Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Dinding
Di Hutan Belakang Benteng
Yuer menyingkap semak belukar dan mengamati dengan cermat, jari-jarinya mengusap permukaan daun demi daun, mencari ciri tanaman penawar racun yang pernah dilihatnya di kitab tua. Namun sejauh ini, hasilnya nihil. Langit semakin gelap, dan kabut mulai menggantung rendah.
Saat ia hendak berbalik, matanya menangkap sosok wanita dengan cahaya pendar hijau dan gaun hijau lembut seperti saat itu berdiri di antara pohon pinus tua. Wanita itu diam, bagaikan hantu kabut yang lahir dari tanah hutan itu sendiri. Rambutnya panjang, pakaiannya berkibar lembut, dan pandangannya menatap Yuer sama lembutnya. Wanita yang sama seperti saat itu.
Suara lembut tapi jelas meluncur dari arah wanita itu.
"Di balik dinding itu, segala jenis tanaman tumbuh. Bahkan yang tak lagi hidup di dunia ini, yang kau cari ada di dalam."
Yuer terdiam, lalu melangkah pelan mendekat, tapi wanita itu sudah tak terlihat.
Tatapannya beralih pada tembok batu tua yang menjulang diam, tertutup lumut. Ia tahu itu sisi taman Zeyan, bagian terlarang yang tidak seharusnya Yuer masuki lagi.
...
Langit mulai gelap ketika Yuer akhirnya berdiri di hadapan Zeyan yang tengah bersandar di sisi luar lorong utama, menatap langit kelabu di balik kisi batu.
"Aku ingin masuk ke taman belakang," kata Yuer, tanpa basa-basi.
Zeyan menoleh pelan, alisnya segera mengernyit. "Tidak."
"Zeyan—"
"Aku bilang tidak."
Yuer mengepalkan jemarinya, masih berusaha sabar. "Wanita itu bilang kalau tamanmu ditumbuhi tanaman langka, kau tahu aku sudah berjanji pada Tuan Luo dan yang kucari ada di dalamnya. Menurutmu aku hanya mencari alasan untuk masuk ke tamanmu itu? Untuk apa?"
Mata Zeyan menyipit curiga. "Seperti kau tidak pernah menyelinap ke sana saja."
Yuer menahan napas, jengah dan kesal. "Dengar, bahkan saat itu pun juga karena wanita bergaun hijau itu!"
Zeyan mendongak cepat, sinis. "Wanita apa? Kau terus mengatakan 'wanita itu'. Siapa? Mingyue?"
"Bukan!" Yuer menjawab cepat, separuh kesal, separuh bingung sendiri. "Dia... seperti hantu, ah tidak! Mungkin dia seorang peri dengan gaun hijau pucat dan gelang giok bergambar angsa, entahlah."
Zeyan membeku.
Seketika, tangannya mencengkram bahu Yuer dengan keras, mata tajamnya bergetar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar emosi.
"Jangan main-main," katanya, suara berat menahan gejolak.
"Aku tidak main-main!" Yuer membalas, matanya menatap ke arah lelaki itu. "Aku tidak tahu siapa dia, tapi..."
Zeyan mencengkram lebih kuat seolah ingin menghentikan pikirannya sendiri. "Gelang itu, tidak mungkin kau tahu."
"Zeyan, kau menyakitiku," bisik Yuer akhirnya.
Zeyan terdiam. Cengkeramannya perlahan mengendur, tapi tatapannya belum berubah namun ia memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresinya yang mulai retak.
"Tetap saja, aku tidak akan mengizinkanmu masuk."
Yuer mengepalkan tangan. "Kalau begitu kita buat kesepakatan."
Zeyan menoleh lagi, kini dengan alis terangkat.
"Aku akan menuruti keinginanmu, apa saja. Satu hari penuh setelah itu. Apa pun yang kau minta. Tapi izinkan aku masuk taman itu malam ini."
Sekilas senyum menyungging di bibir Zeyan, tapi lebih ke mengejek.
"Bukankah memang sudah seharusnya kau menuruti perintahku?"
Yuer mendengus, menatapnya tajam. "Aku tidak selalu menuruti keinginanmu atau perintahmu dengan sukarela tanpa menentang. Jadi, kau bisa anggap ini tawaran langka."
Zeyan melipat tangannya. "Apa pun yang kuinginkan?"
"Satu hari penuh."
"Hm."
"Baiklah, terserah kau saja." Yuer berbalik hendak pergi setelah merasa tidak mendapat jawaban. Tapi sebelum langkahnya benar-benar menjauh, tangan Zeyan kembali menariknya, kali ini tanpa amarah melainkan penuh tekad.
Yuer nyaris tersandung karena tarikan mendadak itu, tapi langkah Zeyan cepat dan mantap. Mereka melewati lorong-lorong sunyi benteng, menuruni anak tangga yang jarang dilalui, dan akhirnya menuju gerbang besi berukir simbol naga dan bunga dandelion.
Dan Yuer, hanya bisa menelan ludah, sadar bahwa malam ini ia tidak hanya akan menemukan tanaman yang dicari, tapi mungkin juga rahasia yang ada di dalam taman terlarang Zeyan.
...
Langkah-langkah Yuer menyisir jalan setapak taman terlarang itu dengan hati-hati, jemarinya kadang meraba batang tanaman, seolah mencoba mengenali spesies langka yang dimaksud wanita berbaju hijau itu. Di belakangnya, Zeyan berjalan dengan tenang namun tajam, seperti bayangan yang enggan melepas pergerakan mangsanya.
"Apa kau benar-benar tahu apa yang kau cari?" tanya Zeyan dengan nada yang terdengar mencemooh.
Yuer tidak menjawab, matanya terus menyisir hamparan tanaman dan bunga liar yang tumbuh rimbun.
"Aku tidak ingat pernah menanam apapun yang disebut langka," tambahnya, suaranya dingin, sinis.
"Aku tahu apa yang aku cari, jadi bisakah kau diam saja?"
Zeyan tertegun tapi kemudian menyeringai. Baru kali ini seseorang menyuruhnya diam.
"Apakah kau pikir hari ini aku memberimu izin hanya karena tawaran kesepakatanmu tadi?"
Yuer berhenti melangkah sejenak, menoleh sekilas. "Itu tidak penting. Aku sudah berjanji dan kau menyetujuinya."
Senyum Zeyan menipis, tapi dia tak membalas. Hanya memerhatikan gadis yang berjalan selangkah di depannya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Mereka hampir tiba di paviliun tua yang menjulang di sisi barat taman. Bangunan lama yang cukup terawat, Yuer bertanya-tanya apakah Zeyan merawat tempat ini seorang diri mengingat dia tidak mengizinkan siapapun masuk. Langkah Yuer sempat terhenti saat menatap terasnya, seolah sesuatu menarik perhatiannya. Ia mulai melangkah pelan ke arah sana.
Namun tiba-tiba, tangan Zeyan mencengkeram pergelangan tangannya.
"Jangan ke sana," ucap Zeyan, nadanya tajam dan dingin.
Yuer menatapnya dengan dahi mengernyit, tapi belum sempat membantah, matanya membelalak sedikit. Di teras pavilion itu, seorang wanita berdiri.
Wanita itu.
Gaunnya hijau panjang, bergerak pelan oleh angin yang bertiup lembut, rambut hitamnya menjuntai, dan di pergelangan tangannya tergantung gelang giok hijau lembut, seolah menyimpan kabut pagi di dalamnya, berpahat angsa kecil—aksesoris yang anehnya membuat dada Yuer terasa berat tanpa tahu mengapa.
"Itu dia…" bisik Yuer tanpa sadar. "Itu wanita yang aku bicarakan."
Zeyan menatap ke arah paviliun. Kosong.
Tidak ada siapa-siapa di sana.
Yuer menoleh padanya. "Kau juga tidak bisa melihatnya?'
Zeyan tetap diam, pandangannya tajam ke arah kosong yang Yuer tunjuk.
"Itu wanita yang sama hari itu, saat aku menyelinap masuk ke tamanmu. Zichen dan Mingyue juga tidak bisa melihatnya, kurasa hanya aku..."
Tangan Zeyan tiba-tiba bergerak cepat, mencengkram kedua bahu Yuer keras. Wajahnya berubah tegang, dan nadanya meledak.
"Jangan mempermainkanku, Yuer!" suaranya nyaris seperti bentakan. "Aku sudah mencoba menahan ini, tetapi dari mana kau tahu!? Dari mana kau tahu tentang gelang giok angsa?"
Mata Yuer membelalak. "Aku tak tahu! Aku hanya mengatakan apa yang kulihat—"
"Tidak mungkin kau tahu!" Zeyan menatapnya dengan amarah yang campur aduk oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih getir. Matanya bergetar, seperti menahan sesuatu yang hampir pecah. "Kau... Katakan saja! Kekaisaran mengirimmu untuk menghancurkanku untuk kedua kalinya? Selama ini kau hanya berpura-pura agar aku percaya bahwa kau hanya wanita tak berdaya yang dimanfaatkan oleh mereka?"
Yuer menatapnya, mulai memahami meski tidak sepenuhnya, tapi cukup untuk tahu bahwa wanita itu mungkin seseorang yang sangat penting bagi Zeyan. Mendengar pria itu menuduhnya seperti itu memang terasa menyakitkan. Tetapi sepasang mata penuh kekecewaan dan kemarahan di hadapannya ini membuat Yuer bertanya-tanya, apa yang dilakukan kekaisaran sehingga Zeyan membenci kekaisaran begitu dalam.
"Kau tahu wanita itu? Itu seseorang yang kau kenal?"
Zeyan tidak menjawab dan hanya mengalihkan pandangannya menolak untuk menjawab.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Wen Yuer." Suaranya kini rendah dan cengkraman di bahunya mengendur.
"Kau juga tidak menjawab pertanyaanku."
Sosok wanita itu masih berdiri di tempat yang sama, tatapannya mengarah lurus ke mata Yuer. Ia mengangguk pelan, seperti mengundangnya untuk mendekat.
Yuer meneguk ludah, tak menoleh ke Zeyan saat berkata, "Aku tahu ini sulit untuk dipercaya. Tapi dia ingin aku ke sana."
Zeyan tidak langsung menjawab. Tatapannya berpindah-pindah, dari wajah Yuer dan ke arah paviliun kosong, lalu kembali ke mata Yuer yang bersinar dengan keyakinan penuh. Sesuatu bergejolak dalam dirinya antara kemarahan, rasa takut, dan rasa percaya yang ingin ia bantah mati-matian.
Yuer menoleh, lalu perlahan menggenggam tangan Zeyan.
"Aku mohon... Percayalah padaku kali ini. Kau bersamaku dan aku hanya akan berdiri, lebih dekat."
Zeyan menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata rendah, "Aku tetap bersamamu."
Yuer mengangguk. Mereka mulai melangkah mendekati paviliun. Derit kayu tua menyambut langkah mereka. Semakin dekat mereka, semakin tajam rasa dingin menusuk udara. Zeyan menggenggam tangan Yuer lebih erat—mungkin takut Yuer akan melakukan sesuatu.
Sosok wanita itu tetap di sana. Tidak bergerak. Tidak berkedip.
Lalu, saat mereka cukup dekat, Yuer tiba-tiba mendengar suara.
"Kita bisa bicara seperti ini, tanpa mulutmu perlu terbuka."
Yuer terkejut. Ia menoleh ke Zeyan. Pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar apapun.
Suaranya muncul lagi, dingin dan jernih seperti gema.
"Jawablah dalam pikiranmu saja. Aku akan mendengarnya. Jangan beritahu dia."
susunan kata nya bagus