"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai terasa
Hari-hari berlalu begitu saja, semua masih sama. Hania masih merawat Brivan, sesuai dengan kontrak kerjanya. Langit di luar mendung, terlihat awan hitam yang mulai menebal menghalangi cahaya matahari. Tapi di kamar tempat Hania tinggal dan merawat Brivan, semuanya tetap... seperti biasa. Sunyi, hening .... Hanya ada bunyi monitor dan tetesan infus.
Hania berdiri di samping tempat tidur Brivan, menyeka tubuh suaminya dengan kain hangat. Membersihkan tubuh laki-laki berstatus suami kontaknya itu dengan telaten. Tangannya gemetar. Dahinya mengernyit, matanya berat, tapi ia terus menyelesaikan tugas, seperti biasa.
“Kita selesai, Tuan Maheswara...” bisiknya pelan, menepuk pelan tangan pria itu. Seolah memberitahunya lewat sentuhan.
Hania mulai memakaikan baju bersih pada tubuh polos sang suami, setelah memakaikan popok baru. Dia tak lagi canggung, tapi sekarang dia mulai terbiasa dengan semuanya.
"Nah sekarang kamu sudah tampan dan wangi." Hania tersenyum sambil menyisir rambut hitam sang suami.
"Rambutmu sudah panjang, apa kau mau merapikannya? Atau kau lebih suka gondrong? Aku tidak tahu seperti apa seleramu, tapi kau terlihat tampan dengan model rambut apapun, ku rasa ...."
Baiklah suami, aku harus membereskan ini dulu. Aku tinggal sebentar ya," pamit Hania sambil merapihkan ember yang berisi air hangat bekas mandi Brivan, waslap dan beberapa benda lain yang Hania gunakan.Namun, saat ia akan melangkah ke kamar mandi untuk membilas kain...
Tiba-tiba, pandangannya berputar.
Dinding kamar bergoyang. Perutnya mual. Kakinya goyah, hampir saja ia roboh
andai Hania tidak mendorong tubuhnya ke dinding, ia memejamkan mata rapat-rapat, menahan muntah yang menggulung di tenggorokan.
Hania menunduk, tangannya memegang perut bagaian bawah. Wanita itu meringis, kram perut ringan sampai sedang akibat respon ovarium yang membesar. Dia juga merasakan, mual dan muntah, mirip gejala PMS atau awal kehamilan. Bahkan kadang dia bisa sangat sedih tiba-tiba, bahakan menangisi hal sepele. Rasa nyeri di area payud4ra karena lonjakan estrogen. Pusing, lemas karena perubahan hormon drastis. Semua itu Hania mulai Hania rasakan sejak kemarin. Mario sudah menjelaskannya, jika semua itu akan terjadi karena efek suntikan hormon yang diberikan.
Setelah menarik napas panjang, Hania membuka matanya perlahan. Ia meraba dinding, mencari keseimbangan. Berjalan merambat sambil berpegangan pada dinding.
“Ayo, Han... jangan lemah. Kau harus bisa.... setahun saja, dan ini semua akan selesai.”
Wanita dengan berjalan ke kamar mandi dengan langkah terseret. Setelah selesai mencuci waslap dan membuang air kotor. Ia kembali ke sisi ranjang Brivan, duduk perlahan. Tangannya menggigil saat menuang air minum ke gelas, tapi ia paksa tetap terlihat tenang.
Suster Fira masuk ke kamar itu, setelah mengetuk beberapa kali. Wanita berseragam putih itu datang membawa suntikan pagi ketiga untuk Hania.
“Kau terlihat pucat, Nyonya. Apakah butuh vitamin tambahan?” Ia meletakkan nampan di nakas, sambil memperhatikan wajah Hania yang tampak lesu.
“Tidak,” jawab Hania pelan, datar.
“Saya hanya sedikit lelah.”
Fira mengangguk, lalu melakukan tugasnya. Suntikan di bawah kulit. Rasa perihnya mulai terasa membakar. Hania menggigit bibir hingga berdarah, tapi tidak mengeluh.
"Apa efeknya mulai terasa?" Fina menatap Hania dengan Iba, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Mereka berdua sama, mereka tawanan dari mansion megah itu. Hanya berbeda tanggung jawab saja.
Hania mengangguk kecil, malas sekali untuk membuka mulutnya. Fira tersenyum tipis, lalu mengusap bahu Hania pelan. Tak dada kata, hanya sentuhan kecil untuk sekedar mengingatkan Hania tidak sendiri.
"Jangan lupa memberikan obat Tuan Brivan, nanti."
"Iya, aku tidak akan lupa." Hania hanya menetap Brivan dengan tatapan lelah.
"Anda juga jangan lupa makan. Saya akan menyuruh pelayan untuk mengantarkan makanan kemari."
"Tidak usah, aku akan kedapur sendiri," tolak Hania.
"Baiklah kalau itu yang Anda mau."
Setelah mengatakan itu Fira pergi. Hania diam-diam masuk kamar mandi. Ia menatap wajahnya di cermin. Matanya sayu. Pucat. Ada lingkaran gelap sama dibawah matanya.
Tangan Hania menekan perutnya yang mulai terasa nyeri.
“Belum juga mulai hamil.Tapi tubuhku sudah disiksa seperti ini...” Helaan nafas berat ia hembuskan.
Tangannya gemetar saat membuka botol vitamin dan meneguknya. Ia menatap refleksi dirinya dengan getir. Kemarin Mario memberikan vitamin tambahan lagi, setelah melhat perubahan fisik Hania.
“Aku seperti bukan lagi manusia, Brivan.” Hania menggerakan tubuhnya, menoleh kebelakan. Melihat pemandangan dari jendela yang terbuka.
"Mereka memang sudah tidak lagi semena-mena. Aku juga makan dan tidur dengan baik, bahkan apa yang aku makan di sini lebih baik daripada di rumahku. Ya meski aku di sini hanya istri kontrak mu, tapi setidaknya aku mendapatkan perlakuan yang layak."
Sekarang keadaan Hania, lebih baik. Mereka memperlakukannya dengan baik, memberikan makanan yang bergizi dan tempat tidur yang nyaman. Meski dengan sikap dingi mereka, Hania bahkan nyaris tidk pernah berbiara dengan siapapun kecuali Fira. Itu pun tidak banyak, pembahasan mereka hanya sekedar obat dan keadaan Brivan yang tidak menunjukkan perkembangan sama sekali.
Hania memutar lagi duduknya, menatap Brivan dengan senyum hangat yang menutupi keruh hatinya.
"Baiklah Tuan suami, aku mau ke dapur untuk sarapan. Apa Anda mau ikut?"
"Ah .. maafkan istri muda mu ini, Tuan. Aku lupa, kau bahkan tidak bisa memakai celana sendiri. Bagaimana kau bisa ikut bersama ku." Hania terkekeh sendiri setelah mengucapkan itu.
Wanita itu bangkit dari kursi lalu mengusap lembut tangan Brivan.
"Aku pergi sebentar ya," bisiknya dengan lembut di telinga Brivan.
Senja mulai bergeser ke malam. Di luar, angin bertiup lembut menyapu jendela kamar Brivan. Di dalam, suasana masih sama—hening, kelabu, dan menyisakan luka yang tak kasat mata. Jam dinding menunjukan pukul delapan malam. Audy datang ke kamar Brivan. Ia berdiri di ambang pintu, memperhatikan Hania yang sudah tertidur di sofa yang ada di sebelah ranjang sang suami.
Brivan terbaring tenang. Dan di sampingnya, Hania... dalam tidur gelisah, tangannya masih menggenggam selimut pasien. Biasanya wanita itu duduk berjarak, tapi sekarang dia malah tidur, bersandar di samping suaminya.
Audy mengepalkan tangan. Di matanya mulai muncul rasa asing—campuran iri, benci, takut... dan terancam. Audy masuk. Langkahnya tenang, tapi mata itu tak pernah kehilangan bara. Pandangan mereka bersitatap sejenak—dingin, datar, tak perlu kata.
“Bangun!”
"Cepat keluar!" Ucap Audy singkat yang lebih terdengar seperti perintah.
Hania yang mendengar suara Audy sontak terbangun. Dengan masih setengah sadar, ia mengangguk, tanpa suara. Ia melangkah keluar, melewati wanita yang kini memiliki kuasa atas hidupnya.
Pintu tertutup.
Dan selama satu jam penuh, kamar itu menjadi tempat paling sunyi dalam mansion megah ini. Tak ada suara. Tak ada gerakan. Hanya detak mesin medis dan kehadiran dua manusia yang tak lengkap: satu yang terjaga tapi kehilangan segalanya, satu lagi yang tertidur dalam luka tak terucap.
Satu jam berlalu dan Nyonya pun Audy keluar. Langkahnya ringan, tapi ada jejak sembab di bawah matanya. Ia melewati Hania yang berdiri di balik koridor, menatap keheningan itu dengan hati dengan tatapan kosong.
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya