di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 9
Di Dalam Aula Istana
Musik kembali mengalun lembut, para bangsawan berdansa di bawah cahaya lampu kristal yang berkilau. Percakapan ringan dan tawa palsu mengisi udara, namun beberapa pasang mata masih diam-diam memperhatikan sosok pria bertopeng perak yang kini berjalan di antara mereka.
Valerian mengambil satu gelas anggur merah dari meja prasmanan. Ia tidak langsung meneguknya — hanya menggulirkan gelas itu perlahan di antara jarinya, menatap warna cairan yang berkilau merah seperti darah di bawah cahaya lilin.
Di sebelahnya, piring-piring berisi makanan mewah tersaji: daging panggang, roti madu, hingga buah-buahan segar dari benua seberang. Valerian mengambil sepotong kecil roti, mencicipinya perlahan. Meski mulutnya makan, matanya tetap awas — memperhatikan setiap sudut ruangan, setiap pergerakan.
Kebiasaan seorang pembunuh tak pernah hilang.
“Menikmati pesta sendirian, Tuan bertopeng?”
Sebuah suara berat namun ramah terdengar dari belakangnya. Valerian menoleh, mendapati seorang pria berusia empat puluhan dengan pakaian bangsawan berwarna merah marun mendekatinya. Rambutnya disisir rapi, dan di dadanya tersemat lambang keluarga Count Ervane, salah satu bangsawan tua yang berpengaruh di kerajaan.
Count Ervane tersenyum ramah, membawa dua gelas anggur dan menawarkan salah satunya.
“Anda membuat pesta ini jauh lebih menarik, tahu kah?” katanya, nada suaranya setengah bergurau. “Tidak banyak orang berani berbicara langsung pada Putra Mahkota seperti Anda tadi.”
Valerian menerima gelas itu tanpa banyak bicara. Ia menatap Count Ervane dengan mata tenang, lalu meneguk sedikit anggurnya.
“Saya hanya mengucapkan selamat, Count. Tidak lebih.”
Count tertawa kecil. “Hanya mengucapkan selamat, katanya… tapi lihatlah, semua orang membicarakan Anda sekarang.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Valerian dengan rasa ingin tahu yang jelas.
“Saya penasaran… dari mana asal Anda, Tuan? Saya cukup mengenal wajah para bangsawan di sini, tapi Anda… terasa asing.”
Valerian menatap balik dengan ekspresi datar.
“Mungkin karena saya lebih suka hidup di tempat yang jauh dari sorotan, Count.”
Count mengangkat alis, lalu tersenyum lebar.
“Hm… seseorang yang misterius dan berani. Dunia istana butuh lebih banyak orang seperti Anda, Tuan bertopeng.”
Valerian tidak menjawab, hanya memutar gelas anggurnya pelan. Dalam hati, ia sudah bisa menebak arah pembicaraan — politik. Flattery yang halus. Ujian ringan dari para bangsawan untuk menilai kekuatan seseorang.
“Saya tidak seberani yang Anda pikirkan, Count,” ujarnya akhirnya, nada suaranya dingin tapi sopan. “Saya hanya tidak takut pada bayangan.”
Count menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tertawa kecil.
“Menarik. Anda benar-benar berbeda dari mereka.”
Ia meneguk sisa anggurnya, lalu menepuk bahu Valerian ringan.
“Kalau begitu, semoga kita bisa bertemu lagi, Tuan bertopeng. Dunia istana… akan lebih hidup jika dipenuhi orang seperti Anda.”
Count berjalan menjauh, meninggalkan Valerian yang kini kembali sendiri di antara kerumunan.
Topeng peraknya memantulkan cahaya dari lampu kristal, dan di baliknya, senyum kecil muncul di bibir Valerian.
“Orang-orang ini pandai menyembunyikan niat mereka di balik senyum,” gumamnya pelan. “Tapi aku juga bukan orang yang mudah dibaca.”
Ia menatap gelas anggur di tangannya, lalu meneguknya hingga habis. Di matanya, cahaya merah dari cairan itu memantul — seperti bara api yang belum padam.
Valerian belum sempat meletakkan gelasnya ketika Count Ervane kembali mendekat dengan ekspresi antusias.
“Ah, Tuan bertopeng, saya baru saja teringat sesuatu yang mungkin menarik perhatian Anda.”
Valerian menoleh sedikit, tatapan matanya masih tenang di balik topeng peraknya.
“Apa itu, Count?”
Count meneguk sedikit anggur, lalu menurunkan suaranya — kini berbicara seperti seseorang yang sedang membocorkan rahasia besar.
“Akhir-akhir ini, di kalangan bangsawan beredar kabar tentang sebuah ramuan misterius.”
Ia tersenyum samar, menatap sekeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar.
“Ramuan itu mampu menyembuhkan racun berat hanya dalam hitungan menit. Bahkan para tabib kerajaan pun mengaku belum pernah melihat sesuatu yang seperti itu.”
Valerian tetap diam, hanya memutar gelasnya perlahan. Anggur di dalamnya berputar, memantulkan warna merah tua seperti pusaran darah.
Count melanjutkan, suaranya semakin bersemangat.
“Yang lebih menarik, mereka bilang pembuat ramuan itu hanyalah seorang anak laki-laki yang terlihat biasa. Tapi—”
Ia berhenti sejenak, mengangkat jari, seolah menegaskan bagian terpentingnya.
“Anak itu punya ciri khas yang… sulit dilupakan. Rambut perak yang berkilau, mata emas yang memancarkan cahaya aneh, dan tubuh yang ramping namun tegap. Bahkan cara berjalannya menunjukkan darah bangsawan.”
Tatapan Count kini mengarah tepat ke Valerian.
“Lucu, bukan? Ciri-cirinya terdengar… sangat mirip dengan Anda, Tuan bertopeng.”
Beberapa bangsawan yang berdiri tak jauh dari mereka menoleh penasaran, namun Valerian hanya tersenyum tipis. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda gugup sedikit pun.
“Rambut perak dan mata emas?” Ia tertawa kecil, suaranya tenang namun menusuk. “Mungkin hanya kebetulan, Count. Dunia ini luas… banyak orang terlahir dengan warna langka.”
Count menatapnya sejenak, lalu ikut tertawa kecil, meski matanya masih menyimpan rasa ingin tahu.
“Ya, mungkin benar. Tapi kalau saya boleh menebak, anak itu pasti bukan orang biasa.”
Valerian mengangkat gelasnya sedikit, menatap anggur di dalamnya.
“Tidak ada yang benar-benar biasa di dunia ini, Count. Hanya mereka yang belum menunjukkan taringnya.”
Count terdiam sesaat — entah karena terkesan, atau merasa sedang diingatkan untuk tidak terlalu jauh berspekulasi. Ia lalu tertawa pelan, menepuk bahu Valerian dengan sopan.
“Haha… Anda benar-benar menarik, Tuan bertopeng. Saya jadi semakin ingin tahu siapa Anda sebenarnya.”
Valerian menunduk sedikit, nada suaranya lembut namun dingin.
“Percayalah, Count. Beberapa hal… lebih baik tetap menjadi misteri.”
Count hanya tersenyum kaku, lalu berpamitan dengan sopan sebelum pergi.
Valerian menatap punggung pria itu menjauh, senyum tipisnya kembali muncul.
“Bicara terlalu banyak bisa berbahaya, Count…” gumamnya pelan.
Di kejauhan, Duke Ravion yang memperhatikan interaksi itu hanya mengulas senyum samar.
Tatapannya tajam, seolah tahu persis siapa sosok bertopeng perak itu — namun memilih untuk tetap diam.
Kereta yang membawa Valerian dan Alaric melaju pelan meninggalkan istana pusat. Lampu-lampu kristal di sepanjang jalan mulai padam satu per satu, menyisakan cahaya bulan yang redup menyoroti perjalanan pulang mereka.
Di dalam kereta, Valerian menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu berukir. Napasnya terdengar berat, bukan karena lelah… tapi karena rasa tidak nyaman.
Ia menarik kerah bajunya sedikit, wajahnya menunjukkan ekspresi malas.
“Ugh… panas sekali,” gumamnya pelan.
Tangannya menarik sedikit kain jas bagian depan, mencoba memberi ruang udara pada tubuhnya.
“Siapa pun yang mendesain pakaian pesta ini… seharusnya mencoba memakainya dulu sebelum menjahitnya.”
Alaric yang duduk di seberang hanya bisa menahan tawa kecil.
“Pangeran terlihat sangat menawan tadi. Semua orang memperhatikan Anda.”
Valerian memutar bola matanya.
“Itu justru membuatku lebih tidak nyaman. Rasanya seperti jadi hewan pameran.”
Alaric menunduk sopan, tapi bibirnya tersungging tipis. Ia tahu pangerannya tidak benar-benar kesal — hanya belum terbiasa diperhatikan banyak orang setelah sekian lama diasingkan.
Begitu kereta berhenti di depan gerbang Istana Utara, Valerian segera turun dan melepaskan mantel panjangnya begitu kakinya menyentuh tanah. Udara dingin malam menyambutnya, membuat kulitnya sedikit menggigil namun terasa jauh lebih segar dibanding ruangan pesta yang pengap.
“Akhirnya bisa bernapas lagi…”
Ia menghela napas lega, menatap langit malam yang bertabur bintang. Rambut peraknya memantulkan cahaya bulan, berkilau lembut setiap kali angin malam menyapu wajahnya.
Alaric menghampiri dengan langkah cepat sambil membawa bungkusan kecil berisi oleh-oleh dari pesta.
“Pangeran, apakah Anda ingin saya menyiapkan air hangat untuk mandi?”
“Tidak usah. Aku hanya ingin berbaring dulu.”
Valerian berjalan masuk ke dalam istana, melewati koridor panjang yang sunyi.
“Kau tahu, Alaric…” ucapnya tiba-tiba tanpa menoleh.
“Sekarang aku mengerti kenapa bangsawan suka berpura-pura tersenyum di depan banyak orang. Mereka pasti kelelahan menahan topeng itu.”
Alaric terdiam sejenak, kemudian menjawab lembut.
“Tapi pangeran tidak berpura-pura. Anda hanya… berbeda.”
Valerian berhenti di depan pintu kamarnya, menatap pelayannya sebentar sebelum membuka pintu.
“Berbeda, ya…” katanya lirih. “Mungkin itu sebabnya mereka lebih memilih menganggapku mati.”
Suara pintu menutup perlahan, menyisakan keheningan di koridor istana utara yang dingin dan sepi.
Alaric membantu Valerian melepas pakaian pesta yang berat dan penuh perhiasan. Suara gesekan kain halus terdengar di antara keheningan kamar. Valerian menghela napas pelan, bahunya sedikit menurun begitu lapisan pakaian terakhir dilepas dari tubuhnya.
“Akhirnya…” gumamnya dengan nada lega.
Alaric mengambilkan pakaian tidur berwarna hitam sederhana dari lemari, kemudian membantu Valerian mengenakannya. Rambut perak yang sebelumnya diikat rapi kini dibiarkan terurai, berkilau lembut di bawah cahaya lilin.
“Apakah Anda ingin beristirahat, Pangeran?” tanya Alaric dengan lembut.
Valerian menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapan mata emasnya yang tajam tampak berbeda — lebih tenang, tapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang bergejolak.
“Tidak, aku belum ingin tidur.”
Ia menatap tangannya sendiri, jari-jarinya mengeluarkan sedikit kilatan cahaya biru.
“Tubuh ini masih terlalu penuh energi.”
Alaric sudah bisa menebak arah pembicaraan itu.
“Anda ingin berlatih lagi?”
Valerian mengangguk. Ia mengambil jubah panjang tipis yang tergantung di belakang pintu, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah ringan namun mantap. Udara malam menyambut mereka, dingin tapi menenangkan.
Mereka menuju taman belakang istana utara, tempat Valerian sering berlatih. Embun pagi mulai turun lebih awal, menutupi dedaunan dengan kilau bening.
Valerian berdiri di tengah taman, mengangkat tangannya perlahan.
Sihir biru muncul di sekitar tubuhnya, melingkar lembut seperti tarian cahaya. Udara di sekitarnya bergetar, dan aura kekuatannya mulai terasa — tidak kasar, tapi penuh kendali.
“Sihir kuno ini… rasanya mulai stabil di tubuhku,” ucapnya pelan, suaranya hampir seperti gumaman.
Alaric memperhatikan dari jauh, kagum sekaligus khawatir.
Cahaya biru dari tangan Valerian berubah menjadi pusaran, lalu perlahan membentuk simbol sihir kuno di udara — rumit, tapi indah.
Valerian menutup matanya, mengatur napas, dan seketika pusaran itu meledak lembut menjadi percikan cahaya yang memudar perlahan di udara.
“Masih belum sempurna… tapi cukup untuk malam ini.”
Ia menurunkan tangannya, napasnya sedikit memburu namun senyum kecil terlukis di wajahnya.
Alaric segera menghampiri, membawa handuk dan selimut tipis.
“Anda luar biasa, Pangeran,” ujar Alaric kagum.
“Kekuatan itu terasa berbeda… seperti hidup.”
Valerian hanya menatap langit malam.
“Kekuatan tidak akan berarti apa pun… kalau tidak digunakan dengan tujuan.”
Tatapan mata emasnya memantulkan cahaya bulan.
“Dan aku sudah tahu tujuan itu.”