Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 - Nyaris Sempurna
Tyler
Kelas praktik penyutradaraan hari ini adalah yang terakhir sebelum kunjungan Thomas minggu depan. Studio terasa lebih hidup dari biasanya. Mungkin karena rumor kedatangannya sudah menyebar ke seluruh jurusan. Semua orang ingin menampilkan karya terbaik mereka di hadapan sosok legendaris itu.
Seperti biasa, satu per satu kelompok memutar potongan video dari film pendek mereka dari sepuluh menit karya yang menjadi tugas akhir semester. Aku duduk di kursi depan, mencatat setiap detail.
Hal yang sama terus berulang, video diputar, aku memberi catatan. Beberapa di antaranya berantakan seperti pencahayaan yang salah, blocking aktor yang kaku, atau dialog yang dipaksakan. Tapi beberapa lainnya memiliki percikan kecil, kilatan emosi yang nyata.
Dan tentu saja, salah satunya milik Victoria Sinclair.
Vee.
Aku tidak pernah menyebut namanya keras-keras di kelas, tapi pikiranku selalu melakukannya.
Filmnya sederhana, tapi efektif. Cara ia mengarahkan aktor, cara kamera bergerak dari satu titik emosi ke titik berikutnya, seolah setiap frame sudah ia rencanakan dengan hati-hati. Setiap transisi terasa organik, seimbang antara keindahan dan kepedihan.
Dia tahu apa yang ia lakukan. Itu yang membuatnya berbeda.
Dan seisi kelas tahu itu juga. Mereka memperhatikannya dengan campuran kagum dan iri. Hanya Derek Vaughn yang masih mencoba mengklaim keberhasilan itu untuk dirinya sendiri, seolah semua itu berkat akting brilliantnya. Tapi semua orang tahu, bahkan tanpa perlu bicara, siapa yang sebenarnya mengatur semuanya agar tampak begitu hidup.
Ketika video berakhir, ruangan hening sejenak. Aku mengetuk pena di atas meja. “Bagus,” kataku akhirnya. “Ritmenya tepat. Penggunaan cahaya juga menarik. Tapi hati-hati dengan pacing di bagian tengah, ada beberapa adegan terasa terlalu lama. Sisanya… sudah sangat baik.”
Vee menatap ke arahku, bibirnya terangkat samar, tapi ia menunduk cepat sebelum aku bisa membalas tatapannya.
Setelah kelompok terakhir selesai, aku menutup buku catatan dan berdiri di depan kelas.
“Baiklah, sebelum kita akhiri sesi hari ini, ada satu pengumuman penting.”
Semua mata langsung tertuju padaku.
“Professor Hunt akan berkunjung ke kelas ini minggu depan.”
Beberapa mahasiswa spontan bersorak kecil, sebagian lagi saling berpandangan gugup.
“Saya tahu masih ada dua minggu sebelum deadline final,” lanjutku, “tapi jika kalian ingin menampilkan keseluruhan film pendek kalian kepada beliau, saya persilakan. Tapi saya ingatkan satu hal, jangan tampilkan versi amatir. Jangan membuat saya, apalagi beliau, menonton hasil yang belum siap. Berikan yang terbaik.”
Ruangan mendadak riuh, gumaman antusias bercampur panik. Di antara mereka, mataku tanpa sadar mencari sosok tertentu.
Dan di barisan tengah, aku menemukannya.
Vee menatapku dengan mata terbelalak, mulutnya sedikit terbuka, seolah baru saja mendengar sesuatu yang selama ini hanya berani ia impikan.
Aku bisa melihat bagaimana ia menahan senyum, matanya memantulkan cahaya seperti seseorang yang baru saja diberi kesempatan hidup yang tak terduga.
Dan entah kenapa, di saat semua orang berbicara tentang Thomas Hunt, aku justru berpikir tentang dia.
Tentang bagaimana pertemuan itu nanti akan mengubah sesuatu.
Bukan hanya untuknya, tapi juga untukku.
\~\~\~
Vee
“OH. MY. GOD,” kataku dengan napas tersengal begitu keluar dari kelas Tyler. “Kita harus reshoot beberapa adegan. Terutama bagian tengah, yang katanya masih terasa kaku. Lalu editing—ya Tuhan, editing! Penelope dan aku akan begadang seminggu penuh. Kita harus—”
“Vee, tenang dulu.” Liam menepuk bahuku lembut. “Bernapas. Lihat aku. Bernapas.”
“Tidak perlu reshoot,” sela Derek santai, menyandarkan punggung ke dinding. “Film itu sudah sempurna. Terutama aktingku. Kau harusnya berterima kasih karena aku membuat karaktermu hidup.”
Penelope mendengus. “Hidup? Derek, separuh adeganmu bahkan tidak bisa kami pakai karena kau lupa dialog atau menatap kamera.”
“Itu bukan salahku,” Derek membela diri cepat. “Sutradaranya terlalu perfeksionis. Kadang hal yang spontan jauh lebih—”
“Diam, kalian berdua,” potongku tajam. “Kita akan reshoot adegan minggu ini. Tidak ada keluhan, tidak ada alasan. Liam, Derek—pelajari ulang scene 18 sampai 25. Gunakan kostum yang sama, jangan sampai continuity-nya kacau.”
Keduanya saling pandang, tapi akhirnya mengangguk patuh.
Aku beralih ke Penelope. “Dan Pen, semoga kau tidak punya tugas besar minggu ini, karena kita akan mengedit video itu bersama.”
Penelope mengangkat alis, separuh pasrah. “Sepertinya aku baru saja kehilangan waktu tidurku selama seminggu.”
“Anggap saja latihan jadi editor profesional,” kataku, mencoba tersenyum. “Kita harus siap sebelum Professor Hunt datang minggu depan.”
Liam menepuk bahuku lagi, kali ini dengan nada tenang tapi meyakinkan. “Kau akan baik-baik saja, Vee. Film itu sudah bagus. Serius.”
“Bagus tidak cukup,” jawabku pelan. “Kali ini, harus sempurna.”
Aku menatap naskah di tanganku, jari-jariku mengepal tanpa sadar.
Dalam pikiranku, wajah Tyler terlintas, cara ia memandangi setiap adegan dengan tatapan analitis, tajam, tapi penuh pengertian.
Dan di atas semua itu, bayangan Professor Hunt muncul di benakku: sosok yang selama ini hanya kulihat lewat layar.
Minggu depan, aku akan menampilkan karyaku di hadapannya.
Idolaku. Alasanku kuliah di sini.
Aku menatap langit sore dari jendela koridor.
Waktuku tinggal tujuh hari.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, rasa gugup itu bercampur dengan sesuatu yang lain, rasa takut kehilangan kendali atas hal yang lebih dalam dari sekadar proyek film.
\~\~\~
Tujuh hari.
Waktu yang sebenarnya panjang, tapi terasa cepat ketika kau memiliki ribuan hal yang harus dilakukan. Dalam tujuh hari itu, aku makan dengan terburu-buru, tidur dengan mata masih terbuka, dan hidup di antara tumpukan naskah serta kopi dingin.
Derek kini mungkin benar-benar membenciku.
Setelah aku memintanya mengulang adegan yang sama sampai puluhan kali, bahkan Liam mulai menatapku dengan tatapan iba setiap kali aku berkata “sekali lagi.”
Setengah dari hasilnya sebenarnya sudah bagus, tapi aku belum mendapatkan rasa itu, frustrasi yang dalam, kekecewaan, yang kuinginkan dari Derek.
Liam, yang perannya sudah nyaris sempurna, harus tetap hadir di setiap pengambilan ulang karena dia ada di adegan yang sama.
Aku berdiri di belakang kamera, mengatur fokus.
“Hey, Dere,” panggilku.
“Apa lagi kali ini, Vee?” suaranya berat, nyaris putus asa.
“Coba bawa rasa frustasimu padaku. Bayangkan betapa kau membenciku sekarang. Tarik lebih dalam... dan, action!”
Derek menatapku tajam selama beberapa detik—dan entah bagaimana, sesuatu berubah di matanya. Ia berbalik pada Liam, menarik kerah bajunya dengan geram.
“Aku tidak percaya apa yang baru saja kau lakukan, William!” suaranya menggema di ruangan, tajam, mentah, dan untuk pertama kalinya, terasa nyata.
Aku membiarkan adegan itu berjalan beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Cut.”
Keduanya menghembuskan napas bersamaan, seperti baru keluar dari pertempuran.
“Semoga adegan tadi lolos kriteriamu, Vee,” kata Liam sambil tertawa kecil. “Aku kehabisan napas waktu Derek menarik kerahku.”
Aku menatap layar monitor. Senyum muncul begitu saja.
“That. Was. Perfect.”
Mereka saling pandang, dan untuk pertama kalinya sejak seminggu terakhir, Derek tidak berdebat. Ia hanya mengangkat tangannya dalam gerakan menyerah.
Reshoot selesai.
Tinggal bagian Penelope dan aku yang harus menyelamatkan dunia ini dari kekacauan footage.
Dua hari penuh kami mengedit, tanpa tidur cukup, dengan tumpukan file yang terus bertambah. Saat akhirnya Penelope menatap layar, rambutnya berantakan dan matanya memerah, ia hanya menghela napas panjang.
“Menurutku ini sudah sempurna, Vee. Kau boleh lanjutkan sesukamu. Aku menyerah.”
Aku menatapnya, separuh tersenyum. “Terima kasih, Pen. Aku hanya perlu sedikit waktu lagi.”
Begitu dia pergi, aku duduk sendirian di ruang editing perpustakaan. Lampu meja redup, layar laptop memantulkan bayangan wajahku yang lelah tapi puas.
Tanganku bergerak otomatis, memotong, menyesuaikan ritme, memperpanjang satu detik di sana, menahan napas di sini.
Sedikit lagi. Sedikit lagi sempurna.
Lalu akhirnya… itu dia.
Frame terakhir berganti ke layar hitam, dan namaku muncul di pojok bawah: Directed by Victoria Sinclair.
Aku menatapnya lama. Rasanya seperti melihat bagian dari diriku sendiri yang akhirnya menemukan tempatnya.
Malam itu, aku tertidur di meja perpustakaan, kepala bersandar di atas tumpukan catatan, jari masih menggenggam mouse.
Aku tidak peduli.
Aku puas.
Dan sebelum mataku benar-benar terpejam, satu pikiran terakhir melintas,
Semoga aku bisa membuatnya bangga.
\~\~\~