Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membuka Kenangan
Sepasang mata elang menatap pergerakan seorang wanita yang tengah lahap menikmati makaman di piring saat semua karyawan tengah bergelut dengan pekerjaan masing-masing. Sejenak pria itu masih menatap tajam pada satu objek yang menjadi bidikan, sebelum suara lantangnya menggema di ruangan tempatnya berdiri saat ini.
"Hei, apa yang sedang kau lakukan!."
Perempuan itu berjingkat, hingga tersedak makanan yang beberapa detik lalu masuk ke dalam mulut. Pekerja baru bernama Ruby itu berbalik badan, spontan wajahnya memucat menemukan tubuh sang Manager yang sudah berdiri tegap di tengah pintu dengan pandangan begitu mengintimidasi.
"Ma-maafkan sa-saya, Tu-tuan." Ruby berdiri dengan tubuh gemetar. Wajahnya tertunduk dalam. Perempuan itu ketakutan. Karyawan lain yang juga berada di dapur termasuk Mario pun terkesiap. Mulut pria itu bahkan menganga. Tak mengira jika Ruby akan tertangkap basah oleh Wira.
Mario pun setengah berlari menghampiri Ruby yang berdiri gemetar menahan ketakutan. Ia bersiap pasang badan. Lagi pula Ruby makan pun atas perintahnya.
"Tuan, sebentar. Ruby tidak bersalah, sayalah yang menyuruhnya untuk makan. Jadi kalaupun dihukum, maka sayalah yang akan menanggung hukuman." Posisi tubuh Mario kini berada satu jengkal di depan Ruby. Rupanya Mario berusaha melindungi Ruby dari kemarahan Wira.
Wira mengernyit, menatap pada Mario kemudian beralih pada piring bekas makan Ruby yang masih menyisakan separuh isi.
"Kalian berdua, ikut ke ruanganku sekarang!."
💗💗💗💗💗
Di dalam ruang Manager, Mario dan Ruby berdiri tepat di hadapan meja kerja Wira. Mario yang berdiri satu langkah di depan Ruby, sempat menatap sang gadis kemudian menganggukan kepala samar. Mengisyaratkan jika Ruby tak perlu mengkhawatirkan apa pun selama dari dirinya.
Mario melakukan semuanya tanpa ada maksud apa pun. Semua berjalan sesuai naluri. Sebagai seorang suami yang juga memiliki istri yang tengah mengandung, tentu Mario tahu benar seberapa susahnya bekerja dengan perut besar yang membatasi aktifitasnya. Belum lagi rasa lelah yang mendera. Ruby tergolong wanita kuat diantara para wanita hamil lainnya yang memilih tak bekerja demi kebaikan calon buah hatinya hingga terlahir ke dunia.
"Mario, sebagai koki yang ditunjuk langsung oleh pemilik resto, kau pasti tau peraturan-peraturan yang harus dipatuhi juga ditetapkan di tempat ini."
"Iya, Tuan. Saya faham."
"Lantas kenapa kau biarkan pekerja baru ini melsnggar peraturan yang ada. Saya tidak melarang kalian untuk makan, tetapi bukankah kami sudah memberikan waktu yang cukup sebelum kalian melanjutkan untuk kembali bekerja?."
Mario tertunduk. Benar. Karna membludaknya pengunjung di hari pertama selepas akhir pekan, ia bahkan mengabaikan jam makan siang yang sebenarnya pekerjaannya bisa saja digantikan oleh koki lain selama dirinya menghabiskan makan. Akan tetapi saat ia serius memberi arahan pada Ruby, pria itu justru keasikan hingga tanpa sadar jam makan siang sudah terlrwatkan.
"Maaf, Tuan." Hanya dua kata tersebut yang mampu diucap Mario.
Wira terlihat menghela nafas. Menerima Ruby bekerja adalah keputusan yang sudah ia ambil, padahal pria itu tau jika perusahan memiliki kebijakan khusus untuk tidak menerima wanita hamil yang ingin melamar kerja, dan dengan menerima Ruby, Wira pun sebenarnya sudah menyalahi aturan yang ada.
"Aku tidak ingin mendengar ada lagi kesalahan yang kalian lakukan pada saat jam kerja. Dan khusus untuk Ruby, aku ingin kau tidak main-main untuk bekerja di tempat ini. Meski kondisimu hamil, statusmu sama rata dengan karyawan lain. Tidak ada pengistimewaan atau keringanan. Kalian faham!."
"Faham," jawab Ruby dan Mario bersamaan.
"Baiklah, keluar dari ruanganku dan kembalilah bekerja," titah Wira yang mana membuat kedua insan itu membungkukan badan dan lekas menghilang dari pandangan Wira.
💗💗💗💗💗
Semburat jingga setengah terbenam ditelan malam. Selepas jam kerja berakhir, Ruby mendatangi sebuah mushola khusus karyawan yang berada di samping tempat kerjanya. Sembari menunggu Kiran, Ruby menyempatkan diri untuk beribadan. Menyapa sang pemilik hidup juga bersimpuh memohon ampun.
Ruby membasuh wajah lelahnya dengan air yang terasa sejuk begitu menyentuh kulit tubuh. Beberapa karyawan tampak sudah selesai beribadah saat Ruby memasuki bangunan dengan cat dinding yang didominasi warna putih tersebut. Ruby kini seorang diri. Bertemankan sunyi, Ruby bersujud di hadapan sang ilahi, berpasrah diri.
Di atas sajadah, Ruby meangkupkan kedua tamgan. Dengan mata terpejam ia merapalkan doa-doa dan meminta pengampunan. Bulir bening menitik, ia usap perut buncit seraya membaca surah untuk bayi dalam kandungannya.
Ruby terpekur. Ia masih tak berniat untuk meninggalkan mushola selepas selesai beribadah. Di tempat seperti inilah dirinya merasakan ketenangan yang sesunghuhnya. Melupakan sejenak beban hidup yang menggunung, yang nyaris melenyapkan kewarasan mentalnya.
Di sudut lain, seorang pria baru saja memasuki mushola. Pria berbadan tegap dengan rambut setengah basah oleh air wudhu itu mengisi shaf terdepan. Ia mulai melakukan gerakan sholat seorang diri, mengingat tak ada pria lain yang mengisi tempat tersebut.
Ruby mulai mengayunkan langkah, keluar dari tempat ibadah. Belum mendapati Kiran keluar dari tempat kerja, membuat gadis itu kembali menjatuhkan bobot tubuh di lantai serambi mushola. Udara dingin mulai menyapa tubuh. Ruby terhanyut dalam kesunyian. Di serambi mushola ia kembali terpekur. Pandangannya menerawang, mengingat ujian yang bertubi-tubi datang menghampiri.
Ruby bersandar pada pilar penyangga bangunan. Ia menopangkan tubuh lelahnya dengan kaki tertekuk. Suasana hening yang berlarut membuat naluri gadis itu terdorong. Amat pelan Ruby membuka tas kerja yang mana di dalamnya berisi barang berharga miliknya termasuk sebuah ponsel yang selama berbulan-bulan ini bahkan nyaris tak pernah digunakan olehnya. Ia hanya akan mengisi daya batrai, itu pun terhitung dua minggu sekali ia lakukan.
Ragu, Ruby menyentuh benda pipih yang layarnya masih terlihat gelap. Gadis itu menghela nafas dalam sebelum menyentuh sebuah tombol yang berfungsi untuk menghidupkan benda tersebut.
Ponsel adalah satu-satunya benda ia bawa dari kediaman Sean. Ia hanya membuang kartunya namun tak ingin membuang benda berharga yang menyimpan memiliki banyak kenangan tentang masa lalunya dengan Sean. Sampai detik ini pun Ruby tak pernah membenci Sean. Gadis itu sadar, Sean hanyalah tumbal dari ambisi sang ibu yang gila kehormatan.
Ruby menekan salah satu aplikasi di mana tersimpan begitu banyak momen kebersamaannya bersama Sean yang sempat diabadikan. Sepasang mata bening itu berkaca-kaca saat sadar jika tak ada satu foto dirinya dan Sean pun yang terhapus dalam benda pintar tersebut.
Gadis cantik yang masih terisak itu masih bisa mengingat sebahagia apa dirinya saat hidup bersama Sean dulu. Sean yang penyanyang dan lembut, nyatanya mampu membuatnya nyaman serta terlindungi dari sifat semena-mena sang ibu mertua. Namun rupanya, itu semua tidak berlangsung lama. Ruby menyeka bulir bening yang sudah mengalir di sudut mata, hingga tanpa sadar seseorang pria yang berdiri di ambang pintu mushola sedang memperhatikannya.
Apa ada dengannya?.
Sang pria pun berjalan pelan. Meninggalkan mushola juga seorang perempuan yang sedang menangis dalam kesenyapan.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya