Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Keheningan melanda perjalanan. Beberapa kali Cedric melonggarkan dasi gusar, hingga berakhir melepas satu kancing atas kemejanya.
"Pria ini benar-benar menyeramkan," gumam Elira. Sesekali ia melirik Cedric yang tengah menyetir di sampingnya. "Aku harus mulai melakukan pendekatan dengannya. Barangkali ada sesuatu lain yang akan kutemukan."
"Ayah marah padaku?" tanya Elira.
Di belakang, Ann sama gelisahnya. Sebab, sejak menaiki kendaraan ini, tuan besarnya belum mengatakan sepatah kata pun. Padahal sebelumnya Cedric berkata, ia ingin berbicara dengannya.
Pria itu menghela napas kasar. Suasana hatinya terasa berantakan. Ia memang khawatir pada putrinya. Namun di sisi lain, ia juga begitu marah dengan keadaan ini.
"Berhenti membuat Ayah khawatir, Elira."
Ucapan itu terasa menyayat hati. Elira sendiri sampai bertanya-tanya, kenapa rasanya semenyesakkan ini?
"Kenapa harus berkeluyuran seperti ini? Bahkan sebelum Ayah tahu keadaanmu." Air mata Cedric terlihat naik ke pelupuknya, membuat Elira terkejut melihatnya. "Harus berapa kali Ayah katakan? Jika Ayah hanya memiliki dirimu dalam hidup Ayah."
"Jadi begini rasanya dianggap berharga dan dikhawatirkan?" Elira menunduk seraya meremas jemari.
Normalnya, manusia akan meminta maaf jika membuat orang lain terlalu khawatir, tetapi Raveena yang kini mendiami tubuh Elira masih merasa kesulitan melakukannya.
"Ayahku di kehidupan nyata, mana pernah mengkhawatirkanku seperti ini," batinnya. Helaan panjang Elira terdengar begitu lelah, hingga berhasil membuat Cedric yang sibuk menyetir sampai menoleh sebentar.
"Tidak apa-apa, Sayang," tutur Cedric dengan sebelah tangan yang mengusap punggung tangan anaknya. Di belakang, Ann ikut tersenyum haru. "Maaf. Tapi Ayah selalu resah setiap kali kau nekat bertemu dengannya."
Elira menunduk sambil terpejam. Merasakan emosi sesak yang terasa begitu nyata dirinya rasakan. "Sial. Kenapa aku begitu menyukai adegan dramatis yang menyesakkan ini."
Jemari Elira mulai membalas genggaman Cedric lebih erat. "Ayah. Mulai sekarang, aku ingin kau mulai membagi bebanmu padaku. Dia memang lelaki brengsek yang harus kita beri pelajaran."
Cedric tertegun. Tak menyangka putri lugunya mengucapkan kata-kata seperti itu. Ia melirik Ann lewat spion, dan wanita itu mengangguk paham.
Mereka hanya saling menatap, namun keduanya seolah-olah setuju, bahwa ada perubahan sikap yang aneh dalam diri Elira.
......................
"Aku akan mandi dulu--"
"Ayah sudah menelepon dokter dan tim medis yang merawatmu selama kurang lebih sebulan ini," kata Cedric menuntun putrinya masuk ke kamar rawat pribadi khusus di rumahnya. "Diamlah dulu di sini."
"Tapi aku sudah baik-baik saja, Ayah." Elira protes meski anggota tubuhnya menurut saat dinaikkan ke atas tempat tidur. "Lihat. Semua lukaku telah pulih."
Ann berusaha memberi kode dengan berkedip-kedip agar Elira menurut saja pada ayahnya.
"Tapi Ayah ingin tahu penyebabnya. Ini tidak akan lama." Cedric membantu Elira berbaring, lalu mengusap rambutnya dengan sayang. "Ya?"
Elira menatap Cedric, berusaha membaca ekspresi tegas itu. Ada sesuatu di balik tatapan ayahnya.
Entahlah, mungkin semacam campuran rasa sayang sekaligus gelisah.
"Ayah terlalu berlebihan," timpal Elira. Namun, nada suaranya terdengar lirih, seolah ia sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya.
"Rasanya memang kacau sekali. Bahkan aku tidak ingat, kejadian apa yang membuatku ada di sini selain novel bodoh itu," decak Elira dalam hati.
Cedric tidak langsung menjawab. Ia berdiri di sisi tempat tidur seraya bersedekap. Kedua matanya mengamati setiap detail wajah putrinya. "Berlebihan? Kau pikir Ayah akan diam saja setelah melihatmu mendatangi pria itu dalam keadaan seperti ini?"
"Hhh. Pria ini begitu protektif. Dia memang tameng yang kuat, tapi juga bisa menjadi penghambat besarku dalam waktu yang bersamaan." Elira menatap lamat ayahnya. "Tapi aku punya alasan. "
"Alasan?" Cedric mendekat dan duduk di sisi ranjang. "Alasan apa yang sepadan dengan risiko Ayah kehilanganmu?"
Hening.
Elira hanya memelototi sprei akibat enggan menatap balik. "Sebenarnya hidupmu sempurna karena memiliki Ayah sepertinya, Elira. Aku merasa benar-benar disayang dan dilindungi seperti seorang anak oleh pria ini."
Sadar akan sesuatu, Elira menggeleng keras. "Tidak, tidak! Jangan sampai kau melupakan tujuan awalmu, Raveena! Ayo berpikir untuk mencari jalan keluarnya."
Ann yang sejak tadi berdiri di dekat pintu tampak menggigit bibir, merasa bimbang apakah harus ikut campur atau tidak?
Melihat Elira yang diam saja, Cedric menghela napas panjang. "Kau tidak perlu melibatkan dirimu sejauh ini. Ada hal-hal yang Ayah bisa selesaikan tanpa membuatmu terluka."
Elira akhirnya menoleh. Kedua netranya menyorot wajah sang ayah lebih dalam. "Dan bagaimana jika Ayah tidak sanggup menghadapinya sendirian?"
Keduanya kini terdiam. Ann yang sejak awal hanya mendengar sungkan percakapan itu pun kian menunduk.
Ting tong!
Suara bel pintu yang berbunyi memecah suasana.
"Sepertinya mereka sudah datang, Tuan," ujar Ann yang lekas dibalas anggukan oleh Cedric. "Sebentar." Ann pun pergi tergesa keluar untuk membukakan pintu.
"Nanti kita bicarakan lagi," ucap Cedric lirih, sebelum memberi ruang pada tim medis yang mulai masuk ke kamar.
Tatapan para tim medis itu tampak terperangah melihat kondisi sehat Elira. "Tuan--"
"Iya. Aku sendiri pun tak mengerti, maka tolong periksa apa yang terjadi pada putriku," tukas Cedric yang paham dengan tatapan bingung para medis. Mereka pun mengangguk dengan penuh tanda tanya.