"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Maaf Yang Di Balas Diam
..."Satu kali kesalahan akan tetap menjadi kesalahan, sebelum semua kesalahan di perbaiki, keadaan tidak akan berubah sama sekali. Untuk itu, selesaikan baik-baik masalah yang ada, sebelum kata maaf tidak lagi di terima."...
...~~~...
Raihan terlihat begitu tertegun, menatap seorang wanita yang masuk ke dalam rumah besar milik orangtuanya itu bersama saudara kembarannya yang sudah tidak asing lagi baginya.
"Waalaikumsalam. Eh Alya, Rayan. Kok kalian bisa pulang barengan? Baru saja Raihan ingin pergi mencari kamu, Alya." Bunda Zahra dengan cepat melangkah menghampiri Alya dan Rayan yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Dan Raihan masih diam mematung menatap wajah sang istri yang di carinya sedari tadi. Dan dari tatapan matanya itu nampak begitu bersalah, sampai Alya terus menghindari kontak mata darinya. Sangat terlihat jelas dari cara Alya mencoba menghindari tatapan suaminya itu.
"Oh iya, Bunda maaf. Tadi di jalan pulang macet, dan di jalan Alya tidak sengaja bertemu dengan Rayan, sehingga kita bisa pulang ke rumah barang agar lebih cepat, Bunda." Alya dengan cepat menjawab pertanyaan dari mertuanya itu, walupun harus mengarang cerita yang tidak pasti adanya.
"Oh pantasan Raihan lebih dulu sampai di sini. Nah kan, Bunda juga bilang apa tadi, Alya mungkin ke jebak macet di jalan. Dan benar saja kan, Alya pulang terlambat sebelum kamu pulang," kata Bunda Zahra sembari menatap wajah Raihan.
"Oh ya Bunda, aku tadi ambil jalan pintas makanya lebih cepat dan tidak terjebak macet, sedangkan Alya ambil jalan umum biasa, dan aku lupa bilang sama Alya soal adanya jalan pintas Bunda," seru Raihan yang semakin menutupi kenyataan sebenarnya.
Alya menatapnya kepada Raihan yang berusaha keras untuk menutupi semua yang telah terjadi di kantor tadi. Apalagi setelah dirinya yang sedikit berbohong agar tidak di ketahui masalah rumah tangganya oleh Bunda Zahra, tapi entah kepada setelah Raihan sendiri yang mengatakannya hati Alya semakin tergores secara perlahan.
"Setelah berbohong kepadaku, kamu juga sampai berbohong kepada Bunda untuk menutupi semua kelakuan kamu, Mas? Sungguh tidak aku sangka kamu jadi seperti ini Mas," ucap Alya di dalam hatinya dengan kekecewaan yang begitu mendalam kepada Raihan.
Tidak kuasa melihat wajah Raihan yang mengingatkan Alya akan kejadian tadi siang di dalam ruangan kerja Raihan, sehingga membuat Alya memilih menghindar dari suaminya itu.
"Eemmm ... Bunda, Alya ke atas dulu ya? Kepala Alya terasa agak pusing sedikit," ucap Alya sembari memegangi kepalanya dengan menatap kepada Bunda Zahra.
"Oh kamu sakit, Alya? Ya udah kamu istirahatin dulu aja di kamar ya! Jangan terlalu capek!" ucap Bunda Zahra dengan begitu lembut dan memperhatikan menantunya itu.
Terlebih lagi, Bunda Zahra memang sudah begitu dekat dengan Alya dari ia masih kecil, sehingga setelah menjadi menantunya pun Alya di perhatikan dengan sangat baik oleh Bunda Zahra, sampai sudah di anggap sebagai anak kandung sendiri.
Dan tidak lama dari itu, Bunda Zahra beralih menatap kepada Raihan yang hanya berdiri mematung di depan istrinya dan juga Rayan.
"Raihan, cepat antar istrimu itu ke kamar! Biarkanlah dia istirahat!" titah Bunda Zahra kepada sang putra.
"Baik Bunda," balas Raihan yang langsung mendekati sang istri dengan harap-harap cemas.
"Ayo sayang! Mas antar ke kamar," ajak Raihan dengan merengkuh pundak Alya, seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Alya tidak menjawab, tetapi ia menerima perlakuan suaminya itu, walupun diri belum bisa menerima perlakuan manis di balik pengkhianatan pahit itu.
Di saat Raihan membawa Alya untuk ke ke kamar mereka berdua yang berada di lantai atas. Kedua mata Rayan pun menatapnya dengan tatapan sendu, seperti ada rasa tidak rela melihat pemandangan manis itu, setelah mengetahui apa yang telah di perbuat oleh abangnya itu kepada wanita yang masih di cintainya sampai saat ini.
"Rayan!" panggil Bunda Zahra yang melihat putra kembarnya mematung tidak bergeming di hadapannya, setelah kepergian Alya dan Rayan ke kamar atas.
Rayan pun sedikit terkejut dengan panggilan dari bundanya itu, sehingga membuatnya beralih menatap sang bunda.
"Iya, Bun. Ada apa?" tanya Rayan karena mengira Bunda Zahra membutuhkan bantuannya!
"Kamu kenapa melamun barusan, Rayan? Ada yang tengah kamu pikirin?" tanya Bunda Zahra yang tahu betul akan perasan Rayan, karena sedari dulu Rayan begitu dekat dengannya, sedangkan Raihan sangat dengan Ayah Muzaki.
"Enggak kok Bunda, itu memastikan saja," jawab Rayan tanpa sadar berkata jujur.
Dahi Bunda Zahra sedikit berkerut mendengarnya. "Hah, maksudnya?" tanyanya dengan begitu keheranan.
Rayan di buat kelimpungan setelahnya, karena Bunda Zahra nampak mencurigai dirinya.
"Ah enggak kok Bunda, itu tadi memastikan perut Rayan keroncongan apa enggak," ujar Rayan dengan jawaban yang cukup aneh.
"Hah, haha kamu lapar, Rayan? Sampe di pastiin kayak gitu. Ya udah, Bunda bawakan brownis dulu untuk kamu ya? Tunggu di sofa depan, oke?" kata Bunda Zahra dengan begitu perhatian mengusap lengan tangan Rayan.
"Iya Bun," sahut Rayan dengan menganggukan kepalanya, lalu berjalan bersama Bunda Zahra ke arah sofa dan duduk di sana, menunggu Bunda Zahra mengambilkan bolu brownies di dapur.
***
Sesampainya di dalam kamar yang ada di lantai atas, Raihan masih bersikap manis sampai pintu kamar itu tertutup. Namun, saat ia kembali menghampiri sang istri untuk membantunya beristirahat di atas tempat tidur dengan meraih pundaknya, tiba-tiba saja tangannya di tepis oleh Raihan.
"Sudahlah Mas, jangan berpura-pura bersikap manis kepadaku!" cetus Alya sembari berjalan sendiri mendekati tempat tidur.
Deg.
Hati Raihan cukup sakit mendenger ucapan sang istri, sehingga membuatnya bergegas menghampiri Alya, karena ia sadar akan kesalahannya itu.
Dengan rasa bersalah yang menyelimuti diri Raihan. Ia pun memutuskan untuk duduk di depan Alya, serta meraih kedua tangannya.
"Apaan sih Mas pegang-pegang!" ucap Alya dengan menepis tangan Raihan agar tidak menyentuhnya.
"Sayang, Mas minta maaf," lirih Raihan dengan rasa bersalah yang begitu mendalam dan tidak kuasa melihat wajah kecewa Alya.
Alya hanya diam dan tidak menjawab permintaan maaf dari suaminya itu. Dan hal itu semakin membuat Raihan risau, takut Alya berlarut-larut mendiamkannya.
"Sayang jangan begini dong! Jangan mendiamkan Mas, Mas minta maaf sama kamu. Itu semua hanya salah paham," ucap Raihan sembari menyentuh tangan sang istri, walupun sering kali di tepis oleh Alya.
"Udah ah Mas, aku capek mau istirahat!" kata Alya dengan menghindari tatapan dari Raihan dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Sayang, maaf ...," lirih Raihan dengan membujuk Alya agar mau memaafkannya.
Namun, Alya hanya diam dan memejamkan matanya, sengaja menghindari Raihan yang terus meminta maaf, setelah apa yang di perbuatnya kepada dirinya.
.
.
.