Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cibiran yang Tak Asing Lagi
Sore harinya, suasana rumah kembali ramai. Mobil-mobil dengan pelat luar kota berderet di halaman. Keluarga besar dari pihak ayah Haidar baru saja datang. Soraya menyambut mereka dengan ramah di depan rumah, ditemani Haidar dan Emily yang berdiri di belakangnya.
Padahal mereka batu saja melepas kepulangan kerabat Haidar dari Soraya.
Emily menahan napas. Kali ini, ia tahu posisinya sulit. Ia bukan hanya "anak baru" dalam keluarga besar ini, tapi juga menantu yang masih menjadi bahan gunjingan.
Tapi ia tak bisa terus bersembunyi di kamar. Bukan hanya karena rumah ini masih dalam suasana duka, tapi karena ia juga ingin menunjukkan bahwa ia tak lari dari kenyataan.
Sesekali, ia tersenyum dan menunduk sopan saat bersalaman, lalu duduk di sofa dekat pintu. Ia sedikit menjauh, memilih tempat yang tak terlalu menonjol. Sementara Haidar sibuk membantu Soraya menyambut kerabat satu per satu.
Tak lama kemudian, sebuah suara nyaring terdengar dari arah tengah ruangan.
“Eh, bukannya ini cewek yang waktu itu viral di media?” ujar seorang wanita muda dengan nada menyelidik. Namanya Linda, sepupu Haidar dari pihak Papanya, Dani.
Emily hanya menunduk. Ia sudah lelah menanggapi tuduhan macam ini.
Namun sebelum ada yang menjawab, seorang pemuda yang duduk di sebelah Linda, berwajah tenang dan berkacamata, menjawab lirih, “Itu semua fitnah. Sudah diklarifikasi oleh ayahnya sendiri. Gue malah salut sama ayahnya. Dia rela kehilangan segalanya demi membela anaknya.”
Tatapan pemuda itu lurus ke depan, tidak menoleh sedikit pun ke arah sepupunya.
“Yakin? Lihat aja penampilannya, kayak gitu,” sahut Linda lagi, matanya menatap sinis ke arah Emily yang duduk diam, memainkan ujung ponselnya.
Pemuda itu menghela napas. “Penampilan bukan patokan. Banyak orang kelihatan alim, tapi hatinya busuk. Banyak juga yang kelihatan cuek, tapi hatinya bersih. Lo gak bisa nilai orang cuma dari luarnya.”
Linda mendengus. “Kenapa sih lo? Kok kayaknya bela banget?”
“Enggak,” jawabnya singkat, lalu diam.
Percakapan itu terdengar cukup jelas bagi Emily. Ia mencuri pandang ke arah pemuda itu, sedikit terkejut. Ia bahkan tak tahu siapa namanya.
Belum sempat ia tenggelam dalam pikirannya, datang seorang pria paruh baya, tinggi besar, mengenakan batik lengan panjang. Tatapannya langsung tertuju pada Soraya yang duduk di samping Emily.
“Soraya... Haidar sudah menikah, ya?” tanyanya sambil melirik Emily dengan pandangan penuh penilaian.
“Sudah, Kak,” jawab Soraya ramah. “Tapi resepsinya belum. Makanya aku baru sempat kabarin lewat grup.”
Si pria—Paman Rudi, sepupu Dani, ayah Haidar—mengangguk lambat. “Kenapa harus dijodohin sama anak bau kencur, sih? Si Elin itu lebih dewasa. Cantik. Sopan.”
“Cukup, Paman!” potong Haidar yang baru saja kembali dari kamar mandi dan duduk di samping Emily. Suaranya tegas, tajam. “Kalau Paman datang ke sini hanya untuk mengomentari pilihan saya, lebih baik gak usah datang sama sekali.”
Paman Rudi tersentak, sedikit salah tingkah. “Haidar... bukan maksud Paman gitu. Maksudnya, si Elin itu—”
“Gak usah ngatur,” sela Haidar dingin. “Pilihan saya sudah final. Dan saya gak butuh persetujuan siapa-siapa.”
Hening beberapa detik. Namun Paman Rudi tampaknya belum selesai.
“Sayang banget ya, perusahaan si Dani. Padahal udah besar... eh, sekarang hilang karena anaknya salah pilih pasangan.”
Seketika tatapan Haidar berubah. Soraya yang duduk di sebelahnya langsung menyentuh bahu putranya, mencoba menenangkan.
Namun Haidar sudah bicara, suaranya dingin dan menusuk, “Kenapa? Paman mau ambil alih?”
Paman Rudi tampak salah tingkah, matanya menatap sekeliling, berharap ada yang membelanya.
“Papa sudah mewariskan ke saya. Saham terbesarnya milik ayah mertua saya. Jadi kalau kalian berpikir bisa rebut perusahaan itu, maaf... mimpi aja terus.”
Suasana ruangan menegang. Semua mata tertuju pada Haidar, tapi ia tak peduli.
“Itu perusahaan hasil jerih payah Papa. Kalian pikir kalian tahu apa? Waktu Papa menikah dengan Mama—yang kalian anggap bukan siapa-siapa—Papa diusir dari rumah sendiri. Papa membangun segalanya dari nol. Bukan dari warisan orang tua kalian.”
Soraya menunduk. Matanya memerah. Kenangan itu terlalu perih untuk diingat. Tapi ia bangga pada Haidar, yang akhirnya bersuara, yang akhirnya melindungi warisan cinta ayahnya dengan sepenuh hati.
“Kalian yang menendang Papa dari rumah. Tapi sekarang, kalian yang datang untuk mengambil hasil usahanya?”
Hening. Tak ada yang menjawab. Bahkan Linda pun tak berani bersuara lagi.
Emily menggenggam tangan Haidar pelan di pangkuannya. Ia menatap suaminya dengan sorot mata haru. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Haidar yang benar-benar berbeda: bukan hanya sebagai suami, tapi juga sebagai anak yang setia dan laki-laki yang berani berdiri di atas kebenaran.
Bi Isur yang ingin memberitahu kalau kue yang dibuat Emily tadi sudah matang juga menjadi sungkan.
"Kenapa, Bi?" tanya Soraya. Ia melihat keraguan Bi Isur.
"Kue Non Emily sudah matang, Bu."
"Oh, iya, Bi." jawab Soraya. "Sayang, ayo kita lihat." Soraya meraih tangan Emily dan menggiringnya ke dapur.
Haidar sendiri pergi keluar saat suara tangisan anak kecil terdengar melengking-lengking.
***
Selesai membantu Soraya di dapur, Emily keluar rumah sebentar untuk menghirup udara sore dan mencari tahu siapa yang menangis tadi. Udara terasa lebih segar walau hatinya masih campur aduk. Di halaman, ia berpapasan dengan seorang pemuda—Ferdi—yang tadi membelanya di ruang tamu.
"Eh," sapa pemuda itu sambil mengangguk. "Selamat, ya. Lo kuat banget."
Emily mengernyit. "Maksudnya?"
"Gue... orang yang jadi saksi waktu lo dijebak," jawab Ferdi kalem.
Emily menatapnya lekat-lekat, mencoba mengingat. Pandangannya tertumbuk pada tompel kecil di dekat rahang Ferdi.
"Oh! Lo yang waktu itu ngajak ketemuan sama gue?" ujarnya pelan, matanya membesar sedikit.
Ferdi mengangguk, tersenyum tipis. "Yap. Gue dulu pacaran sama Disa. Tapi setelah liat dia kaya gitu, gue langsung gak respek."
"Terus lo putusin dia gitu aja?" tanya Emily, masih heran.
"Kalau udah ketahuan belangnya, buat apa dipertahanin? Gue gak mau hidup sama orang yang suka mencari cadangan demi gengsi," jawab Ferdi mantap.
Emily hanya mengangguk, antara kagum dan masih kaget.
Mendadak dari dalam rumah, terdengar suara Linda yang menyindir dengan suara cukup keras, "Bang Haidar! Lihat tuh istri lo… di rumah mertua aja udah berani manja-manjaan, gimana kalau di luar!"
Haidar yang baru saja kembali dari halaman depan setelah membantu anak kecil yang terjatuh ke got, sempat menoleh sekilas. Sebelum sempat menjawab, Ferdi menoleh ke Linda dan menggeleng pelan.
"Ya ampun, capek deh. Kak Linda, bisa diem sebentar gak sih?"
Linda menatapnya sinis. "Lo tuh siapa sih, Ferdi? Baru nongol, sok belain aja."
Ferdi menghampiri Haidar yang sedang mendekati mereka, lalu dengan santai menepuk bahunya. "Bang, inget gue gak?"
Haidar menatap Ferdi cukup lama. Ekspresinya datar, tapi Emily yang berdiri di dekatnya mencubit pelan perut suaminya.
"Uh," Haidar berdesis. "Inget... dikit."
Ferdi mengangkat alis, “Ck! Bang Haidar gak bakal suka sama gue, padahal gue belain lo, loh!” ia tahu kekhawatiran Emily.
“Ya, kalau saya lebih baik mencegah daripada mengobati,” sahut Emily cepat.
Tanpa peringatan, Haidar langsung menarik kepala Emily dan menyembunyikannya ke dalam kaosnya. “Jangan banyak gaya.”
“Aaaa! Bapak Haidar jelek!!” jerit Emily.
Ferdi ngakak, tertawa sampai membungkuk. “Wah, sumpah... kalian berdua kayak sinetron tapi versi lucu! Bang Batu dan Mbak Mulut Laser!”
Linda menghentak kaki dan berbalik dengan kesal.
Tiba-tiba dari arah rumah, anak kecil yang tadi jatuh ke got datang dengan muka kotor, menunjuk Emily sambil berkata, "Tante yang jerit-jerit bikin semua orang liat aku keluar dari got! Aku malu!"
Emily langsung refleks memeluk anak itu. "Maaf ya, tante gak niat bikin kamu malu. Tapi tadi tante dijahilin suami tante..."
Anak itu mendongak polos. "Papa aku juga suka gitu ke Mama..."
Ferdi langsung tertawa ngakak apalagi Emily. Sedangkan Haidar hanya bisa mesem-mesem.
Soraya datang membawa handuk kecil. "Udah, udah... Masuk semua. Jangan bikin halaman rumah kayak panggung stand up comedy!"
Ferdi masih terkikik. “Tapi ini lebih lucu dari acara TV mana pun, Tante. Sumpah!”
Emily menatap Haidar dan mencibir kecil. “Bapa Batu, ayo masuk.”
“Kalau kamu masih manggil aku begitu, besok tidur di lantai,” sahut Haidar dengan wajah datar.
Emily nyengir. “Oke, Bapak Batu! Tapi lantainya dikasih karpet berbulu, ya.”
***
"Sayang, kalau mau ke rumah bunda jangan ke rumah yang dulu ya. Nanti bunda chat alamatnya takut kamu lupa."
Bersambung