiratorial, seolah takut didengar oleh hujan di luar.

“Kau bertanya tentang dosa masa lalu? Ada sesuatu yang Rani temukan. Sesuatu yang kami sembunyikan dari Yang Basah, dan dari dunia luar.”

Ia berhenti, membiarkan ketegangan itu membengkak.

“Tiga puluh tahun lalu, Nak Rendra. Di malam pengorbanan Laras. Bukan hanya para tetua desa yang ada di sana.” Pak Darmo memperlambat gerakan memilin tasbihnya.

“Ayahmu,” bisiknya, matanya tidak berkedip, “ayahmu adalah salah satu dari orang kota yang datang ke desa saat itu. Dia ikut dalam ritual itu.”

Seluruh dunia Rendra, yang selama ini dibangun di atas pondasi skeptisisme dan logika, terasa runtuh. Ayahnya. Fotografer dokumenter yang selalu memberinya nasihat untuk mencari kebenaran, yang selalu membawa kamera ini.

“Tidak mungkin,” Rendra berbisik, tetapi suaranya pecah, penuh keraguan yang menyakitkan.

“Dia tidak membunuh, tapi dia menyaksikan, dan dia menyimpan rahasia itu bersamanya. Dia tahu tentang pembantaian lain yang terjadi setelah pengorbanan Laras. Pembantaian yang membuat darah kami tidak pernah kering.”

“Pembantaian?”

“Ya. Orang-orang yang menentang ritual itu… disingkirkan. Mereka adalah korban yang tidak dicatat, Nak Rendra. Darah mereka yang meresap ke dalam tanah kami. Darah merekalah yang membuat hujan menjadi merah.”

Pak Darmo mengakhiri penjelasannya dengan tarikan napas yang panjang dan gemetar. Ia menunjuk ke tasbihnya, yang kini tampak seperti rantai gelap di tangannya.

“Saya adalah Kepala Desa yang memimpin upacara ‘pengorbanan terakhir’ sebulan lalu. Bukan Rani. Tapi… gadis lain. Rani tahu terlalu banyak, Nak. Dia mendekati Yang Basah, mencoba memberitahunya tentang kebohongan di balik pengorbanan Laras. Dan sekarang…”

Pak Darmo menggelengkan kepalanya pelan, matanya kembali kosong.

“Dia adalah perantara. Dia ada di antara kita, tapi dia bukan lagi adikmu yang kau kenal.”

Suara lonceng tiba-tiba terdengar, pelan, sayup, namun menusuk di tengah deru hujan. Satu kali dentang.

Jam 23.17.

Rendra dan Pak Darmo langsung terdiam, seolah waktu benar-benar membeku. Ketegangan di ruangan itu berubah menjadi horor yang mematikan. Pak Darmo menutup matanya erat-erat, memilin tasbihnya dengan panik.

“Jangan bergerak, Nak Rendra,” bisiknya. “Lonceng itu berbunyi… pertanda Yang Basah sedang memilih tubuh. Malam ini, ada jiwa yang akan ‘dipanggil.’”

Di luar, suara hujan tiba-tiba terasa seperti langkah kaki yang basah, mendekat, mendekat ke rumah kepala desa itu. Rendra mencengkeram kamera ayahnya, merasa bahwa alat yang seharusnya menangkap kebenaran itu kini hanyalah benda dingin yang konyol.

Ia melihat ke luar jendela yang buram. Meskipun langit gelap, ia bersumpah ia melihat rona yang lebih pekat di balik tirai hujan.

Merah muda pucat yang kini terasa lebih tebal, lebih berani.

Air yang turun dari langit… malam ini, baunya seperti darah segar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!