Demi biaya operasi ibunya,kiran menjual sel telurnya.Matthew salah paham dan menidurinya,padahal ia yakin mandul hendak mengalihkan hartanya pada yoris ponakan nya tapi tak di sangka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10:Sentuhan canggung
Kembali ke tempat Kiran berada, seorang wanita berblazer menghampiri Matthew. "Pak Matthew, saya Bianca, direktur Baby. Saya minta maaf sebesar-besarnya atas kelakuan Gail, resepsionis kami, kepada Anda dan istri Anda," ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.
Namun, Kiran dengan cepat menyela, "Bukan, saya bukan..."
Matthew segera memotong ucapannya. "Mulai sekarang, saya ingin Anda memastikan pusat ini berjalan lancar," katanya, lalu mengecup punggung tangan Kiran. Ia melanjutkan, "Tapi istri saya sedang hamil, jadi saya tidak ingin dia terlalu banyak bekerja," ucap Matthew lagi sambil mengusap kepala Kiran.
Kiran, yang diperlakukan demikian, berkata dalam hatinya, Dia baru saja memanggilku istrinya. Kenapa? Apa mungkin... Apa dia benar-benar suka padaku? Gumamnya.
Tak lama kemudian, mereka masuk ke ruang kelas. Matthew duduk menemani Kiran. Di depan, seorang wanita instruktur menjelaskan, "Selama hamil, payudara terasa sakit adalah hal yang sangat umum. Jadi, para pasangan harus membantu memijat lembut area ini." Ia memperagakan gerakan yang dimaksud.
Kiran yang mendengar itu langsung tegang. Ia menoleh ke arah Matthew yang juga sedang menatapnya. "Pijat apa tadi?" tanya Kiran.
Wanita instruktur itu tersenyum. "Bagaimana kalau pasangan manis ini? Kalian mau memberi contoh?" tanyanya.
Kiran tersentak. Sambil menunjuk dirinya, ia bertanya, "Saya?"
Instruktur itu menjawab, "Iyaaa," dengan senyum lebar.
Matthew menatap Kiran. Seketika Kiran menggeleng. "Tidak, tidak, tidak."
Namun, wanita instruktur itu bersemangat. "Semuanya, kita sambut, Kiran dan suaminya!" ucapnya sambil berdiri dan bertepuk tangan. Peserta kelas lainnya pun ikut bertepuk tangan. Matthew berdiri. Instruktur berjalan ke arah Kiran, membantunya berdiri.
Ia lalu menjelaskan kepada Matthew, "Jadi, ayah, Anda cukup pijat dada ibu, dengan gerakan melingkar kecil ke arah tengah." Ia memperagakan gerakan itu, membuat Kiran dan Matthew serentak berkata, "PIJAT DADA?"
Instruktur itu mengangguk. "Benar. Kalau tidak, bayi Anda mungkin tidak bisa menyusu dengan benar. Kita tidak mau itu terjadi."
Matthew berdehem, "Hmmm," dan mulai mengangkat tangannya.
Kiran menarik napas. Tangan Matthew masih menggantung di udara. Instruktur itu langsung meraih tangan Matthew. "Biar saya bantu," ucapnya, lalu menempelkan tangan Matthew langsung ke dada Kiran. Kiran tersentak karena gerakan yang begitu cepat. Keduanya langsung tegang seketika.
Kiran membeku, napasnya tercekat. Sentuhan tiba-tiba itu membuatnya terkejut bukan main. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia merasakan pipinya memanas, dan pandangannya terpaku pada tangan Matthew yang kini berada di dadanya.
Matthew pun sama terkejutnya. Matanya membulat, dan ia menatap Kiran dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia bisa merasakan tubuh Kiran menegang di bawah sentuhannya, dan ia tahu bahwa ini adalah situasi yang sangat canggung.
Wanita instruktur itu, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan yang ada, tersenyum lebar. "Nah, begitu! Sekarang, coba lakukan perlahan dan lembut. Rasakan bagaimana tubuh istri Anda merespons sentuhan Anda," ucapnya dengan nada riang.
Matthew mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menggerakkan tangannya dengan perlahan, mengikuti instruksi yang diberikan. Sentuhan tangannya di kulit Kiran terasa begitu asing dan intim, membuatnya semakin gugup.
Kiran berusaha untuk tidak bereaksi. Ia memejamkan matanya, mencoba mengendalikan perasaannya. Ia tahu bahwa ini hanya bagian dari kelas, dan ia tidak seharusnya merasa seperti ini. Tapi, sentuhan Matthew membuatnya merasa aneh dan tidak nyaman.
Suasana di ruangan itu terasa semakin panas dan pengap. Beberapa pasangan lain mulai mengikuti instruksi, dan suara-suara kecil mulai terdengar di sekitar mereka. Namun, bagi Kiran dan Matthew, seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu.hingga kelas akhir selesai.
Setelah kelas selesai, mereka berdua akhirnya keluar dari ruangan. Kiran langsung duduk di kursi depan, memegang dadanya. Ya Tuhan, apa yang baru saja terjadi? Pijat dada? Di depan semua orang? Ia tidak tahu harus berkata apa.
Tak lama, Matthew datang dan duduk di sampingnya. "Ini..." ucapnya sambil menyodorkan sebotol air.
Kiran pun mengambilnya. Mereka saling diam sejenak. Haruskah aku berterima kasih? Atau marah? Tapi dia kan cuma berusaha... Tak lama, Matthew membuka suara, "Aku minta maaf. Aku nggak tahu kalau..."
Belum selesai ia bicara, Kiran berkata, "Nggak apa-apa. Aku tahu kau cuma coba jadi ayah yang baik," ucapnya, membuat Matthew bernapas lega. Dia pasti merasa bersalah. Aku nggak mau menambah bebannya.
Tak lama, Kiran melanjutkan, "Dan aku tahu kau nggak akan pernah suka sama orang biasa sepertiku," ucapnya sambil menunduk. Aku ini cuma orang biasa. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik. Aku nggak boleh berharap lebih.
Mendengar itu, Matthew mengerutkan alisnya. "Kiran, kau nggak biasa. Kebaikanmu, kekuatanmu..." Lalu ia memegang pipi Kiran dengan lembut dan berkata lagi, "Kau itu unik. Percaya pada dirimu. Kalau bukan untuk dirimu, demi anak kita," kata Matthew.
Kiran berkata, "Terima kasih, Matthew," ucapnya. Kata-katanya... kenapa begitu menyentuh? Apa aku mulai menyukainya?
Matthew terdiam sejenak, lalu berkata lagi, "Kelasnya sudah selesai, tapi kita masih punya beberapa jam sebelum pulang. Jadi, gimana kalau kencan?" kata Matthew, membuat Kiran menoleh.
"Kencan?" tanya Kiran memastikan. Kencan? Apa ini nyata? Apa dia benar-benar mengajakku kencan?
Matthew tersenyum. "Kau masih belum ketemu ide untuk desain gaun pernikahanmu, kan? Kenapa nggak coba beberapa gaun sendiri? Tentu saja buat inspirasi," katanya, lalu berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Kiran.