Dalam tahap Revisi!!!
Menceritakan seorang gadis introvert dan sangat pemalu yaitu NAFISA ZAHRA FITRIANI. Ia terus merasa insecure dengan dirinya, dan selalu menganggap dirinya tidak pantas untuk siapapun. Namun hal itu berubah ketika seorang pria datang ke dalam hidupnya yang memberi banyak kisah cinta manis dalam hidup nafisa. Pria itu adalah orang yang ditolong nafisa saat ia mengalami kecelakaan mobil, pria itu jatuh hati pada nafisa saat pandangan pertama. dia adalah AZLAN SYARAHIL,seorang ustadz muda yang sangat tampan dan di kagumi semua orang. Ia merasa nafisa telah mengambil hatinya dengan kesederhanaannya yg tidak ia temukan pada wanita manapun.
"Cintamu menyempurnakan diriku"
_NAFISA ZAHRA FITRIANI
"Aku mencintaimu itu bukan tanpa alasan, tapi karena kesederhanaanmu yang tiada kutemukan pada orang selain dirimu "
_AZLAN SYARAHIL
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Sekarang Nafisa sudah berada di dalam kamar Ustadz Azlan.
“Wah, kamar Mas bagus ya, rapi lagi,” ucap Nafisa tertegun melihat kamar suaminya yang begitu rapi.
“Hehe, iya... Mas kan orangnya rapi, jadi kamar juga harus rapi,” jawab Ustadz Azlan dengan santai.
Nafisa tersenyum mendengar jawaban itu.
“Eh, Mas, barang-barang kita taruh di mana?”
“Di situ aja, Sayang, tapi jangan dikeluarin dari koper. Besok kita kan harus pergi lagi,” ucap Ustadz Azlan.
“Iya, Mas...” jawab Nafisa menurut.
Ustadz Azlan menarik tangan Nafisa, membawanya duduk di kasur.
“Kamu pasti capek banget, kan?” tanyanya sambil mengusap kepala Nafisa lembut.
“Nggak kok, Mas. Kalau Mas gimana? Capek ya?”
“Iya... Badan Mas pegal-pegal abis angkat barang tadi,” keluhnya sambil memutar bahu.
“Nafisa pijitin mau?” tawar Nafisa.
“Boleh,” jawab Ustadz Azlan sambil tersenyum kecil.
Nafisa pun berdiri dan mulai memijat bahu suaminya.“Wah, enak banget, Sayang. Pijitan kamu bikin badan Mas langsung enakan.”
“Padahal Nafisa nggak punya bakat mijit, loh, Mas,” sahut Nafisa sambil terkekeh.
“Tapi beneran, pijitan kamu enak banget,” jawab Ustadz Azlan menikmati sentuhan lembut Nafisa.
Setelah beberapa saat, Ustadz Azlan berhenti menikmati pijatan itu dan menarik Nafisa untuk duduk lagi. Namun, kali ini ia menarik Nafisa hingga jatuh di pangkuannya. Jarak mereka menjadi sangat dekat. Nafisa bisa melihat wajah tampan suaminya dengan jelas.
“Mas ganteng ya? Gitu banget liatnya,” goda Ustadz Azlan sambil terkekeh.
“Eh...” Nafisa salah tingkah, wajahnya merah padam, dan ia langsung memalingkan wajahnya.
Melihat itu, Ustadz Azlan tersenyum dan mengusap pipi istrinya.
“Istrinya Mas manis banget sih kalau lagi salting begini,” ucapnya sambil mencubit gemas pipi Nafisa.
“Apaan sih, Mas. Nafisa nggak salting,” jawab Nafisa dengan nada protes.
“Terus, kenapa pipinya merah gini?” goda Ustadz Azlan lagi.
Nafisa hanya menunduk, tidak tahu harus berkata apa.
Melihat wajah istrinya yang memerah, Ustadz Azlan mendekatkan wajahnya.
“Ma... Mas, mau ngapain?” tanya Nafisa gugup.
“Mau cium kamu,” jawab Ustadz Azlan dengan nada menggoda.
Nafisa spontan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Loh, kok ditutupin mulutnya? Tenang, Mas nggak akan cium yang situ. Mas cuma mau cium pipi kamu.”
Tanpa menunggu jawaban, Ustadz Azlan mengecup pipi Nafisa lembut. Nafisa hanya bisa menahan malu karena sudah salah paham.
“Sekarang kamu balas dong,” pinta Ustadz Azlan.
“Balas apa?” tanya Nafisa polos.
“Sayang, kamu gemesin banget sih. Ya cium Mas lah,” jawab Ustadz Azlan, masih gemas.
Dengan keberanian yang terkumpul, Nafisa mencium pipi kanan Ustadz Azlan.
“Yang ini belum,” kata Ustadz Azlan sambil menunjuk pipi kirinya.
“Mas... Nafisa malu...” keluh Nafisa.
“Ayo dong, Sayang. Masa nggak adil sih, pipi kanan dicium, yang kiri enggak.”
Nafisa menarik napas panjang, lalu dengan cepat mencium pipi kiri suaminya. Setelah itu, wajahnya langsung memerah seperti tomat. Melihat itu, Ustadz Azlan hanya tertawa kecil.
“Udah kan, Mas?” tanya Nafisa malu-malu.
“Yang ini belum,” jawab Ustadz Azlan sambil menunjuk bibirnya.
“Eh, Mas... Nafisa kebelet pipis. Nafisa ke kamar mandi dulu ya,” ucap Nafisa buru-buru bangkit dan lari ke kamar mandi.
Ustadz Azlan hanya tertawa melihat tingkah istrinya yang malu-malu.
Di dalam kamar mandi, Nafisa memegang dadanya yang berdegup kencang. “Aduh, Mas Azlan suka banget bikin aku begini. Kan aku jadi malu...” gumamnya.
Setelah menenangkan diri, Nafisa keluar dari kamar mandi. Namun, ia terkejut saat mendapati Ustadz Azlan berdiri tepat di depan pintu.
“Kamu ngomongin Mas, ya, di dalam?” tanya Ustadz Azlan sambil menaikkan alis.
“E... Enggak, Mas. Nafisa cuma pipis aja kok,” jawab Nafisa terbata-bata.
“Hehe, ya udah. Kamu nggak usah takut gitu. Ayo,” ucap Ustadz Azlan sambil menarik tangan istrinya kembali ke kasur.
“Ngapain, Mas?” tanya Nafisa bingung.
“Ayo bobo siang. Mas capek mau tidur.”
“Ya udah, kalau gitu Mas tidur aja. Nafisa mau ke bawah nyamperin Umi.”
“Eh, kamu di sini aja. Temanin Mas tidur,” ucap Ustadz Azlan sambil menarik Nafisa hingga jatuh ke pelukannya. Ia memeluk Nafisa erat sambil memejamkan mata.
“Mas...”
“Jangan gerak, Sayang. Mas nyaman kayak gini,” jawab Ustadz Azlan pelan.
Nafisa hanya bisa pasrah. Ia tersenyum melihat suaminya sudah terlelap. Dengan lembut, Nafisa mengusap kepala Ustadz Azlan.
“Kayak anak bayi aja kamu, Mas,” gumamnya sambil tersenyum sendiri.
“Mas denger loh,” ucap Ustadz Azlan tiba-tiba, membuat Nafisa langsung diam.
Ia pun akhirnya ikut memejamkan mata, menemani suaminya tidur siang.
🌻🌻🌻🌻
Setelah melaksanakan sholat Isya berjamaah, Nafisa dan Ustadz Azlan turun ke bawah untuk makan malam bersama Umi dan Abi.
“Nafisa, kamu harus makan yang banyak ya…” ucap Umi sambil mengambilkan nasi ke piring Nafisa.
“Iya, Umi. Biar Nafisa aja yang ambil nasinya,” balas Nafisa sopan.
“Enggak apa-apa, sayang. Umi aja,” jawab Umi sambil tersenyum.
“Ya sudah, kalau begitu, makasih ya, Umi. Nafisa ambilin nasi buat Mas Azlan aja, ya,” ucap Nafisa sambil mengambilkan nasi untuk suaminya.
“Ini, Mas,” lanjut Nafisa sambil menyerahkan piring nasi.
“Makasih, Sayang…” jawab Ustadz Azlan lembut.
“Iya, Mas,” balas Nafisa sambil tersenyum.
Mereka pun menikmati makan malam bersama dengan penuh kehangatan.
“Nak, besok kamu masih nginap di sini, kan?” tanya Abi.
“Kayaknya enggak, Bi. Alan mau bawa Nafisa ke rumah di Jakarta dan tinggal di sana,” jawab Ustadz Azlan sambil menatap Abi.
“Loh, kok cepat banget kamu perginya, Nak? Umi kan masih mau kamu sama Nafisa tinggal di sini,” ucap Umi dengan raut wajah sedih.
“Ya mau gimana lagi, Umi. Kerjaan Alan di Jakarta sudah menumpuk. Alan juga sudah seminggu enggak ke sana,” jawab Ustadz Azlan menjelaskan.
“Kamu tambah cuti dong, Lan. Umi masih pengen kamu sama Nafisa di sini,” pinta Umi dengan wajah memelas.
“Alan mau aja, Mi. Tapi kerjaan Alan udah banyak banget. Terus kasihan juga Rahman harus urus kantor sendirian. Tapi Alan janji sama Umi dan Abi, Alan bakal sering pulang ke sini untuk nengokin kalian,” ucap Ustadz Alan sambil menggenggam tangan Uminya.
“Mas, apa kita enggak tinggal sehari lagi di sini nemenin Umi sama Abi? Kasihan Umi,” usul Nafisa sambil menatap suaminya.
“Mas juga pengen, Sayang. Tapi kerjaan Mas sudah terlalu numpuk,” jawab Ustadz Azlan dengan nada berat.
“Ya sudah, kalau kamu memang harus pergi besok, tapi kamu harus tepatin janji kamu buat sering-sering main ke sini. Kalau enggak…” ucap Umi menggantung kalimatnya.
“Kalau enggak apa, Mi?” tanya Ustadz Azlan penasaran.
“Umi sama Abi yang bakal jemput kalian ke sana,” jawab Umi sambil tersenyum.
“Hahaha… iya, iya, Mi. Alan janji,” jawab Ustadz Azlan sambil tersenyum.
Esok paginya, Nafisa dan Ustadz Azlan sudah bersiap memasukkan barang-barang mereka ke dalam mobil.
“Umi, Abi, Alan sama Nafisa pamit dulu ya. Umi sama Abi jaga kesehatan di sini,” ucap Ustadz Azlan sambil memeluk Umi dan Abi, lalu mencium tangan mereka.
“Iya, Nak. Umi sama Abi bakalan jaga diri baik-baik di sini. Kalian juga harus jaga diri kalian baik-baik di sana,” pesan Umi dengan suara lembut.
“Iya, Mi,” jawab Ustadz Azlan.
“Umi, Abi, Nafisa pamit ya. Nafisa janji bakal sering nelpon Umi sama Abi biar enggak kesepian,” ucap Nafisa dengan wajah sedih.
“Iya, Sayang. Umi pasti bakal kangen banget sama kamu,” jawab Umi sambil memeluk Nafisa.
“Iya, Nak. Kamu jaga diri baik-baik ya di sana,” tambah Abi saat Nafisa menyalaminya.
“Dan kalian cepetan buatin cucu buat Umi sama Abi, ya. Umi sudah pengen banget gendong cucu,” ucap Umi sambil tersenyum menggoda.
Nafisa hanya bisa tersenyum malu dengan wajah yang sudah memerah.
“Kode, tuh, Sayang,” bisik Ustadz Azlan sambil menyenggol lengan Nafisa.
“Umi mau berapa? Nanti sepuluh cucu Alan bikinin,” ucap Ustadz Azlan yang langsung mendapat cubitan dari Nafisa.
“Masss!” ucap Nafisa kesal sambil mencubit perut suaminya.
“Aww! Aduh, sakit, Sayang,” keluh Ustadz Azlan pura-pura kesakitan.
“Ya, Mas sih,” ucap Nafisa masih kesal.
“Canda, Sayang…”
Melihat tingkah pasangan itu, Umi dan Abi tersenyum kecil.
“Ya sudah, kalau begitu, Alan sama Nafisa pamit dulu. Assalamualaikum,” ucap Ustadz Azlan dan Nafisa bersamaan.
“Waalaikumussalam, Nak,” jawab Umi dan Abi serempak sambil melambaikan tangan.
Mobil pun melaju, meninggalkan halaman rumah dengan doa dari kedua orang tua mereka yang tulus.