Ruby Rikaya terpuruk, setelah kepergian bayi mungilnya. Dan pada saat itu ia juga mendapat perceraian dari suaminya-Ganesha Maheswara. Beberapa bulan pulih, Ruby akhirnya menerima lamaran dari mantan kekasihnya dulu-Gama.
Namun, masalah tidak berhenti disitu. Ruby terpaksa menuruti permintaan terakhir sahabatnya-Fatimah, setelah insiden kecelakaan yang merenggut nyawa sahabatnya itu. Dalih menjadi Ibu susu, Fatimah juga meminta Ruby untuk menggantikan posisinya.
Di campakan selama 2 tahun pernikahannya, rupanya hal itu membuat Ruby ingin menyerah.
Namun, suatu hal serius sedang menimpa putri sambungnya-Naumi. Bocah berusia 4 tahun itu di vonis mengidap Cancer darah (Leukimia)
Tidak ada pendonor sel darah yang cocok. "Jalan satu-satunya Bu Ruby harus hamil anak kedua!" Papar sang Dokter.
Dan hanya darah dari plasenta sang adiklah, yang nantinya akan menyelamatkan nyawa Naumi.
Cinta sudah hilang, perceraian menanti diujung jurang. Disisi lain, ada nyawa yang harus Rubi selamatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mas, carikan aku Pengacara!
"Ruby, kamu mau kemana?" Mahendra terus saja mengejar istrinya.
Ruby semakin mempercepat jalannya. Begitu mobil hitam sudah berhenti, ia dan putrinya segera masuk tak peduli dengan teriakan Mahendra dari sebrang.
"Jalan saja, Pak!" Putus Ruby hingga taxi online itu melaju secara perlahan.
Mahendra mengacak rambutnya frustasi. Dan tanpa berpikir panjang, ia segera berlari kembali menuju mobilnya, masuk dan langsung mengejar taxi yang di tumpangi Ruby.
Diam sambil memangku putrinya, air mata Ruby perlahan mengalir begitu saja. Dadanya terasa sesak sekali menerima hal yang begitu ia tolak dalam hidupnya. Ia sangka, menurunkan egonya diawal akan memberikan kehangatan dalam pernikahannya, tapi nyatanya hal itu semu. Berstatuskan istri, namun hingga detik ini ia tidak pernah diberikan kebaikan rumah tangga yang semestinya.
Ruby mengeluarkan gawainya kembali. Ia menekan nomor sang Kakak, menunggu panggilannya terjawab.
"Hallo Ruby, ada apa?" Arman sudah menerima panggilan adiknya.
"Mas, aku akan pulang ke rumah malam ini. Apa Mamah dan Papah dirumah?" Ruby hanya memastikan saja. Entah mengapa, ia saat ini sedang membutuhkan support dari orang terdekatnya. Diam-diam air mata itu semakin mengalir kuat.
Arman yang juga baru saja selesai makan malam, kini masih duduk agak mengernyit, begitu ia saat ini mendapat tatapan intimidasi dari kedua orangtuanya. "Apa ada masalah? Kau datang dengan siapa? Apa perlu Mas jemput?" Jelas sekali Arman sangat menghawatirkan rumah tangga adiknya.
Ruby mencoba tersenyum sambil mengusap surai putrinya, "Aku nggak papa, Mas! Ini sebentar lagi juga sampai. Sudah ya, aku matikan dulu!"
Dan benar saja, tak berselang lama taxi online yang ditumpangi Ruby sudah berhasil masuk dalam halaman rumah besar dua lantai itu.
Seperti biasa Naumi sudah terlelap dalam dekapan hangat Ruby. Ia segera turun, dan langsung disambut hangat oleh Mamah Rita.
"Oh, cucu Oma sudah bobok ternyata." Mamah Rita tampak antusias menggantikan gendongan Naumi. "Ayo masuk, Sayang!"
Tuan Gendra sosok periang itu, kini memegang kedua pundak sang putri, mengulas senyum sendu, lalu mendorong putrinya untuk masuk. "Dari rumah atau mampir?" Tanyanya. Jujur saja sebagai seorang Ayah yang begitu menyayangi putrinya, ada perasaan sakit melihat putrinya selalu dikecewakan setiap pria.
Ruby menoleh sekilas. Selalu tersenyum setiap bertukar cerita dengan sang Ayah. Jika sudah seperti ini. Ia bagaikan sosok putri kecil ditengah keluarga.
"Mbak Nurul tolong dijagain dulu ya. Saya mau keluar!" Mamah Rita meminta pelayanya untuk menemani Naumi tidur dikamar terlebih dulu.
Arman dan Tuan Gendra sudah duduk, begitu disusul Mamah Rita keluar.
"Kalian bertengkar?" Tanya Mamah Rita yang sudah mendaratkan duduk disamping putrinya.
Sementara Tuan Gendra. Ia kini memijat lengan putrinya seperti biasa, setiap Ruby pulang bekerja. "Jika ada masalah, sebaiknya dibicarakan dengan kepala dingin!" Ucap lembut sang Ayah.
Ruby menoleh keduanya secara bergantian. "Apa Mamah dan Papah akan mendukung Ruby, jika itu menyangkut kebahagiaan Ruby?"
"Tentu, Sayang! Mamah, Papah dan Kakaku pasti akan mendukung apapun itu, asal kamu bahagia!" Tekan penuh Mamah Rita.
Ruby menatap sang Kakak. Sorot matanya seakan sudah lelah menjalani kehidupan semu itu. "Mas, carikan aku pengacara!"
Deg!
Tuan Gendra dan Mamah Rita saling melempar tatap lebar. Keduanya sama-sama tersentak dengan pernyataan putrinya kali ini. Namun, hal demikian tidak berlaku pada sang Kakak-Arman.
Pria berusia 30 tahun itu merasa, lebih baik sang adik terbebas dari jerat pernikahan palsu itu. Arman berharap, Ruby akan segera menemukan kebahagiaannya dengan pria lain.
"Sayang, apa maksud ucapanmu? Pengacara untuk apa?" Mamah Rita sampai memutar badan Ruby agar menghadap kearahnya.
"Aku sudah berniat untuk mengakhiri rumah tanggaku ini, Mah!" Putusnya. Ruby kini malah meluruhkan kedua tangan sang Ibu untuk ia genggam.
"Kau yakin, Sayang?"
Arman menengahi. "Mah, jika memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kenapa harus dipaksa?!"
"Tapi konsep rumah tangga bukan seperti itu, Arman! Jika dapat diperbaiki, kenapa harus berakhir kembali?! Papah selalu mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Tapi, jangan selalu kegabah setiap mengambil keputusan!" Sahut Tuan Gendra mengusap kepala putrinya. Ia begitu sangat menyayangi Ruby. Baginya, Ruby tidak pernah tumbuh menjadi wanita dewasa, meskipun putrinya itu sudah dua kali menjalin bahtera rumah tangga.
Ruby terdiam sejenak. Pikirannya saat ini memang sedang buntu.
***
Mbok Melas menatap bingung, karena memang Nona mudanya sejak tadi belum juga pulang. Bagaimana bisa Mahendra melontarkan pertanyaan seperti itu, jika saja tadi mereka keluar bersama-sama.
"Coba saya cari dikamar, Mbok!" Mahendra langsung bergegas naik ke tangga, menuju kamarnya. Namun setelah dibuka, kamar besar itu tampak kosong. Reflek saja Mahendra membuka lemari milik istrinya.
Ada perasaan lega melihat baju Ruby masih tertata rapi disana. Hembusan nafas itu berangsur lirih, sambil menutup kembali lemari tadi.
Mahendra terdiam sejenak. Ia tahu kemana lagi istrinya itu pergi. Sejujurnya ia paling enggan menginjakan kakinya dirumah sang Mertua, mengingat ada Arman disana. Namun ia tidak memiliki pilihan lain lagi.
Langkah kaki lebar itu segera melesat keluar, tak peduli sesakit apa wajahnya tadi. Disamping itu, gawai miliknya sejak tadi bergetar tanpa jeda.
Nama Diandra terpampang jelas dalam layar gawai itu. Mahendra hanya melirik sekilas, lalu membiarkan begitu saja. Cengkraman tangan pada setir itu begitu kuat, hingga sorot mata itu bagaikan tergores, dan hanya kepedihan lah yang ia rasakan saat ini.
Malam semakin larut, berhembus sendu menemani perjalanan Mahendra saat ini. Perasaannya terlempar jauh, entah mengapa ketakutan itu mendadak memupuk dalam jiwanya.
tepat pukul 10 malam, mobil Mahendra sudah berhenti didepan gerbang besar milik Mertuanya.
Dint! Dint!
Penjaga rumah itu sampai tersentak dalam tidurnya, saat mendengar seseorang mengklakson mobilnya didepan pintu gerbang.
Duar!
Kilatan petir itu menggelegar kuat, hingga tak lama kemudian hujan deras mengguyur kota tropis itu.
Mahendra menyembulkan setengah badanya keluar, "Saya, Pak!" Teriaknya terbawa hujan.
Penjaga rumah itu mengangguk, dan segera menarik gerbangnya. Mahendra segera menjalankan kembali mobilnya kedalam.
Dengan segenap keyakinan jika istrinya ada didalam, Mahendra memantapkan langkahnya untuk menginjak lantai marmer itu. Taj peduli jika sebagian tubuhnya basah terkena air hujan, Mahendra tetap saja mengetuk pintu itu dengan wajah tegang.
Brak! Brak!
"Mah, Pah ... Ini Mahendra! Tolong buka pintunya!" Pekik Mahendra menggebrak kuat pintu itu.
Melihat pintu sudah terbuka dari dalam, ia mulai memundurkan satu langkahnya kebelakang. Dan rupanya Arman lah yang membuka. Dengan wajah datarnya pria itu membuka suara. "Kau tidak pernah diajarkan sopan santun? Teriak di rumah orang malam-malam tidak jelas!" Hardiknya.
Mahendra menghela nafas dalam. Sekuat tenaga ia mencoba tahan emosinya didepan kakak Iparnya itu. "Sudahlah, Arman. Kali ini aku tidak ingin ribut denganmu. Aku datang ingin menjemput istri dan putriku!" Balasnya.
Arman masih berdiam diambang pintu sambil bersedekap dada. "Aku tidak mengijinkan kamu menemui adiku! Lebih baik kau keluar!" Geram Arman namun masih ia tahan.
Mahendra semakin dibuat tak tahan. Wajahnya berangsur memerah, hingga rahangnya mengeras. "Di DALAM ADA PUTRIKU, ARMAN! BAGAIMANA BISA KAU MELARANG AKU UNTUK MENJEMPUTNYA PULANG!" Sentak Mahendra mendekatkan wajahnya.
drpd tiap hari hnya jd pengasuh
makan hati trs rumah tangga macam apa itu
daripd makan ati dan tak dihargai