Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
cintaku tak pernah ia hargai
Tiba-tiba pesan dari Alfareza masuk lagi.
“Ayok dong, kan gua udah jujur sama lo.”
Aku menatap layar ponsel itu lama, kemudian mengetik balasan dengan hati yang masih penuh luka.
“Gua pengen lo jujur, gak lebih. Tapi entah kenapa gua yakin lo itu bohong,” balasku sembari tersenyum getir, meski di dalam hati seribu luka meronta.
Tak butuh waktu lama, balasan darinya pun muncul lagi.
“Mau jujur apa lagi sih, dongo? Gua udah jujur ya.”
tapi entah kenapa Aku yakin dia itu berdusta,karena hatiku menolak percaya pada ucapannya.
Sebab, cinta yang tulus takkan pernah lahir dari mulut yang begitu kasar.
Kata-katanya hanya luka, bukan pelukan.
Dan dari sikapnya saja sudah terlihat.
Aku pun membalas pesannya dengan keberanian yang tersisa dalam hatiku.
“Jujur aja, kamu udah punya cewek di Lampung sana kan?” tanyaku tegas, meski hatiku bergetar.
Beberapa menit kemudian, notifikasi darinya muncul lagi.
“Bacot, dongo! Siapa yang di Lampung sih, dongo? Kalau gak tau apa-apa jangan sok tau ya, dongo!” balasnya kasar, penuh racun kata yang menyayat perasaanku.
Aku menatap layar ponsel itu dengan mata berkaca-kaca. Tanganku gemetar, tapi aku memilih membalas dengan ketegasan yang lahir dari luka.
“Yaudah, blok aja nomor gua selamanya. Gua pengen belajar ikhlas ngelepasin cowok kayak lo.”
Bukannya merasa iba atau kasihan, Alfareza justru membalas dengan dingin.
“Di blok juga percuma, lo bakalan nge-chat gua lagi.”
Aku terdiam, lalu tertawa getir membaca balasan itu.
"Bukannya kamu yang nge-chat aku duluan, Rez?" batinku pahit.
Aku pun mengetik balasan,
“Gua gak pernah chat lo.”
Tak lama kemudian, notifikasi baru muncul.
“Nyari semua sosmed gua buat apa, toloo?” balasnya kasar lagi.
Aku hanya bisa menatap layar itu. Dalam hati aku berbisik lirih.
"Karena aku cinta kamu, Rez. Apa aku salah mencintai kamu?"
Namun, kata-kata itu hanya menggema di lisanku, tidak pernah terkirim kepadanya. Yang aku kirim hanya pesan singkat.
“Gua gak nyari semua sosmed lo kok.”
Tak lama kemudian, balasan darinya muncul lagi.
“Pas gua gak mau ganggu lo, kenapa lo nge-chat IG gua waktu itu, dongo?”
Aku menghela napas panjang, lalu membalas singkat,
“Ada bukti?”
Tapi bukannya menjawab, dia justru mengalihkan pembicaraan.
“Pikir aja sendiri pake otak,” ucapnya, seolah tak mau jujur.
Aku mengetik lagi dengan hati yang sudah terlalu sakit,
“Terakhir pas lo blok gua itu,emang ada gua nge chat anda?”
Pesan itu dibalasnya singkat,
“Yaudah bagus lah kalo gitu.”
Aku menatap layar ponselku dengan mata yang basah, lalu meletakkannya pelan di samping bantal. Tidak membalas lagi.
Mungkin benar, sebaiknya aku memang harus menjauh…
Aku bagaikan aku ratu yang kehilangan rajanya,Bulan menjadi saksi,Langit malam menyaksikan luka ,aku hancur, separuh jiwaku tertinggal di namanya.
Bulan melihatku runtuh ia tahu betapa rapuh cinta yang kucinta.
Aku bergumam pelan, suaraku nyaris tersedak oleh tangis yang tak kunjung reda.
“Apa mungkin semua ini akan berakhir? Atau aku memang takkan pernah menikah seumur hidup ,kalau Reza saja bisa menyakitiku begini? Bagaimana dengan pria lain…?” gumamku kepada kegelapan kamar, kepada langit yang tak menjawab.
Mata berat, tapi air mataku terus menetes, menandai pipi dengan jejak-jejak asin yang telah akrab.
Rasa lelahnya bukan cuma fisik,tapi juga meresap ke sumsum tulang ,lelah karena berharap, karena memberi, lalu selalu mendapat racun sebagai balasan.
Kusandarkan kepala, menatap tirai yang bergoyang pelan diterpa angin malam. Nugget-nugget cahaya bulan menyelinap, seolah mengintip keadaan hatiku yang remuk.
Entah berapa lama aku terbaring begitu, mengantuk namun tak bisa tenang. Dalam benakku terlintas doa yang tak berani kuucap kencang.
"semoga ada akhir yang baik dari semua ini,bukan sekadar pengakhiran, melainkan jalan agar aku boleh bernapas lagi tanpa luka."
Mataku perlahan terpejam. Aku tidak meminta dunia mengambil nyawaku,aku hanya berharap agar rasa sakit ini menemukan tempatnya sendiri, agar esok pagi aku masih mampu membuka mata dan berjalan meski dengan langkah pincang menuju sesuatu yang lebih baik.
Di tepi kesunyian malam itu, aku tertidur juga bukan karena menyerah, melainkan karena tubuh dan jiwa butuh istirahat.
Keesokan harinya aku terbangun dengan kepala berat. Mata masih sembab, sisa-sisa mimpi buruk menempel di pelupuk.
Aku meraih handphone ku,notifikasi menumpuk ,dan yang pertama yang kulihat adalah namanya, lagi.
Dia nge chat aku.
Senyum tipis muncul di bibirku, tapi itu cuma selubung getir. Bukan penyesalan yang ia kirim, bukan juga kata maaf ,hanya tuntutan yang sama seperti semalam.
"Kenapa dia selalu begitu padaku? Kenapa tiap aku berharap sedikit saja, yang datang hanyalah ejekan dan paksaan?"aku bergumam
Aku menatap pantulan diriku di layar,wajahku lelah, mata ini belum pulih. Untuk sejenak aku bertanya lagi pada diri sendiri ,apakah karena aku kurang cantik? Apakah karena aku bukan seperti wanita-wanita yang ia pamerkan? Pikiran itu menusuk, namun lalu kutarik napas dalam-dalam. Tidak. Yang menyakitkan bukanlah ketidakmampuan fisikku, melainkan caranya membuatku merasa tak berharga.
Dengan jemari yang masih gemetar, aku akhirnya menyerah untuk menuliskan balasan.
“Flis jangan egois.
Maafin gua kalau gua terlalu kecintaan sama lo.
Maaf kalau bikin lo risih.”
Pesan itu kukirim dengan hati yang penuh luka, berharap ia mengerti ,meski mungkin sia-sia.
Namun yang kulihat hanya satu centang. Aku terdiam.
"Apa dia ngeblok aku lagi?" tanyaku dalam hati, antara marah, kecewa, tapi juga anehnya masih berharap. Perasaanku bercampur aduk, seperti hujan yang tak tahu kapan akan reda.
Suara mama dari luar kamar memecah lamunanku.
“Cepetan mandi!”
“Iya, Ma bentar" jawabku lemah.
Aku menutup layar ponsel, menaruhnya di atas meja, lalu beranjak dari kasur dengan tubuh berat. Kurasakan sisa air mata di pipi yang belum sempat kering. Dengan langkah gontai, aku menuju kamar mandi, bersiap untuk sekolah.
Air dingin yang menyentuh kulitku seolah jadi penawar sesaat, tapi hatiku masih tetap sesak.
Aku menatap diriku di cermin kamar mandi wajah lelah, mata bengkak, dan senyum yang hilang.
Saat di sekolah, suasana ramai seperti biasa. Teman-teman sibuk bercanda, ada yang ngobrol soal PR, ada yang sekadar tertawa heboh.
Aku duduk di bangkuku dengan pandangan kosong, mencoba menutupi mataku yang masih sembab.
Tiba-tiba Yena menoleh ke arahku. Ia memperhatikan wajahku lama, lalu berkata pelan"Ghea,kenapa matamu sembab?”
Aku terdiam, tak mampu menjawab. Tanganku meremas ujung rok seragamku, menahan rasa sakit di dada.
Yena mendesah kecil, lalu menebak dengan nada setengah kesal, “Pasti kamu nangisin si Reza lagi, kan?”
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Air mata yang berusaha kutahan nyaris jatuh lagi, tapi aku buru-buru menunduk, takut terlihat oleh orang lain.
“Ya ampun, Ghea…” Yena menggeleng, matanya terlihat iba. “Kenapa sih kamu harus terus-terusan tersiksa gara-gara dia? Dia tuh nggak layak buat kamu.”
Aku menggigit bibir, lalu menjawab lirih, “Aku tau, Yen tapi hatiku kayak nggak mau berhenti sayang sama dia. Rasanya sakit banget.”
Yena menatapku lekat-lekat, alisnya mengernyit penuh penasaran.
“Apa yang Reza lakuin kali ini sama kamu?” tanya yena ingin tahu .