Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sampai jumpa rumah
Malam semakin hening.
Lampu di ruang tamu sengaja dimatikan, hanya cahaya remang dari dapur yang sedikit menerangi ruangan itu.
Syahnaz berjalan pelan, langkahnya dibuat sehalus mungkin, berusaha tak menimbulkan suara di lantai kayu yang berderit ringan.
“Ngapain Darren duduk sendirian di situ, gelap-gelap begini?” gumamnya dalam hati, bibirnya menyunggingkan senyum geli.
Ia menahan tawa kecil, lalu mulai mendekat dari belakang, siap untuk mengagetkan sepupunya itu.
Tapi sebelum sempat ia bersuara—
“Ketahuan. Nggak ada bakat ngagetin orang, lu,” suara Darren terdengar santai tanpa menoleh, masih sibuk dengan ponsel di tangannya.
“Ihhh, Darren! Nggak seru banget, pura-pura kaget kek, biar aku seneng dikit,” protes Syahnaz sambil manyun lalu duduk di sebelahnya.
“Nggak ah, males,” jawab Darren pendek, matanya tetap fokus pada layar HP.
Syahnaz melirik penasaran. “Ngapain sih kamu dari tadi? Main game?”
Ia mencoba mengintip layar, tapi Darren dengan cepat menjauhkan HP-nya.
“Ihh, pelit banget sih kamu Ren!” ucapnya kesal sambil memelototkan mata.
Darren menahan tawa, pura-pura tetap tenang.
“Orang lagi cari pacar,” ujarnya santai, seolah kalimat itu hal biasa saja.
“Hah? Nyari pacar?!” seru Syahnaz kaget, matanya membesar.
“Iya lah. Lagi milih-milih yang cocok buat gue,” balas Darren datar sambil menggulir layar HP-nya.
Syahnaz melipat tangan di dada. “Idih… emang ada yang mau sama kamu?”
“Ya ada lah. Gue kan ganteng,” jawab Darren sambil nyengir tipis.
“Ganteng katanya…” Syahnaz menirukan nada sombongnya sambil pura-pura jijik.
“Terus, cewek-ceweknya cantik semua?” tanyanya lagi dengan nada penasaran yang sulit disembunyikan.
“Cantik lah. Ya kali dikasih pilihan yang jelek,” ucap Darren santai.
“Mana, liat dong,” ucap Syahnaz mendekat, tapi HP itu lagi-lagi dijauhkan dari wajahnya.
“Gimana aku mau percaya kalo kamu beneran pilih yang cantik, kalau nggak nunjukin ke aku? Bisa aja yang kamu bilang cantik itu cuma di mata kamu doang,” ujarnya sambil menatap Darren menantang.
Darren menghela napas, lalu menyerah. “Yaudah, nih liat. Beneran cantik, kan?”
Ia memutar HP-nya ke arah Syahnaz.
Syahnaz menatap layar itu beberapa detik, lalu berujar, “Hmm… lumayan, hidungnya bagus.”
Suaranya datar, tapi matanya menunjukkan sesuatu yang sulit diartikan — mungkin sedikit gengsi.
Lalu tiba-tiba ia menatap Darren dengan alis terangkat.
“Cantikan mana, sama aku?”
Pertanyaan itu membuat Darren refleks menatapnya.
Beberapa detik, ia hanya diam.
Matanya beralih dari wajah Syahnaz ke layar HP, lalu kembali lagi ke wajah gadis itu — berulang kali.
Ia tampak bingung.
Dalam hati, Darren sebenarnya tahu jawabannya—jelas dan tak perlu diperdebatkan lagi.
Syahnaz memiliki pesona yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lesung pipinya muncul setiap kali ia tersenyum, hidungnya mancung, bulu matanya lentik alami tanpa perlu sentuhan maskara, kulitnya putih kemerahan, dan alisnya melengkung sempurna bak busur panah yang digores tangan seniman. Sorot matanya teduh, tapi menyimpan ketajaman yang membuat siapa pun sulit berpaling.
Kecantikannya bukan hanya ala Timur Tengah—lebih dari itu. Ada sesuatu dalam diri Syahnaz yang membuatnya terlihat manis, hangat, dan berkarisma sekaligus. Wajahnya seperti menyimpan kehangatan dan kekuatan yang sama besar.
Namun, ya… gengsi tetap gengsi.
Kalau Darren mengakui bahwa Syahnaz lebih cantik dari gadis di layar ponselnya, tamatlah sudah harga dirinya malam itu.
“Gimana, Ren?” tanya Syahnaz lagi sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Nggak tau ah, males jawab. Ntar kalo gue bilang cewek di HP gue cantik, lu ngambek. Udah sana, tidur. Biar nggak kesiangan besok,” ucap Darren cepat, pura-pura cuek tapi jelas sedang kabur dari situasi.
Syahnaz menghela napas dan berdiri. “Yaelah, Darren… yaudah deh, aku tidur. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Darren pelan.
Begitu gadis itu masuk ke kamar, senyum tipis muncul di wajahnya.
Ia menghembuskan napas lega, tapi entah kenapa — dadanya terasa hangat.
“Dasar bocil bawel,” gumamnya, tapi senyumnya malah makin lebar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan paginya, sekitar pukul 06.30 WIB, Syahnaz bersiap berangkat ke Bandara Cilik Riwut. Ia diantar oleh Ikrimah, Laila, Tante Nur, dan Darren—yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Ummi, Syahnaz berangkat ya, Ummi?” ucapnya lembut sambil menyalami tangan Ikrimah.
Ikrimah menahan air matanya yang hampir jatuh. Suaranya bergetar ketika berkata, “Ini… sedikit data yang Ummi punya tentang Reyhan. Cuma itu yang Ummi bisa kasih.” Ia menyeka sudut matanya dengan ujung kerudung.
“Iya, Ummi. Makasih,” jawab Syahnaz dengan senyum tipis, menahan haru.
“Ummi jangan nangis, ya. Syahnaz pasti kembali, kok… dengan membawa kabar gembira,” ucapnya menenangkan, tersenyum meski matanya mulai berair.
Ikrimah membelai pipinya pelan. “Hmm… anak Ummi yang hebat,” ucapnya lembut penuh kasih.
“Kalo gitu, Syahnaz masuk dulu ya, Ummi. Assalamu’alaikum,” katanya sambil melangkah mundur.
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak.
Saat Syahnaz mulai berjalan di lorong menuju ruang keberangkatan, Darren yang sedari tadi diam akhirnya tak tahan lagi. Ia berlari kecil sambil memanggil, “Syahnaz!!!”
Gadis itu berhenti dan menoleh. Darren datang dengan napas terengah, wajahnya agak merah karena tergesa.
“Ini… ada beberapa juta buat kamu di sana. Ya, walaupun nggak banyak, tapi cukup lah buat sebulan pertama di Jakarta,” ucapnya, menyerahkan amplop cokelat kecil.
“Ya Allah… Darren? Ini…,” ucap Syahnaz terkejut, matanya berkaca-kaca.
“Udah, nggak usah kaget gitu. Cepetan masuk sana,” ucap Darren dengan nada cuek, tapi jelas terselip rasa peduli di balik suaranya.
“Enggak, Ren… ini nggak usah, aku—” ucap Syahnaz, hendak mengembalikan amplop itu, tapi Darren cepat menarik tangannya menjauh.
“Nggak. Nggak ada kata nolak. Udah, cepet masuk! Dan jangan pake acara nangis-nangis kayak gitu, nggak ada…” katanya cepat, mencoba menyembunyikan kegugupannya sambil mendorong bahu Syahnaz pelan.
“Cepetan masuk… ayo!” ucapnya lagi, setengah menahan perasaan.
“Hm… makasih, Darren,” ucap Syahnaz lirih, menatapnya dengan mata yang mulai basah.
“Iya, udah. Cepetan. Kalo udah nyampe Jakarta… kabarin gue,” katanya sebelum berbalik dan berlari pergi—menyembunyikan senyum kecil yang tak sempat Syahnaz lihat.
...Di dalam pesawat, Syahnaz duduk di dekat jendela, menatap ke luar dengan mata berbinar. Awan-awan putih berarak lembut di bawah sana, menyelimuti hamparan pegunungan yang menjulang megah....
“Maa syaa Allaah… indah sekali pegunungannya, yaa Rabb,” ucapnya lirih, kagum akan ciptaan Allah. Bibirnya tersenyum lembut. “Semoga suatu hari nanti Syahnaz bisa mendaki gunung… biar bisa tafakkur alam, melihat kebesaran-Mu lebih dekat,” lanjutnya dalam hati.
Pesawat terus melaju di langit biru, hingga Syahnaz teringat pada sesuatu. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan amplop cokelat pemberian Darren. Perlahan, ia membukanya—dan matanya langsung membulat.
“Maa syaa Allaah… ini… lima juta?” gumamnya pelan, hampir tak percaya. “Bukan cuma cukup buat sebulan… ini bahkan lebih dari cukup.”
Tangannya meremas lembut amplop itu, sementara senyum haru muncul di wajahnya. “Darren… astaghfirullaah, baik banget dia. Padahal tadi pura-pura cuek,” ucapnya dalam hati, menahan air mata yang hampir menetes.
Beberapa menit kemudian, suara pramugari terdengar lembut dari pengeras suara, menandakan pesawat akan segera mendarat.
Syahnaz menatap kembali jendela, melihat daratan luas di bawah sana.
“Bismillaah… Jakarta, Syahnaz datang,” ucapnya pelan dengan senyum penuh semangat.
Tak lama, pesawat pun mendarat dengan lembut di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.