Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32: Pagi di asrama dan perjalanan kampus
Suara alarm ponsel berbunyi pelan di kamar asrama. Clara langsung bangun, rambutnya berantakan, tapi semangatnya seperti biasa tetap penuh energi. Stefany masih setengah sadar, menarik selimut ke atas kepala.
“Stef, bangun. Ini Jerman, bukan rumahmu di Indonesia yang bisa bangun siang seenaknya,” kata Clara sambil tertawa kecil, membuka tirai jendela lebar-lebar hingga cahaya matahari pagi masuk menerangi kamar.
Stefany mengerang pelan. “Clara… lima menit lagi, ya.”
“Tidak ada lima menit di bawah aturan Profesor Müller,” balas Clara, mengambil handuk. “Kalau kau terlambat, siap-siap saja didiamkan satu semester penuh.”
Stefany akhirnya duduk di tepi ranjang, mengucek matanya. “Baiklah… baiklah. Aku bangun.”
Setelah mandi dan bersiap, Stefany merapikan buku-buku catatan ke dalam tas. Clara sudah siap lebih dulu, duduk di meja kecil sambil menyuap roti tawar.
“Stef, nanti setelah kuliah kita ke perpustakaan, kan?” tanya Clara sambil meminum susu kotak.
“Ya,” jawab Stefany singkat.
Clara memandang Stefany sambil menggeleng. “Kau selalu hemat bicara, ya. Aku harus membawamu ke klub debat suatu hari nanti.”
Stefany tersenyum tipis. “Mungkin.”
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Clara langsung berdiri membukanya. Seperti biasa, Lukas berdiri di sana dengan jaket biru tebal, rambutnya rapi, dan wajah ramahnya yang selalu membawa suasana hangat.
“Guten Morgen, Clara. Guten Morgen, Stefany,” sapa Lukas, suaranya tenang tapi jelas.
“Pagi, Lukas!” Clara menyambut dengan semangat. “Kau selalu datang tepat waktu. Luar biasa.”
Lukas tersenyum. “Aku hanya tidak mau terlambat. Lagipula, perjalanan ke kampus cukup jauh.”
Stefany mengangguk singkat. “Pagi.”
Lukas melirik sekilas ke arahnya, memperhatikan ekspresi datar gadis itu. Dia selalu seperti ini, pikir Lukas. Tenang, sedikit dingin, tapi entah kenapa menarik perhatianku.
“Baiklah,” Lukas bersuara lagi, “kalau kalian sudah siap, kita berangkat sekarang. Tram berikutnya lewat dalam lima menit.”
Clara mengambil tasnya. “Ayo, Stef. Jangan sampai kita harus lari-lari.”
Di jalan menuju halte, Clara seperti biasa menjadi yang paling banyak bicara.
“Lukas, kau sudah membaca materi untuk kelas hari ini?” tanya Clara.
“Sudah. Profesor Müller akan membahas strategi bisnis global. Sepertinya ada studi kasus menarik tentang perusahaan teknologi,” jawab Lukas santai.
Clara mengangguk-angguk. “Bagus. Aku harap kita tidak dapat tugas dadakan. Minggu lalu sudah cukup melelahkan.”
Stefany hanya mendengarkan sambil berjalan di samping mereka. Sesekali pandangannya mengarah ke gedung-gedung tua di sepanjang jalan, mencoba mengenal setiap sudut kota baru ini.
Lukas menoleh kepadanya. “Stefany, kau bagaimana? Sudah terbiasa dengan cuaca di sini?”
Stefany mengangkat bahu. “Masih dingin. Tapi aku mulai terbiasa.”
Clara tertawa kecil. “Dia ini tahan banting, Lukas. Aku malah yang lebih sering menggigil.”
Lukas tersenyum. “Musim dingin di sini bisa lebih parah. Kau akan butuh mantel yang lebih tebal.”
Stefany hanya mengangguk lagi. “Mungkin aku akan membelinya minggu depan.”
Clara menyikutnya pelan. “Lihat, Lukas sudah seperti kakak sendiri. Selalu memberi saran praktis.”
Lukas tersenyum samar tapi tidak menjawab. Dalam hatinya, ada sesuatu pada Stefany yang membuatnya ingin menjaga gadis itu. Bukan karena ingin terlihat baik, tapi karena benar-benar peduli.
Saat mereka tiba di halte, tram sudah terlihat mendekat. Orang-orang berdiri menunggu dengan rapi, sebagian sibuk membaca koran atau melihat ponsel.
“Lihat itu,” Clara menunjuk ke arah seorang pemain biola jalanan yang berdiri di dekat halte, memainkan lagu klasik yang indah. “Selalu ada musik di setiap sudut kota ini. Aku suka sekali.”
Stefany menatap pemain biola itu sejenak. Musiknya entah kenapa mengingatkannya pada Stefanus. Hatinya terasa hangat sekaligus perih.
Lukas memperhatikan ekspresi Stefany yang tiba-tiba berubah, tapi ia tidak berkata apa-apa.
“Musiknya bagus sekali, ya,” ujar Clara lagi, mencoba memecah kesunyian.
“Ya,” jawab Stefany pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh riuhnya orang-orang di sekitar.
Tram akhirnya datang, dan mereka naik bersama. Clara dan Lukas duduk di bangku berseberangan, sementara Stefany duduk di dekat jendela, memandang keluar tanpa banyak bicara.
Tram berhenti di halte depan kampus. Mahasiswa-mahasiswa turun dengan langkah cepat, sebagian mengobrol dalam bahasa Jerman, sebagian lagi dalam bahasa Inggris. Gedung fakultas manajemen bisnis menjulang megah di depan mereka, dikelilingi taman kecil dengan bangku-bangku kayu.
Clara menarik napas panjang. “Ah, udara pagi di kampus selalu membuatku semangat. Ayo cepat, sebelum profesor datang.”
Stefany hanya mengikuti langkah mereka. Lukas berjalan di sisi kanan, membawa buku-buku tebal di tangannya. Sesekali ia melirik Stefany yang masih terlihat tenang, bahkan sedikit dingin. Tapi di balik ketenangan itu, Lukas merasa ada sesuatu yang disembunyikan gadis ini.
Mereka masuk ke ruang kuliah. Ruangan itu luas, dengan kursi bertingkat seperti teater. Di depan, papan tulis digital sudah menyala, menampilkan judul perkuliahan hari ini:
Global Business Strategy: Opportunities & Challenges
Profesor Müller, pria paruh baya dengan kacamata tebal, sudah berdiri di depan kelas. Begitu semua mahasiswa duduk, ia memulai kuliah dengan suara tegas.
“Selamat pagi semuanya. Hari ini kita akan membahas bagaimana perusahaan multinasional menavigasi tantangan di pasar global. Saya harap kalian sudah membaca studi kasus yang saya berikan minggu lalu.”
Clara berbisik ke Stefany. “Kau sudah baca, kan?”
Stefany mengangguk singkat. “Ya, semalam.”
“Bagus,” sahut Clara sambil tersenyum lega.
Kuliah berlangsung serius, tapi sesekali profesor mengajukan pertanyaan. Ketika giliran Clara menjawab, ia melakukannya dengan penuh semangat, seperti biasa.
“Menurut saya,” ujar Clara, “tantangan terbesar adalah memahami regulasi tiap negara. Jika perusahaan tidak menyesuaikan diri, mereka bisa gagal total.”
Profesor mengangguk puas. “Jawaban yang bagus, Clara.”
Stefany menjawab beberapa pertanyaan juga, suaranya tenang tapi jelas. Lukas memperhatikan cara bicara Stefany yang sederhana tapi tepat sasaran. Ada kecerdasan yang tidak dibuat-buat dari gadis itu, dan entah kenapa hal itu semakin membuat Lukas ingin mengenalnya lebih jauh.
Setelah dua jam kuliah, mereka bertiga menuju kantin kampus. Tempat itu dipenuhi mahasiswa dari berbagai negara, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.
Clara membawa nampan berisi sandwich dan jus jeruk. “Aku lapar sekali,” katanya sambil duduk di meja dekat jendela.
Stefany mengambil salad dan teh hangat. Lukas memilih kopi hitam dan roti isi daging.
“Jadi,” Clara memulai percakapan sambil mengunyah, “bagaimana menurut kalian kuliah tadi?”
“Menarik,” jawab Lukas singkat.
Stefany mengangguk. “Profesor Müller selalu memberi contoh nyata. Itu membantu.”
Clara tersenyum lebar. “Lihat? Kita bertiga bisa jadi tim hebat kalau ada proyek kelompok nanti.”
Lukas tersenyum samar. “Sepertinya begitu.”
Clara lalu memandang Lukas dengan tatapan menyelidik. “Kau ini selalu tenang, Lukas. Tidak pernah terlihat gugup atau marah. Apa kau memang seperti ini sejak lahir?”
Lukas tertawa kecil. “Mungkin. Ayahku selalu bilang, kalau kau panik, masalah tidak akan selesai. Jadi lebih baik tetap tenang.”
Stefany mendengar itu sambil menatap Lukas sejenak. Ia jarang melihat orang yang bisa setenang ini dalam segala situasi.
Clara mencondongkan tubuhnya. “Ayahmu orang seperti apa?”
“Seorang pengusaha,” jawab Lukas singkat. “Dia mengelola beberapa perusahaan di berbagai negara.”
“Wah, pantas saja,” sahut Clara. “Kau pasti terbiasa dengan hal-hal serius sejak kecil.”
Lukas hanya tersenyum lagi. Tapi dalam hatinya, ia sebenarnya ingin mengatakan sesuatu yang berbeda—tentang bagaimana kehidupannya tidak semudah yang orang bayangkan, tentang beban menjadi anak pengusaha besar. Namun ia memilih diam.
Mereka bertiga kemudian membicarakan rencana akhir pekan. Clara, seperti biasa, paling antusias.
“Kita harus jalan-jalan ke pusat kota,” usulnya. “Aku dengar ada pasar malam yang seru di sana.”
Stefany mengangkat alis. “Pasar malam?”
“Ya,” jawab Clara bersemangat. “Ada musik, makanan, dan lampu-lampu cantik. Pasti menyenangkan.”
Lukas menatap Stefany sejenak sebelum berkata, “Itu ide bagus. Kau ikut, Stefany?”
Stefany ragu sesaat. Sejak datang ke Jerman, ia belum pernah benar-benar bersenang-senang. Hari-harinya hanya diisi kuliah, membaca, dan berdiam di asrama.
“Baiklah,” jawabnya pelan akhirnya.
Clara langsung bersorak kecil. “Yes! Ini akan jadi akhir pekan yang seru.”
Lukas tersenyum tipis, tapi dalam hatinya ia senang bisa menghabiskan waktu di luar kampus bersama mereka, terutama Stefany.
Setelah makan, mereka berjalan kembali ke gedung fakultas untuk kelas berikutnya. Di sepanjang jalan, Clara lagi-lagi yang paling banyak bicara.
“Stef, kau harus mencoba makanan lokal di sini. Jangan salad terus,” katanya menggoda.
Stefany tersenyum samar. “Aku suka salad.”
“Lihat, Lukas,” Clara menoleh padanya, “dia ini seperti robot. Semua terjadwal: kuliah, belajar, makan salad.”
Lukas tertawa kecil. “Mungkin dia hanya butuh waktu untuk beradaptasi.”
Stefany melirik Lukas sekilas. “Mungkin.”
Ada jeda singkat setelah itu. Clara berjalan di depan, meninggalkan Stefany dan Lukas di belakang.
Lukas ingin mengatakan sesuatu, tapi ia menahannya. Ada ketertarikan yang sulit dijelaskan dalam dirinya terhadap Stefany, tapi ia memilih memendamnya. Baginya, perasaan itu cukup disimpan saja, tanpa perlu diungkapkan.