Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Dokter Richard memeriksa Benjamin dan tersenyum ramah pada Clarissa setelahnya. "Kondisi saudara Benjamin sudah cukup pulih, Anda bisa membawa pulang suami Anda namun bila ada kejanggalan seperti sakit kepala berlebih, anda bisa senantiasa membawanya kemari. Kami selalu siap menangani pasien."
Clarissa juga ikut tersenyum, "Baik, terima kasih Dokter." Clarissa mengikuti langkah Dokter tadi sampai dia keluar dari ruangan Benjamin berada.
"Kalau begitu ayo pulang, aku muak sekali melihat ruangan ini." Benjamin sudah terlepas infus yang menempel pada lengannya selama lima hari itu, ia bangun dari ranjang.
Clarissa mendekat dan menyentuh seluruh tubuh Benjamin, "walau begitu kita harus lihat dulu tubuh mu."
Benjamin mengangkat kedua tangannya ke atas seolah seperti kriminal yang tertangkap oleh pihak polisi. Ia juga menatap ke langit-langit, detak jantungnya berdebar keras yang bisa Clarissa dengar.
Clarissa lalu menghentikan aksinya dan mundur dua langkah. "M-maaf aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman."
"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit gugup. Walau kita sudah menikah tapi sekarang aku tidak bisa mengingat apapun. Ah apa perlu ku buka semuanya?" Benjamin memandangi seluruh tubuhnya dan hendak melakukan aksi seperti perkataannya.
"Eh!.." Suara perempuan asing terdengar agak jauh dan keduanya memandang ke arah sumber suara. Di ambang pintu ada perempuan muda yang mengenakan seragam medis. Dia tampak tertegun melihat aksi yang akan di lakukan pasangan di ruang pasien. "Permisi Pak Buk, tapi rumah sakit kami melarang melakukan itu di ruangan pasien."
Clarissa menganga, suster itu malah berpikir aneh-aneh tentang keduanya. Ia menatap Benjamin yang juga malah diam seribu bahasa. Seolah membenarkan yang dikatakan suster tadi.
"Tidak Sus, kami tidak begitu kok. Tadinya saya cuman mau mengecek kembali suami saya, takutnya ada yang masih sakit. Benar kan?’" Clarissa melihat Benjamin dan memberi isyarat untuk menjawab perkataannya.
"Oh iya benar." Benjamin menurut saja dengan Clarissa, ia sejujurnya tak begitu masalah dengan pikiran Suster tadi.
***
Keduanya tiba di rumah bergaya modern yang cukup besar, membutuhkan waktu enam puluh menit sampai dari rumah sakit Benjamin di rawat karena mereka terjebak macet.
Sudah lima hari Benjamin di rawat dan akhirnya setelah pemeriksaan lebih lanjut, ia bisa kembali ke rumah. Untungnya tak ada gejala lain pada Benjamin.
Tetapi Clarissa cukup menantikan kedatangan Ayah mertuanya saat Ben masih di rawat namun seperti citra Morgan Hilton pada umumnya. Selalu mengutamakan pekerjaan daripada keluarganya, Ibu mertuanya bahkan bisa meluangkan waktu melihat putranya walau dia juga sama-sama sibuk namun sepertinya semua orang punya pemikiran yang berbeda-beda.
Ia menghembuskan nafas pelan, Clarissa tak boleh berpikir negatif apalagi dia Ayah kandung Benjamin. Syukurlah Benjamin mengerti saat Clarissa jelaskan bahwa Ayahnya memiliki banyak pekerjaan jadi tak bisa datang dan Ben tampak tak begitu peduli.
Benjamin sudah menyimpan alas kaki pada tempatnya dan meneliti seluruh ruangan yang ada, ia mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti sesuatu.
Kini Clarissa jadi bingung menjelaskan rumah ini, sebelumnya ia tak pernah melakukan ini bahkan tak pernah membawa orang ke rumah ini.
"Oh ini adalah ruang tamu, ini tempat untuk menonton televisi dan di sebelahnya dapur dan meja makan." Clarissa menunjuk ruangan yang ia maksud, menjelaskannya dengan jelas tanpa basa-basi.
"Aku tahu, sekali lihat juga aku tahu ruangan apa itu." Benjamin tak begitu tertarik dengan semua ruangan itu. Ia melangkah perlahan, Clarissa mengikuti kemana Benjamin Berada.
Ia sampai di meja dapur, jantung Clarissa hampir ingin loncat. Ia seketika ingat makanan yang dia siapkan hari itu, untungnya ia sudah menelpon pekerja yang selalu membersihkan rumah ini jadi ia menyuruh ya membersihkan makanan yang ia buat.
"Tidak ada ya?” Benjamin melihat ke meja makan dan tempat di dapur.
"Apa?..." Clarissa heran dengan ucapan Ben, dia selalu mengucapkan sesuatu namun terasa tak sampai akhir kalimat yang mengidentifikasi maksudnya.
"Gelas pasangan, Suster yang ada di rumah sakit bilang dia punya gelas pasangan dengan pacarnya. Masa kita tidak punya, padahal sudah menikah." Benjamin terlihat sedikit kecewa tak melihat hal yang ingin di lihatnya.
"Hah?" Clarissa mengatup-katupkan bibirnya, ia harus memikirkan kembali jawaban yang sederhana dan mudah di mengerti agar tak membuat Ben kepikiran. “Oh itu, emm k-kita, kita kan sudah menikah selama dua tahun. Gelasnya sudah rusak jadi, emm kita bisa beli lagi kok.” Clarissa melihat Benjamin yang sudah tersenyum kembali, akhirnya ia bisa bernafas lega.
Benjamin menatap istrinya, senyumannya kembali terpancar dari wajahnya. "Sekarang?"
Clarissa menggeleng cepat, mereka baru sampai dan Ben juga baru saja keluar dari rumah sakit. Lebih baik Ben beristirahat saja dahulu, pikir Clarissa.
"Nanti saja, kita baru sampai rumah. Kamu tidak penasaran dengan ruangan lain, sebelah sini." Clarissa menarik tangan Ben, ia melangkah menuju kolam renang yang cukup ia sukai.
"Tara, cantik kan..." Clarissa tersenyum bahagia saat menunjukan spot favoritnya dari rumah Ben.
Ben mengangguk, "cantik." Ia melihat Clarissa lekat-lekat. Sepertinya dia tak membicarakan kolamnya.
"Kalau begitu aku mau tahu lantai atas, apakah itu tempat kita tidur bersama?" Ben kembali bertanya penasaran.
Clarissa yang tadi tersenyum langsung sedikit menganga, ia melupakan hal yang begitu penting. Kamar tidur.
Kamar yang mereka gunakan masih sama seperti dua tahu lalu, barang-barang keduanya pun masih berada di tempatnya. Alasan yang bagaimana lagi yang harus ia keluarkan untuk meyakinkan Benjamin.
"T-tunggu sebentar, kita minum dulu. Kamu pasti haus." Clarissa mendekati ruangan tempat air berada, ia menarik Ben dan menyuruhnya duduk tanpa berbicara.
Benjamin mengecek tenggorokan miliknya, ia menyentuhnya sekaligus membuat suara. "Kamu benar, air memang penting untuk tubuh."
"Aku sudah selesai, ayo naik." Benjamin kembali berdiri dan Clarissa kini punya beberapa alasan yang sudah ia pikirkan. Untungnya otaknya masih lancar untuk perihal kritis seperti ini.
Keduanya menaiki tangga perlahan dan tiba ketika Benjamin tampak bingung melihat ada dua pintu yang berhadapan, ia tanpa ragu membuka pintu kamar sebelah kanan. Tempat Clarissa tidur dan melakukan aktifitas lain.
Clarissa mengikuti langkah Ben, "wow cantik sekali dan-" Benjamin mengendus-endus di ruangan itu. "Wanginya seperti istriku," ia melihat istrinya dengan senyuman terpancar di wajahnya. “Jadi ini kamar kita?”
"Emm i-iya," jawab Clarissa terbata-bata. Karena panik ia malah membenarkan pertanyaan Benjamin.
"Oh ini," Benjamin melirik foto di nakas. Foto Clarissa saat kecil bersama kedua orang tuanya.
"Jangan," Clarissa mengambilnya langsung. Ia jadi takut dijahili atau diejek karena biasanya Benjamin yang dulu, sebelum ia amnesia. Dia selalu melakukannya, tanpa sadar Clarissa malah mengambilnya tanpa ragu.
"A-aku malu," Clarissa menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya.
"Hahaha, istriku lucu sekali." Benjamin yang sekarang, kembali melakukan hal itu namun seperti sedikit berbeda. Clarissa tak pernah melihatnya mengejek ataupun menjahilinya dengan tertawa riang begitu.
To be continue...