Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1 PENANTIAN CINTA HALAL
Aila Rusli, gadis remaja berhati lembut dan paras memesona, tumbuh dalam dekapan kasih dan keteladanan keluarga pesantren yang kental dengan nilai-nilai agama. Dibesarkan oleh Abah Hasan Ansori dan Umi Fatimah, sosok pengasuh sekaligus orang tua angkat yang penuh hikmah, Aila menjalani masa remajanya bersama dua kakak angkatnya, Bayu Langit yang bijak dan Abian Respati yang teduh namun menyimpan gejolak dalam diam.
Takdir mempermainkan rasa. Aila jatuh cinta pada Abian, putra bungsu Abah Hasan, cinta yang ia simpan rapat dalam doanya. Namun, hati Abah Hasan cukup peka menangkap perubahan gelagat di antara mereka. Hingga suatu hari, batas-batas yang dijaga akhirnya dilanggar, membuat langit keluarga pesantren itu mendung oleh amarah dan kecewa.
Untuk menjaga kemurnian niat dan nama baik keluarga, Abah Hasan mengambil keputusan berat: mengirim Abian ke Kairo, tanah ilmu dan harapan. Aila ditinggalkan tanpa kepastian, namun cintanya justru semakin menguat, tumbuh bersama rindu yang terus berdoa dalam sunyi.
Tahun-tahun berlalu. Abian kembali, membawa tekad untuk menunaikan janji suci: menikahi Aila. Namun di balik kesungguhan itu, Abian menyimpan rahasia besar yang tak pernah ia ungkap, bahkan kepada Abahnya sendiri. Rahasia yang bisa mengguncang fondasi cinta dan kepercayaan yang selama ini dibangun atas nama Allah.
Mampukah cinta yang tumbuh dalam lingkungan suci tetap terjaga oleh takwa? Ataukah rahasia yang terpendam akan menguji apakah cinta mereka benar-benar karena-Nya?
****
Angin malam menyusup celah-celah bilik kayu yang rapat. Dari kejauhan, samar terdengar suara santri tengah murajaah di mushala kecil, diiringi bunyi jangkrik yang bersahut-sahutan.
Malam semakin sunyi, saat Aila setengah terlelap, terdengar suara ketukan dari balik jendela.
Aila terbangun mendengar suara samar dari balik jendela kaca.
"Dek..bukain Mas pintu..." pinta Abian pada sang adik.
"Aila nggak berani Mas...takut Abah marah" bisik Aila sambil berbisik lewat jendela.
"Ya udah bukain jendelanya, mas masuk lewat jendela kamarmu saja,"
Ujar Abian mulai memberi ide gila.
"Ndak, saru to...lewat jendela" Aila menolak permintaan Abian.
"Ayo lah dek, mas udah digigiti nyamuk ini,"
Keluh Abian dengan suara mengiba.
Karena tak tega, Aila pun membukakan pintu,Mas Abinya.
Saat pintu terbuka. Aila menatap wajah Mas Abiannya yang berbeda.
Wajah yang sekilas tampak letih, dengan mata kemerahan. Meski hati kecilnya tak tenang, ia tetap membukakan pintu.
Ketika Aila hendak kembali ke kamar, Abian memanggil adiknya.
"Dek...Mas lapar" rengek Abian.
"Jam segini udah nggak ada apa-apa Mas. Salahnya pulang malam-malem. Mas Abi darimana sih?" omel Aila pada Masnya.
Abian tak menjawab omelan Aila. Dia malah meminta dibuatkan mi rebus.
"Buatin Mas mi rebus dek.." pinta Abian.
Aila menoleh, tanpa mengiyakan gadis itu ke dapur.
Dan sekarang, ia berdiri sendiri di dapur ndalem, memasak untuk seseorang yang baru saja pulang entah dari mana.
Di dapur ndalem, Aila masih setia memutar sendok kayu di atas panci kecil. Uap mi rebus mengepul, membungkus wajahnya yang lelah.
“Bismillah…” lirihnya, menuang mi ke dalam mangkuk gerabah. Tangannya dengan cekatan menata mangku di atas nampan.
Tak biasanya, ia memasak selarut ini.
Tapi malam ini berbeda. Mas Abi, anak bungsu Abah Yai Hasan, yang memintanya untuk dimasakkan mi rebus.
Aila tak punya kuasa untuk menolak. Suara Mas-nya yang mengiba, membuatnya tak tega.
Langkah pelan mendekat dari arah ruang tamu. Aila tak menoleh. Tapi telinganya peka. Ia tahu itu langkah Mas Abi-nya. Ada detak lain yang berdentam dalam dadanya. Tiba-tiba, sepasang lengan melingkari tubuhnya dari belakang.
“Mas Abi…! Astaghfirullah…!” pekiknya pelan, dadanya terguncang karena keget.
“Mas kangen, Dek… cuma itu.”
Tubuh Aila kaku. Ia mencoba melepaskan diri, dari pelukan Abian.
“Mas... kita bukan mahram. Jangan seperti ini. Ini ndalem kiai, Mas... tempat ilmu dan kehormatan.”
Tapi Abian tak melepaskan. Matanya buram. Nafasnya bau alkohol. Wajah Aila memucat.
Dengan sekuat tenaga, Aila menggigit tangan Abian. Aila pun terlepas. Dan saat tubuhnya terlepas, terdengar suara langkah cepat dan teriakan marah dari balik pintu dapur.
“Inna lillahi…! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan, Abian!?”
Abah Yai Hasan berdiri di ambang pintu bersama Umi Nyai Fatimah. Wajah mereka berubah pias. Aila langsung menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Ia berlari ke arah Umi, memeluknya erat.
Abah Hasan melangkah ke arah Abian, wajahnya tak lagi sekadar marah, tapi kecewa yang dalam. Ia mengangkat tongkatnya, hendak menghantam Abian. Namun tiba-tiba, Aila bergerak, melindungi tubuh Mas-nya.
“Jangan Bah! Jangan pukul Mas Abi!”
Plak!
Tongkat itu tetap mendarat, tapi bukan ke Abia, melainkan ke punggung Aila.
“Kenapa kamu halangi, dek…?” lirih Abian, menahan rasa bersalah.
Aila menahan sakit. Suaranya pelan tapi tulus. “Aila ndak mau Mas Abi terluka. Aila... sayang Mas.”
Kalimat itu menyesakkan. Abah Yai Hasan memejamkan matanya. Dunia ndalem yang damai, kini porak poranda oleh dua hati yang tak mampu menahan rasa di waktu yang belum halal.
Bayu Langit putra sulung Abah yang juga ustaz muda di pesantren itu, diam mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia tak mau ikut campur urusan adiknya. Bayu masuk, hanya menunduk dalam. Malam itu, semua doa seakan tertahan di langit-langit ndalem karena ulah putra bungsu Yai Hasan.
Di bilik belakang, Umi Fatimah mengobati punggung Aila. Dengar rasa sedih.
“Sayang itu boleh, Nduk. Tapi harus tahu tempatnya, waktunya. Cinta yang tumbuh sebelum halal, seringkali mencuri kehormatan kita sebagai wanita,” ucap Umi dengan lembut.
Aila hanya diam. Air matanya mengalir pelan. Ia tak bisa menjawab apakah perasaannya terhadap Mas Abi adalah cinta atau sekadar keterikatan sejak kecil.
Fatimah mengecup kening Aila.
“Tidurlah. Besok kita bicarakan lagi. Jangan takut, Umi di sini.”
Di ruang tengah, Abah Yai duduk dengan sorban di pangkuan. Matanya menatap Abian tajam.
“Besok pagi kamu keluar dari rumah ini, Bi. Pergi lanjutkan kuliahmu ke Kairo. Jangan kembali sebelum tamat. Dan kelak... jika kamu masih ingin menikahi Aila, kamu harus datang sebagai lelaki sejati, berilmu, beradab, dan siap menanggung segala akibat dari pilihan hatimu.”
Abian menunduk.
“InsyaAllah, Bah. Abi siap.”
Keesokan paginya, usai salat Dhuha dan zikir berjamaah, Abian pergi. Koper hitam ditarik pelan di halaman ndalem. Aila berdiri menatap, dengan mata sembab. Tangannya bergetar, tapi ia tidak menangis lagi.
“Mas pergi dulu, Ai. Tunggu Mas kembali sebagai lelaki yang pantas.”
Aila mengangguk. “Aila doakan Mas setiap malam, sampai Allah izinkan kita halal.”
Umi Fatimah memeluk Aila dari belakang.
“Wes, Nduk. Ndak usah terlalu banyak nangis. Doakan masmu, ndak usah ditangisi. Biarkan dia tumbuh jadi laki-laki yang bertanggung jawab, agar cintanya dibimbing oleh Allah, bukan karena dorongan nafsu setan.”
Aila tertegun, Aila takut kehilangan Mas Abiannya.
Angin pesantren bertiup pelan. Hanya suara daun jatuh dan isakan yang menyertai kepergian Abian. Dan langit, masih kelabu, seakan ikut menyimpan kisah cinta yang ditunda demi kehormatan.