Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nightmare
Cherry melihat kedua orang tuanya. Mereka berdiri berhadapan dan dirinya berdiri di jarak cukup jauh dari mereka, wajah mereka diliputi oleh bayangan sehingga ia tidak bisa melihat jelas wajah mereka. Keringat dingin membasahi pelipisnya saat merasakan suasana di antara mereka terasa mencekam, dipenuhi oleh ketegangan yang tak ia mengerti.
"Semua ini salahmu!" Suara ayahnya terdengar meninggi penuh amarah kala berbicara bersama ibunya. Jari telunjuk ayahnya menunjuk ibunya dengan tegas.
"Aku tidak akan hamil anak ini jika kau tidak melakukannya dengan ku. Jadi semua ini bukan hanya salahku," balas ibunya dengan suara yang tak kalah meninggi.
Ayahnya menggusar wajah frustasi. "Sudah aku bilang, kan? Setiap kali kita melakukannya kau harus minum obat, tapi kau tidak pernah mendengarkannya."
"Kenapa kau hanya menyalahkan aku? Aku sudah meminum obatku, tapi sperma mu tak bisa dicegah, dia membuahi rahim ku. Semua ini bukan salahku." Jari-jari ibunya bergetar, menahan luapan emosi yang tak berujung.
"Kau harus secepatnya bunuh anak itu!" perintah pria itu.
Cherry menyentuh dadanya. Ia tidak percaya ternyata kehadirannya di dunia ini benar-benar tak diinginkan oleh orang tuanya.
"Gugurkan kandungan mu secepatnya!" perintah pria itu lagi dengan suara yang semakin meninggi.
"Tidak semudah itu. Dia sudah menjadi bayi. Mungkin jika aku memakan racun dia akan mati."
"Kalau begitu makanlah segera! Apapun caranya anak itu tidak boleh hidup. Dia harus mati!"
"Aku juga ingin anak ini mati. Tunggulah sampai dia lahir maka kita bisa membunuhnya bersama-sama," ucap ibunya.
"Morgan!" teriak Cherry, terbangun dari mimpi buruknya. Gelap. Itulah yang pertama kali dirasakannya saat bangun dari tidur.
Di tengah keheningan dan sepinya kamar Cherry, gadis itu duduk dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia merasa lelah dan juga takut.
Mimpi buruk itu kembali menghantuinya. Tapi kali ini terasa lebih nyata dan menyakitkan dari sebelumnya. Orang tuanya selalu datang dalam mimpinya, tapi mereka selalu bertengkar karena dirinya.
Cherry menarik napas dalam mencoba untuk menenangkan diri. Toh, itu hanya mimpi belaka. Ia tidak pernah tahu bagaimana kebenaran tentang semua itu karena selama ini pun tak pernah bertemu dengan orang tuanya.
Namun rasanya tetap saja, hatinya masih sakit karena mimpi tadi.
Cherry merasa kesepian dan membutuhkan seseorang untuk memeluknya di saat seperti ini. Ia meraba-raba nakas kecil di samping tempat tidurnya mencari ponselnya. Pun ia mencoba untuk menghubungi Morgan.
Lama gadis itu terdiam menunggu Morgan mengangkat telepon darinya tapi hingga saat ini tak kunjung mendapatkan jawaban. Bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali Cherry menghubungi Morgan akan tetapi hasilnya masih tetap sama. Morgan tak mengangkat teleponnya.
Pada akhirnya Cherry menyerah dan meletakkan kembali ponselnya di nakas. Ia bersandar ke kepala ranjang, menatap ke luar jendela yang menampakkan hari semakin gelap.
"Sebenarnya ke mana Morgan pergi setiap malam minggu?" gumam Cherry menerka-nerka.
Cherry menghela napas, hembusan napasnya panas. Ia merasa lelah dan lemah, suhu tubuhnya pun terasa lebih panas, dan tenggorokannya terasa kering dan perih. Tidak salah lagi, dirinya pasti sakit.
Di tempat yang jauh dari rumahnya, Morgan kini duduk bersama teman-temannya di sebuah bar yang terkenal di kota ini. Tak ada yang sibuk dengan ponselnya, mereka menikmati malam ini dengan bersulang wine, dan berbagi cerita yang menghangatkan suasana.
Setiap pria pasti digelendoti oleh satu wanita penghibur, tak terkecuali Morgan.
"Morgan, apa malam ini kau akan mengundang ku ke rumah mu?" tanya wanita itu.
Morgan menahan tangannya yang hendak meneguk wine, menoleh pada wanita itu. "I don't know," jawabnya singkat. Pun ia meminum wine nya hingga tandas.
Sejujurnya, sejak tadi ia merasa tidak nyaman dan hatinya meras tidak tenang, perasaan aneh ini terasa sejak dirinya meninggalkan rumah, entah apa penyebabnya.
Meski berkumpul bersama teman-temannya, ada wanita penghibur, dan wine, tapi semua itu tak mampu menenangkan hatinya. Berkali-kali ia juga teringat pada Cherry di rumah.
Namun, dirinya yakin itu hanya perasaan sesaat. Tak lama lagi perasaannya akan kembali seperti biasanya.
"Apa Cherry tidak pernah bertanya ke mana kau pergi setiap malam minggu?" tanya Oscar, menatap mata Morgan yang tampak kosong.
"Tidak. Aku selalu meninggalkan dia setelah dia tidur, hari ini juga aku meninggalkannya setelah dia tidur," jawab Morgan.
Morgan merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi Cherry. Tapi di dalam sakunya kosong. Ia meraba saku jaket yang lainnya dan ponselnya tak ada di saku manapun.
"Di mana ponsel ku?" tanyanya, suaranya sedikit meninggi di tengah riuh rendah bar malam ini. Ia mencoba mencari di sekitarnya.
Teman-temannya yang sedang asyik mengobrol langsung menoleh. Mereka pun membantu, mulai mencari-cari di bawah meja, di sela-sela sofa, bahkan di balik bantal. Namun, tak ada satupun dari mereka yang menemukan ponsel Morgan.
Morgan diam mengingat-ingat. Ah, sekarang dirinya ingat beberapa waktu yang lalu dirinya pergi ke kamar mandi. Dengan langkah cepat Morgan meninggalkan meja dan menuju kamar mandi.
"Hah...." Morgan bernapas lega setelah menemukan ponselnya masih ada di wastafel. Ia diam bersandar sambil membuka ponselnya. Matanya terbelalak tatkala melihat deretan panggilan tak terjawab dari Cherry.
Gadis itu meninggalkan pesan suara. Morgan pun segera membukanya.
"Morgan, where are you? Hiks...."
Tak pikir panjang Morgan berlari tunggang langgang meninggalkan bar tanpa berpamitan pada teman-temannya. Teman-temannya hanya diam kebingungan melihat Morgan yang seakan panik dan buru-buru.
"Sial, pantas aku tidak tenang sejak tadi. Sesuatu pasti terjadi pada Cherry," gumam Morgan sembari memasuki mobil. Mobilnya pun melaju meninggalkan bar.
...----------------...
Setibanya di rumah, Morgan diam di depan pintu kamarnya, mencium bau tubuh dirinya yang terasa diselimuti oleh aroma wine dan rokok. Jika dirinya pergi menemui Cherry dalam keadaan seperti ini mungkin gadis itu tak akan suka.
Morgan memutuskan untuk masuk ke kamarnya lebih dulu dan membersihkan diri.
Tak begitu lama, kini Morgan berjalan gontai melalui tangga rumah menuju kamar Cherry. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamarnya. Ia langsung melihat Cherry yang tidur sambil duduk. Semakin ia lihat lebih jelas, wajahnya memerah penuh dengan keringat.
Morgan duduk di samping Cherry, mengamati wajahnya yang pucat. Telapak tangannya menyentuh kening gadis itu, panasnya terasa menyengat. Ia menarik kembali tangannya. Demamnya tinggi sekali.
"Sial!" Morgan memijat keningnya, merutuki dirinya yang bodoh.
Dalam tidurnya tiba-tiba napas Cherry memburu, tubuhnya bergeliat gelisah. Tak tega membangunkannya, tapi membiarkan dia tetap dalam mimpi buruknya pun bukan ide yang bagus, Morgan pelan-pelan membangunkan Cherry.
Cherry tersentak. "Morgan!" teriaknya.
"I'm here," ucap Morgan, saat itu juga membelai pipi Cherry.
Cherry menatap Morgan lama sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke pelukan pria itu. Gadis itu menangis dalam pelukan Morgan sambil memeluknya erat.
"Ke mana saja kamu?" tanyanya sambil terisak.
"Maafkan aku!" Morgan mengelus rambut Cherry, mencoba menenangkan gadis itu. Ia pun sesekali mengecup puncak kepalanya.
"Kamu sakit, Cherry."
"Iya, karena itulah aku memanggilmu."
"Maaf," lirih Morgan. Perlahan ia melepaskan pelukannya. "Kamu harus minum obat!"
Morgan beranjak dari duduknya, berjalan gontai ke luar kamar ini untuk mengambilkan obat. Kini ia kembali ke kamar sambil membawa obat dan segelas air putih.
"Minum ini biar cepat sembuh," tuturnya sembari menyerahkan obat pada Cherry.
Cherry menurut, meminumnya tanpa ragu, lalu dengan bantuan dari Morgan ia meminum airnya.
Morgan membantu merebahkan tubuh Cherry.
"Jangan pergi!" pinta Cherry menahan tangan Morgan.
"Tidak, aku akan di sini." Morgan merangkak naik ke sisi ranjang dan tidur di samping Cherry.
Ia menopang kepalanya, memerhatikan Cherry yang berbeda dari hari-hari biasanya. Malam ini tampak lesu nan letih karena sakit yang sedang dirasakannya.
"Kamu bermimpi buruk?" Morgan menyeka keringat di wajah Cherry dengan jari telunjuknya.
Cherry mengangguk lemah. "Sudah dua kali aku bermimpi tentang orang tua ku."
"Kamu merindukan mereka?"
"No," bantah Cherry tak buang-buang waktu. "Aku membenci mereka." Gadis itu langsung memeluk Morgan dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu.
"Bahkan dalam mimpi pun mereka berkata bahwa mereka tidak menginginkan aku, jadi kenapa aku harus merindukan mereka?"
Morgan mengelus punggung gadis itu. "Sekarang aku ada di sini. Kamu tidak akan bermimpi buruk lagi."
"Kamu habis dari mana?" tanya lagi Cherry, mendongak demi menatap wajah Morgan.
Morgan pun harus menunduk untuk bertatap mata bersama Cherry. "Hanya main bersama Oscar dan yang lainnya."
"Jangan berbohong!"
Morgan menggelengkan kepala. "Jika kamu tidak percaya, kamu bisa bertanya pada Oscar nanti."
Lama Cherry menatap Morgan tanpa seucap kata. Wajahnya sangat serius seakan otaknya sedang merencanakan sesuatu yang begitu penting.
"Morgan!" panggilnya.
"Hm?"
"Apa kamu mau berjanji padaku?"
"Berjanji apa?" tanya balik Morgan.
"Berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan membagi kasih sayangmu pada orang lain!"
"Aku berjanji," sahut Morgan cepat.
"Berjanjilah kalau aku satu-satunya wanita dalam hidup mu!"
Morgan mengangguk. "Aku berjanji."
"Jangan menikah!" peringat Cherry, tapi kali ini suaranya lebih pelan.
"Huh?" Morgan cukup terkejut, makanya matanya sedikit lebih lebar.
Cherry mencubit tangan Morgan dengan sisa tenaganya. "Tunggu aku dewasa lalu menikahlah bersama ku. Hanya aku yang boleh menjadi pengantin mu."
Morgan terkekeh. "Ini sudah malam. Sebaiknya kamu kembali tidur." Ia mendekap Cherry, memberinya kehangatan.
"Morgan!" panggil lagi Cherry.
"Ya?" Mata Morgan sudah terpejam.
"Do you love me?"
"Always."
"Look my eyes and say again!" pinta Cherry.
"What?" Morgan terpaksa membuka mata lagi dan menunduk.
"Katakan sambil melihat mataku bahwa kamu mencintaiku!"
"I love you," ucap Morgan sambil menatap mata Cherry.
"Lagi!" pinta Cherry.
"I love you."
"Sekali lagi," pinta Cherry. Ia mulai terkekeh.
"Iii llove yyou, Cherry Seraphine," ucap Morgan penuh penekanan sambil tersenyum lebar.
Cherry tertawa bahagia, begitu puas, pun ia memeluk Morgan erat.
"I love you to," balasnya dalam dekapan Morgan.
Morgan memejamkan matanya, menikmati kehangatan tubuh gadis yang menempel di dadanya. Detak jantung gadis itu terdengar nyaring, menenangkan hatinya.
Perlahan, Morgan melepaskan pelukannya, berusaha sehati-hati mungkin supaya tidak membangunkan Cherry. Lama ia terdiam menatapnya, jari-jarinya menyusuri wajah mulus Cherry.
Membelai setiap lekukannya dengan kelembutan. Dengan lembut Morgan mencium kening Cherry cukup lama, lalu berpindah ke pipi kiri dan kanannya yang dicium berulang kali saking sukanya ia pada dua pipi Cherry yang berisi tapi tidak membuatnya chubby.
Tak puas hanya pipinya, Morgan mencium kedua matanya, hidungnya, dagunya, tak terkecuali lehernya pun ia kecup, dan berakhir mencium dua tangan gadis itu.
Setelah puas, Morgan bangkit dari ranjang. Ia menatap kembali ke arah Cherry, sejenak merasa ragu untuk pergi. Namun, seseorang di bawah sana sudah menunggunya.
Ia tidak bisa memberi kehangatan pada satu wanita, sementara wanita lainnya kedinginan di luar rumahnya.
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲