📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
fokus pada Elesa.
Malam menyelimuti Militaryum Jakarta, dingin tapi tenang. Rembulan menggantung penuh di langit, cahayanya menembus celah gedung-gedung tinggi, memantul di atap logam dan aspal yang basah sedikit dari hujan sore tadi.
Langit biru gelap tampak bersih, tanpa awan, seperti kanvas raksasa yang menampung cahaya perak rembulan. Bayangan pohon dan menara lampu menjorok panjang ke halaman, menambah misteri dan ketenangan sekaligus.
Udara malam membawa aroma logam, oli, dan sedikit debu—sisa dari latihan siang yang panjang. Angin bergerak pelan, membuat bendera kecil di tiang depan markas bergoyang, menghasilkan suara lembut yang berpadu dengan dengung mesin cadangan yang standby.
Di sudut halaman, beberapa tentara terlihat mengawasi peralatan, gerakan mereka tenang tapi waspada. Suasana seperti jeda sebelum badai berikutnya—tenang, tapi penuh energi tersembunyi, menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama.
Rom berdiri di tepi lapangan latihan, menatap rembulan. Cahaya perak menyorot wajahnya, menebalkan bayangan matanya. Di dadanya, campuran lega, kewaspadaan, dan perhitungan membaur—malam ini bukan hanya tentang ketenangan, tapi tentang strategi, rahasia, dan tantangan yang akan muncul besok.
Bayangan tentara lain, gedung-gedung, dan rembulan bersatu, menciptakan atmosfer yang sunyi tapi hidup—sebuah malam Jakarta yang penuh rahasia, dan penuh janji yang belum terucap.
Malam di Militaryum Jakarta terasa tebal, seperti tirai gelap yang menekan dari segala sisi. Purnama menggantung di langit, cahayanya menusuk jendela, menari di lantai beton dan peralatan militer yang berbaris rapi, memantulkan bayangan panjang yang bergerak seiring napas malam. Udara dingin masuk melalui celah jendela, menampar kulit Rom, membuat bulu kuduknya berdiri samar—rasa waspada bercampur antisipasi, membuat setiap langkahnya terasa berat tapi penuh energi tersembunyi.
Shadaq muncul dari lorong, langkahnya mantap tapi tenang, bayangan tubuhnya menempel di dinding seperti siluet penjaga malam. Ia menepuk bahu Rom, suaranya bergema pendek tapi tegas.
“Rom, kau hebat juga, berani memaki Elesa dan Marcno saat rapat tadi siang,” nada bercampur ejekan dan kagum.
Rom menatapnya, rahang tegang, mata berkilat. “Aku tidak memaki… cuma aku males c_k! Masak iya kita pakai mobil, musuh pakai helikopter, kita disuruh nangkep?” Suaranya keras, penuh emosi yang dikompres, tangan terkepal di samping tubuh, gerakan sedikit menunduk tapi siap meledak kapan saja.
Shadaq menggeleng, bibirnya tipis menahan senyum tipis, mata menatap serius. “Gak gitu konsepnya. Kau bisa kena masalah kalau ngomong kayak tadi. Tau sendiri kan Marcno dan Elesa gak suka diatur.”
Rom mendesah, bahu menekuk, memutar kepala sedikit. “Diam lahh… udah terlanjur.”
Shadaq menatap lama, hampir menantang, nada rendah tapi tak bisa diabaikan. “Gak bisaa.”
Rom mendekat, setengah mencondongkan tubuh, alis mengerut, senyum sinis menghiasi wajahnya. “Kalau begitu, aku yang akan buat kau diam.”
Shadaq terkekeh pendek, santai tapi menegaskan, menunjuk ke arah lain. “Aku disuruh Juliar manggil kamu.”
Rom terkejut, pandangan menyipit. “Juliar?? Kenapa???”
Shadaq mengangkat bahu, langkahnya tetap ringan tapi penuh tujuan. “Aku gak tau. Kau disuruh ke ruang Marcno dan Elesa.”
Hati Rom berdetak cepat. Kesempatan ini bukan hanya tugas—tapi kesempatan untuk berbicara dan dekat pada elesa. Napasnya sedikit tersengal, dada terasa menekan. “Sungguh??” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
“Yak, kau disuruh ke sana secepatnya,” jawab Shadaq, menatap Rom dengan serius tapi penuh arti.
Rom menahan senyum, pura-pura jual mahal. Matanya menatap ke lantai beton, bibir menipis, bahu sedikit menekuk seakan beban dunia menumpuk. “Yang bener aja, c_k… ini sudah hampir waktu pulang.”
Shadaq terkekeh, tepuk bahu Rom lagi, nada menggoda tapi penuh pesan tersembunyi. “Mungkin kau bakal dapat uang bonus. Ini karena kau ngomong di rapat tadi siang.”
Rom menarik napas panjang, ekspresi berubah dari pura-pura malas menjadi setengah antusias, setengah tegang. “Yaudah deh… aku ke sana.”
Langkah Rom di lorong terasa berat tapi intens, setiap hentakan kaki menempel di lantai beton dengan gema yang menambah ketegangan. Tangannya sesekali menyentuh dinding, gestur kecil tapi menegaskan kewaspadaan. Napasnya tertahan sesekali saat lampu bergoyang di langit-langit, bayangan panjangnya menempel di lantai, seakan menari dengan ketegangan yang melingkupi setiap inci lorong.
Batin Rom bergejolak: campuran penasaran, rasa ingin tahu, dan sedikit antisipasi yang membakar. Matanya menatap ke arah pintu ruang Marcno dan Elesa, perlahan menelan napas. “Malam ini… apa yang akan terjadi?” gumamnya dalam hati, suara batin yang nyaris terdengar dalam diam malam Militaryum Jakarta.
Suasana intens, sepi, tapi penuh energi tersembunyi—malam yang memaksa Rom tetap waspada, menunggu pertemuan yang tak bisa ia prediksi, tapi sudah terasa penting hingga setiap detik terasa memanjang.
Hati Rom berbunga-bunga, detaknya berpacu. Lina tak ada di sisinya malam ini, tapi Elesa ada di hadapannya—pikiran Rom langsung liar. “Aww… gimana kalau dia [n__nt_d] dengan ku…” gumam batinnya, napasnya sedikit tercekat oleh antisipasi dan rasa penasaran yang membara.
Langkahnya makin cepat, sepatu menyentuh lantai beton dengan ritme yang hampir tergesa. Tubuhnya condong ke depan, tangan sesekali menepuk dinding lorong, mata menatap tajam ke arah pintu ruang Marcno dan Elesa.
Rom melangkah masuk ke ruang Marcno dan Elesa, pintu menutup pelan di belakangnya, menyisakan gema langkahnya yang singkat tapi berat. Cahaya lampu putih menyorot permukaan meja, memantul di layar komputer yang menampilkan peta misi dan data terbaru.
Marcno duduk tegap di kursi, tangan kanan menatap papan keyboard, jari-jari sesekali menekan tombol dengan ritme mantap. Di sebelahnya, Elesa duduk sedikit membungkuk, jilbabnya rapi masuk ke kerah kemeja, mata fokus ke layar. Kedua mereka terlihat seimbang dan harmonis, meskipun kursi berbeda—jarak fisik itu seolah tak mengurangi kedekatan yang terpancar dari postur dan gerak mereka.
Rom berdiri di belakang, napasnya sedikit tertahan. Ada rasa cemburu samar yang merayap di dadanya—bukan karena Marcno atau Elesa bersikap mesra, tapi karena mereka tampak begitu sinkron, fokus bersama, seakan dunia mereka hanya milik mereka berdua. Mata Rom menatap gerak tangan Elesa, bagaimana ia menekan tombol, menggerakkan mouse, ekspresi wajahnya serius tapi tenang.
Tubuh Rom menegang sedikit, kedua tangannya terkepal di samping, sesekali ia mencondongkan kepala, mencoba menahan rasa iri yang muncul. Batin Rom berkecamuk: “Hah… kenapa aku terasa cemburu? Ini gila… Lina gak ada, tapi kok aku merasa…?”
Rom menarik kursi di sudut meja, langkahnya tenang tapi mata terus menatap Elesa. Dengan gesit, ia meletakkan kursi tepat di sebelahnya, seakan ingin menempel tanpa terlalu mencolok. Bibirnya tersenyum tipis, nada bercanda terdengar ringan.
“Ada apa, Pak Marc? Ini waktunya untuk ku memakai selimut di kasur busaku,” ucap Rom, nada santai tapi penuh isyarat main-main, tangannya bersandar di tepi meja.
Elesa menoleh sebentar, alisnya terangkat, bibirnya mengerucut tipis tapi mata tetap fokus pada layar komputer. “Oh ya… kau lihat? Berkat ide cemerlangmu, aku juga tidak bisa pulang cepat malam ini,” katanya, nada campur kesal dan bercanda, suara lembut tapi tegas.
Rom mengangkat bahu, tersenyum setengah nakal. “Sabar dongg… jangan marah-marah.”
Elesa menepuk meja ringan, menegaskan ketegasan sekaligus menyembunyikan senyum samar. “Terserah kau saja… perhatikan komputer.”
Rom mencondongkan tubuh, menatap layar sebentar tapi pandangannya sering melirik Elesa. Napasnya pelan, dada terasa hangat, dan setiap gerak Elesa di depan komputer seakan membuat ruang di sekitarnya lebih hidup. Tangannya sesekali bergerak menyentuh mouse atau keyboard, tapi matanya tetap tak lepas dari gerak halus Elesa—bahu yang menekuk sedikit, jilbab yang masuk ke kerah kemeja, jari yang menekan tombol dengan ritme mantap.
Malam di ruang Marcno dan Elesa terasa tegang, cahaya lampu putih menyorot layar komputer, memantulkan bayangan tajam di wajah masing-masing. Rom duduk di kursi dekat Elesa, bahu sedikit condong ke depan, matanya tak lepas dari layar namun sesekali menyipit saat Marcno bicara. Udara malam terasa hangat di dalam ruangan, tapi ketegangan seperti mengisi setiap celah.
Marcno menatap layar sebentar, lalu memalingkan wajah ke Rom. “Kamu bilang roket tangan tak cukup. Kami telah berusaha mengajukan permohonan kepada angkatan udara, tapi mereka susah diajak kompromi,” nada suaranya berat, menekankan fakta dengan tegas. Jari-jari Marcno mengetuk meja pelan, ritme menegaskan frustrasinya.
Elesa mencondongkan tubuh, bibirnya tipis, nada suaranya rendah tapi tajam. “Mereka butuh musuh yang lebih besar untuk meluncurkan armada udara,” matanya menatap Rom sebentar, seolah mengukur reaksinya, lalu kembali ke layar.
Rom menegakkan punggung, kedua tangan terangkat sebentar, lalu menepuk meja ringan. “Kita gak diizinkan memiliki helikopter??” Suaranya terdengar setengah terkejut, setengah menantang, mata menatap lurus ke Marcno, alisnya terangkat.
Elesa mengangguk, wajah tetap serius tapi nada lembut. “Benar. Mereka sendiri yang akan menugaskan pilot untuk menangkap musuh. Itu berarti kita tetap terbatas.”
Rom menghela napas panjang, menggeser kursi sedikit mendekat ke Elesa, matanya menatap layar komputer tapi pikirannya jelas melayang. “Itu sudah bagus, setidaknya kita punya bantuan udara. Sayangnya, kita terhambat waktu. Jika mereka datang lagi dengan helikopter seperti kemarin, kita pasti meloloskan mereka lagi. Menunggu helikopter bantuan hanya memberi mereka waktu kabur.” Suaranya tenang tapi berlapis tekanan, gestur tangannya sesekali menunjuk layar, menekankan logika argumennya.
Marcno menatap Rom, rahang menegang, tangannya menangkup di dada. “Berkat ocehanmu di rapat, semua kapten regu mengajukan hal persis seperti omonganmu,” katanya, nada suara sedikit mengintimidasi, seakan ingin menegaskan dominasi.
Elesa mencondongkan tubuh lebih dekat ke layar, menatap Rom sekilas. “Kita tak bisa langsung mengabarkan pada para prajurit, bahwa kita tidak diizinkan pakai helikopter. Mereka bisa salah paham atau panik.” Suaranya menenangkan, namun tetap tegas, gestur tangannya sesekali menekan mouse dengan ritme mantap.
Marcno menekuk bahu, menatap Rom tajam. “Bagaimana kamu bisa membantu untuk ini? Kamu yang memprovokasi semua tentara untuk ide ini. Kamu harus bertanggung jawab.” Nada suaranya mengandung tekanan, menantang, tangan Marcno terkepal di atas meja.
Rom menatap Marcno, napasnya tenang tapi dada bergerak cepat, mata menyalak. Ia menggerakkan tangan sebentar, menunjuk layar komputer, lalu kembali menatap Marcno. “Pak, tanggung jawab bukan berarti kita diam ketika ada kelemahan misi. Kalau saya diam, kita bakal mengulang kesalahan kemarin. Mengabaikan fakta bahwa musuh bisa kabur hanya karena kita menunggu helikopter adalah kelemahan nyata.”
Marcno menunduk sebentar, bibirnya menipis, tapi mencoba tetap menahan nada bicara. “Itu… tidak sesederhana itu, Rom. Peraturan udara, pilot, koordinasi—”
Rom mengangkat tangan, menahan sebagian, lalu melanjutkan dengan nada tajam tapi mantap. “Pak, peraturan itu dibuat untuk kondisi ideal. Nyatanya kemarin kondisi tidak ideal. Kita tidak punya helikopter, kita tidak punya waktu. Logika sederhana: jika kita menunggu bantuan udara, musuh kabur lagi. Apakah kita mau terus gagal karena menunggu izin?”
Elesa menatap Marcno sekilas, anggukan tipis di wajahnya menunjukkan persetujuan tersembunyi. “Rom benar. Kita harus realistis, dan segera bertindak. Jika tidak, misi selanjutnya juga akan terhambat.”
Marcno menarik napas panjang, menatap layar komputer, tangan menepuk meja pelan. Matanya berkeliling, menimbang argumen Rom yang semakin mantap, nada suaranya mulai kehilangan tekanan awal. “Hmph… mungkin kau benar… tindakan cepat memang dibutuhkan.”
Rom mengangguk tipis, mata tetap tajam tapi gestur santai. “Tepat, pak. Kita harus realistis, bukan menunggu kemungkinan yang terlalu ideal. Jika semua regu mengikuti prosedur biasa, kita akan kehilangan kesempatan lagi.”
Marcno menunduk lagi, akhirnya menghela napas, melemaskan bahu, nada suaranya melemah. “Baiklah… Rom, kau menang kali ini. Persiapkan regu sesuai saranmu.”
Elesa menatap Rom sebentar, senyum samar di bibirnya, mata yang sebelumnya fokus pada layar kini mengirim sinyal kecil: Rom berhasil menundukkan argumen Marcno. Suasana malam di ruang itu terasa sedikit lebih ringan, tapi tetap tegang—sebuah kemenangan argumen yang intens, membakar energi semua yang hadir.
Rom menegakkan punggungnya, matanya tetap tajam, tapi dalam hati ia menahan senyum licik. “Kalau helikopter gak boleh… gimana? Kalau…,” pikirnya sambil menatap Marcno sekilas, menilai reaksi mereka. Nada bicaranya tetap serius, tapi ada celah main-main yang samar:
“Kita minta… jet tempur… dan siluman,” ucap Rom, suara mantap tapi setengah bergurau, gestur tangannya seolah menunjukkan skala besar dari ide gila itu.
Marcno menoleh, alisnya naik, bibir menipis. Elesa yang duduk di samping langsung menatap tajam, mata melotot, wajah merah sedikit menahan kesal. Tanpa aba-aba, tangan Elesa menghantam bahu Rom—Plak! suara tepukan keras terdengar, Rom sedikit menunduk dari kejutan.
“Ahhh… emmm, sakit, Ell!” Rom mengeluh, nada bercampur antara terkejut dan sengaja menahan tawa, matanya menatap Elesa dengan ekspresi nakal tapi polos.
Elesa tidak berhenti. Tepukan kedua dan ketiga mendarat, satu per satu mengenai bahu Rom, ritme cepat tapi masih terasa main-main. Wajah Elesa menegang, bibir menipis, matanya menyorot tajam, tapi ada sinar geli yang samar di sudut matanya.
Rom menunduk sedikit, menahan sakit tapi napasnya terengah ringan, bahunya menegang mengikuti pukulan. Matanya menatap Elesa, alis sedikit terangkat, senyum tipis muncul di bibirnya—“Gila juga nih, tapi asik…” pikirnya.
Elesa menatap Rom, bibir bergetar menahan amarah sekaligus geli, tangan terangkat seolah siap menepuk lagi tapi juga menahan diri. Suasana ruangan menjadi paralel: ketegangan bercampur candaan, rasa kesal bercampur rasa nyaman.
Nada bicara Elesa kini lembut tapi tetap tegas, sedikit gemetar: “Rom… kau benar-benar tidak tahu batas, ya…!”