JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. GEGABAH
Langkah-langkah mereka bergema di jalan cahaya itu, seakan-akan setiap pijakan menjadi gema yang merambat jauh, melintasi ruang dan waktu yang tak lagi mengenal batas. Di sisi kanan dan kiri, langit astral dipenuhi arus warna, merah, biru, hijau, ungu, berpadu dan berputar seperti samudra kosmik yang hidup.
Sadewa berjalan paling depan, wajahnya tegang namun matanya bersinar dengan tekad. Sukma ibunya ada di depan sana, entah dalam genggaman siapa. Dia bisa merasakan sesuatu yang halus, seperti benang gaib, menuntunnya menuju arah tertentu. Itu bukan sekadar firasat, melainkan panggilan batin seorang anak terhadap ibunya.
Arsel dan Tama mengikuti dengan waspada, sementara Andi, yang auranya lebih tegas daripada sosok gaib lain, berjalan di samping mereka. Wujudnya samar, namun matanya bersinar tajam, seolah bisa menembus segala lapisan dimensi.
"Sadewa," ujar Andi, suaranya dalam dan menggema meski tak terlalu keras, "kau harus kuat. Semakin dalam kita masuk, semakin rapuh pula sukma manusia biasa. Kau dan ibumu bukan makhluk gaib, jadi apa pun yang menunggu di sana, akan mencoba meremukkan kalian dari dalam."
Sadewa mengangguk. "Aku nggak peduli. Selama masih ada kemungkinan, aku akan mencobanya."
Arsel menepuk bahu Sadewa. "Kita semua di sini bersamamu. Jangan pernah merasa sendirian."
Tama, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. "Aku mendengar sesuatu ...." Ia berhenti, menajamkan telinganya. Dan benar saja, dari kejauhan terdengar suara samar, jeritan, tangisan, dan bisikan-bisikan yang tak bisa dipahami. Seperti ribuan suara manusia bercampur jadi satu.
Arsel menegang. "Itu ... bisa jadi daerah penjara sukma."
Andi mengangguk. "Benar. Penjara itu bukan satu, melainkan lapisan demi lapisan. Sukma manusia yang tersesat, tertipu, atau sengaja ditahan, biasanya berkumpul di sana. Tapi tidak semua bisa diselamatkan ... hanya mereka yang masih memiliki ikatan kuat di dunia nyata."
Sadewa menggenggam erat tangannya sendiri. "Itu berarti ibu masih bisa ... karena aku memanggilnya."
Langkah mereka semakin cepat. Jalan cahaya yang semula lurus kini bercabang ke beberapa arah. Masing-masing cabang berkelip dengan warna berbeda.
"Pilih dengan hati-hati," kata Andi serius. "Salah langkah bisa membuat kita terperangkap di jalur lain, dan jalan keluar tidak akan pernah ditemukan."
Sadewa menutup mata. Ia mencoba mendengar panggilan batin itu lagi. Sebuah benang halus, nyaris tak terlihat, mengikat hatinya. Ia mengikuti arah itu, lalu menunjuk ke jalur bercahaya hijau pucat yang berdenyut pelan.
"Di sini," kata Sadewa yakin.
Tanpa ragu, mereka mengikuti Sadewa.
Begitu memasuki jalur hijau itu, udara berubah drastis. Semuanya lebih dingin, menusuk tulang, namun bukan dingin fisik melainkan dingin yang mencengkeram jiwa. Cahaya jalan bergetar, dan di sisi kanan-kiri, mereka mulai melihat sosok-sosok samar, bayangan manusia tanpa wajah, berjalan tanpa arah, tangannya terulur seperti mencari sesuatu yang hilang.
Tama menelan ludah. "Ini menyeramkan sekali."
Arsel menegakkan tubuhnya. "Jangan sampai mereka menyentuhmu. Itu bukan hanya bayangan, melainkan fragmen jiwa yang bisa menyeretmu ikut tersesat."
Sosok-sosok itu memang mencoba meraih mereka. Ada yang merintih, ada yang memanggil dengan suara mirip orang tua mereka, ada pula yang menangis seperti anak kecil. Semua itu adalah ilusi yang memancing rasa iba.
Sadewa hampir saja terhenti ketika mendengar suara perempuan mirip ibunya memanggil namanya.
"Dewa ... Dewa ... anakku ..."
Andi segera menahan bahunya. "Itu bukan ibumu. Itu tiruan, umpan untuk melemahkanmu. Fokus pada ikatan batin yang asli!"
Sadewa terkejut, jantungnya berdegup kencang, tapi ia mengangguk. "Iya, aku mengerti."
Mereka terus berjalan, melewati ribuan sosok bayangan. Hingga akhirnya jalur itu melebar, membentuk semacam lapangan luas yang berkilau pucat. Di tengahnya berdiri gerbang raksasa berwarna hitam legam, dengan ukiran wajah-wajah manusia yang tampak tersiksa. Gerbang itu berdenyut, seperti makhluk hidup.
"Kak Andi? Apa itu?" tunjuk Arsel.
"Gerbang Penjara Sukma," jawab Andi. "Di baliknya, roh-roh ditahan. Jika ibu Sadewa benar-benar ditangkap, maka dia ada di dalam sana."
Tama menatap gerbang itu dengan ngeri. "Tapi bagaimana kita bisa masuk?"
Andi memejamkan mata. "Ada dua cara. Pertama, kita harus mendapat izin dari penjaga gerbang. Kedua, kita bisa menerobosnya dengan kekuatan batin, tapi itu berisiko tinggi, karena akan memancing perhatian makhluk yang menguasai wilayah ini."
Sadewa maju selangkah. "Kalau begitu kita harus berbicara dengan penjaganya."
Seakan menjawab, dari balik gerbang terdengar suara berat, dalam, dan bergema, membuat tanah astral bergetar:
"Siapa yang berani mengetuk pintu di antara dunia?"
Suara itu begitu besar hingga dada Sadewa terasa ditekan. Namun ia tidak mundur. Ia mengangkat suaranya, meski bergetar, "Aku Sadewa ... anak dari perempuan yang kalian tahan! Aku datang untuk mengambil kembali sukma ibuku!"
Keheningan menyelimuti, sebelum akhirnya gerbang bergetar hebat. Dari celah di bawahnya, keluarlah sosok tinggi, berkulit abu-abu, dengan wajah ditutupi topeng batu. Matanya kosong, namun penuh kekuatan purba.
"Aku adalah Penjaga. Tidak seorang pun boleh masuk tanpa tebusan. Apa yang akan kau berikan untuk membuka gerbang ini, anak manusia?"
Sadewa terdiam. Keringat dingin membasahi tubuh astralnya.
Arsel menoleh cemas pada Andi. "Apa maksudnya tebusan?"
Andi menjawab lirih. "Untuk membuka gerbang, kau harus menyerahkan sesuatu yang sangat berharga. Bisa berupa ingatan, kebahagiaan, atau bahkan bagian dari jiwamu."
Sadewa menggertakkan gigi. "Kalau begitu ... ambil ingatanku tentang semua penderitaan masa lalu. Aku hanya ingin ibuku kembali!"
Penjaga terdiam, lalu suaranya bergema. "Tawaran diterima, namun penderitaanlah yang membentuk tekadmu. Tanpa itu, kau akan rapuh."
Sadewa menunduk. Ia tahu risikonya, tapi ia tetap berkata, "Aku rela."
Andi menahan tangannya. "Tunggu, Dewa! Jangan gegabah. Ada cara lain ..."
Keheningan panjang menyelimuti lapangan astral itu. Gerbang hitam berdenyut pelan seperti jantung raksasa, dan mata kosong sang Penjaga terus menatap Sadewa. Suara beratnya masih bergema dalam ruang tanpa batas:
"Tebusan atau tiada jalan masuk."
Sadewa menatap lurus, sorot matanya penuh tekad meski tubuh astralnya bergetar. Ia sudah siap mengorbankan ingatannya, penderitaan masa lalu yang selalu menghantuinya. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut lagi, Andi menahan lengannya dengan kuat.
"Sadewa," suara Andi tegas, dalam, dan tajam, "kau tidak mengerti apa yang kau tawarkan. Penderitaan memang menyakitkan, tapi dari situlah tumbuh kekuatanmu. Jika kau serahkan itu, kau akan kehilangan pilar jiwamu sendiri. Kau akan rapuh dan bagaimana kau bisa melawan makhluk yang mengambil ibumu kalau jiwamu runtuh?"
Sadewa menelan ludah, hatinya bergejolak. "Lalu apa yang harus kulakukan? Ibuku ada di sana, Kak! Kalau aku nggak membayar, dia akan tetap terperangkap!"
Arsel maju satu langkah, menatap Penjaga dengan mata menyala. "Kalau begitu, biar aku yang menyerahkan sesuatu. Biar aku saja."
Sadewa terperanjat. "Arsel, tidak! Ini tugasku!"
Namun Penjaga menoleh ke arah Arsel. Suaranya berat, namun penuh rasa ingin tahu.
"Dan apa yang akan kau serahkan, anak muda?"
Arsel menarik napas dalam-dalam. "Aku akan menyerahkan salah satu ingatan paling berharga dalam hidupku. Tentang masa kecilku, tentang tawa kakakku sebelum ia pergi dari dunia ini. Itu bagian yang paling sering menguatkanku. Jika itu bisa membukakan jalan bagi Sadewa, aku rela."
Suasana hening. Bahkan Sadewa dan Tama menunduk, tak mampu membayangkan pengorbanan sebesar itu.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???