NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:314
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ucapkan selamat tinggal pada selingkuhannya.

Sore Jakarta merunduk,

Mentari mengantuk, matanya berkedip manja,

Siang yang melotot kini menyusut menjadi bayangan lembut.

Langit seperti kain kanvas yang luntur,

Jingga pucat tercampur abu,

Awan ditarik angin bagai benang tipis yang menari.

Kota berderak, tapi deraknya mereda,

Klakson, derap sepatu, derit rem—

Hanya gema samar di balik kaca buram.

Udara masih membawa sisa panas siang,

Bercampur aroma knalpot yang pekat,

Namun angin sore meneteskan kesejukan,

Seperti tangan tak terlihat menepuk punggung bumi.

Gedung-gedung menjorok panjang,

Bayangan mereka menelan trotoar,

Jakarta bukan sekadar tempat,

Tapi jeda—antara matahari dan malam,

Antara langkah yang lelah dan detik yang menunggu.

Di antara jingga yang memudar itu,

Rom berjalan, tubuhnya seperti bayangan yang memanjang,

Menuju gudang sunyi,

Di mana waktu dan rahasia menanti,

Dan kota, diam, menjadi saksi tak bersuara.

Gudang itu redup, cahaya lampu kuning bergoyang di dinding beton, memantul samar di lantai berdebu. Aroma logam, pelumas, dan kayu tua menyatu—menjadi latar yang berat tapi familiar bagi setiap tentara.

Teman-teman Rom berkumpul di tengah gudang, raut wajah campur aduk antara gembira dan sedih. Tangan-tangan mereka saling bertaut, lengan-lengan menguatkan sahabat yang akan pergi. Suara “jaga diri ya,” “semoga lancar di sana,” dan tawa yang dipaksakan terdengar pecah di antara deru kipas tua.

Rom berdiri agak terpisah, matanya mengamati. Setiap pelukan yang ia saksikan menempel di pikirannya. Detik-detik hangat yang seharusnya menggerakkan hatinya kini bercampur rasa getir.

Dalam hatinya, Rom bergumam pelan, hampir tak terdengar: “Aku… aku sudah peluk istrinya.”

Senyum samar terbit di bibirnya, tapi dada terasa sesak. Ada rasa menang dan kalah sekaligus. Pelukan itu bukan untuk perpisahan, tapi untuk sesuatu yang hanya ia tahu—rahasia yang tak bisa disentuh siapa pun, bahkan teman-temannya sendiri.

Ia menatap Prakai yang sedang membereskan barang-barangnya, lengan-lengan yang tersisa dari kotak-kotak dan tas ransel. Ruang antara mereka terasa panjang, tidak hanya karena jarak fisik, tapi juga karena semua rahasia, semua malam-malam yang belum pernah disebut, membentang di antara mereka.

Rom menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan Lina, rumah putih, dan semua yang ia lakukan semalam tetap menempel di kepalanya, seperti bayangan yang menolak pergi. Gudang itu sunyi, tapi hati Rom berderap lebih kencang dari suara sepatu di lantai beton.

Prakai melangkah mendekat, bayangan tubuhnya menempel di cahaya redup gudang. Matanya tajam, penuh pesan tersirat, tapi nada suaranya tetap santai ketika berbicara.

“Jaga dirimu tanpa diriku. Jangan mati, kau pasti kesulitan tanpaku. Kau licik di sebelahku.”

Rom menegang seketika. Kata “licik” menusuk seperti jarum yang tepat sasaran. Memang, licik—dia menggunakan kesempatan, malam demi malam, dengan istri Prakai, dan sekarang kata itu terucap di depan wajahnya.

“Haa… najis. Kau pikir bisa selesaikan tugas tanpaku?” jawab Rom, suaranya dipenuhi rasa tersinggung tapi juga tantangan.

Prakai menertawakan nada itu, langkahnya santai tapi mantap. “Ayolah, kau itu lemah. Tanpaku, kau bisa apa?”

Rom mencondong sedikit ke depan, mata menyala, lidah terasa mengeras di antara gigi. “Tanpamu, aku jadi lebih kuat. Kau hanya menghalangiku bermain-main.”

Prakai terkekeh, nada mengejek tapi penuh hormat terselubung. “Itulah, kau tak bisa serius, kau jadi terlihat lemah.”

Rom menatapnya, bibirnya menipis. “Lemah bukan dari tampilan, tapi dari bukti.”

Prakai tersenyum, getar tawa yang samar di gudang. “Hahaha. Buktikan saja, walau kita tak tahu bakal ketemu lagi atau tidak. Jangan jadikan alasan untuk lemah.”

Rom menelan napas dalam, menatap Prakai lurus ke mata. “Harusnya aku yang memperingatkan… jangan mati sebelum aku membunuhmu.”

Prakai mencondongkan kepala, senyum sinisnya masih tersisa. “Matilah dulu. Jika sempat, aku akan menguburmu.”

Rom tertawa pelan, nada menantang. “Kita lihat siapa yang akan mati lebih dulu.”

Prakai menepuk bahu Rom, setengah serius, setengah bercanda. “Tantangan diterima. Jangan harap esok aku mengalah.”

Rom menatapnya tajam, dingin. “Jangan berharap aku melihat bangkaimu.”

Prakai tersenyum lebih lebar, menyingkirkan sedikit bahu Rom. “Kalau begitu, aku akan cari bangkaimu saat kau mati, agar aku bisa melangkahi mayatmu.”

Rom hanya bisa mengejek pendek. “Heh.”

Di luar gudang, suara klakson mobil mulai terdengar, mesin meraung menunggu Prakai. Ia menoleh, setengah tersenyum.

“Sudahlah, mobilku datang.”

Rom menurunkan bahu, nada lebih ringan tapi tetap tegas. “Daa… jaga nyawamu baik-baik.”

Prakai melangkah keluar gudang, tubuhnya tegap di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Suara deru mobil menelan langkahnya, meninggalkan gema di dinding beton yang dingin.

Rom berdiri di pintu gudang, menatap arah yang kini kosong. Bayangan Prakai yang baru saja ada di sana masih terasa—seolah meninggalkan jejak yang menempel di udara, di hati, dan di pikiran. Kata-kata, tawa sinis, tantangan, bahkan ancaman, semuanya berputar di kepalanya seperti badai kecil yang tak tampak dari luar.

Mereka kini berada di jalur yang berbeda, tugas yang berbeda, lokasi yang berbeda. Tapi Rom tahu—walau jarak memisahkan, ikatan, rivalitas, dan rahasia yang tersisa tak akan mudah hilang. Setiap langkah Prakai di Kota Baja Purnama, setiap keputusan Rom di medan berikutnya, semuanya akan membawa resonansi dari malam-malam yang baru saja mereka lewati.

Gudang tetap sunyi, hanya suara angin yang menembus celah pintu yang berderit terdengar. Rom menarik napas panjang, menegakkan punggung, dan perlahan menapaki jalan keluar, dengan kesadaran bahwa dunia ini keras, misi menunggu, dan pertemuan berikutnya—entah kapan—akan menentukan siapa yang akan berdiri lebih kuat, siapa yang akan menyerah pada takdirnya.

Bayangan Rom memanjang di lantai beton, beriringan dengan matahari sore yang mulai tenggelam, menyisakan senja Jakarta yang muram tapi hidup—sebuah tanda bahwa cerita mereka masih jauh dari akhir.

Rom berdiri sendiri, menatap arah mobil yang membawa Prakai pergi. Dadanya berdebar, bukan karena takut, tapi karena sensasi tersisa dari ketegangan yang baru saja melewati antara mereka—campuran persahabatan, rivalitas, dan rahasia yang tak terucap.

Sementara di sudut terdalam gudang—tempat cahaya sore hanya menyelinap lewat celah seng berkarat—Juliar si “pria gorila” duduk malas di atas drum besi kosong. Tubuh besarnya membungkuk sedikit, tangan kanan menggenggam cangkir kopi enamel yang catnya sudah terkelupas. Uap tipis naik, membaur dengan bau oli, besi panas, dan debu gudang.

Rom melesat dari bayang gudang, napasnya masih panas dari lari kecil—mata melotot, adrenalin nyaris meledak. menuju pinggir gudang, tempat Juliar—si “pria gorila”—duduk santai, tangan besar menggenggam cangkir kopi. Ia meneguk sambil menatap rombongan yang bubar, tampak tak terganggu sama sekali.

Rom teriakkan, “Heyyy!!! Gorila!!! Terima ini!” lalu melayangkan tendangan samping mentah—Ap Chagi—dengan kaki kanan lurus, lutut dikunci, pinggul diputar. Gerakan mentah itu punya semangat lebih dari teknik: kurang rapi, tapi penuh maksud.

Juliar cuma mengangkat alis. Dalam sekejap ia mundur selangkah—sangat cukup supaya kaki Rom meleset—jadi bunyi whoosh dan udara yang dipotong. “Syyyttttt—” desis kecil dari riuh sekeliling. Juliar nyaris kena; tendangan hanya menimbulkan hembusan angin di sisi bahu Juliar. Terlihat jelas: Soeler cuma bercanda. Tendangan tak benar-benar ditujukan untuk melukai.

Juliar terkekeh, bibirnya keponakan sinis: “Kembalilah seribu abad lagi.” Ia meneguk kopi lagi—tenang, seperti orang yang baru saja lihat anak kecil belajar berantem.

Rom berdiri sedikit menunduk, wajahnya merah karena usaha. “Maksudmu menunggu aku mati? Kau ingin balas??” suaranya penuh tantangan tapi ada tawa yang mencoba lolos.

Juliar melengos penuh percaya diri. “Tunggu hingga dirimu kuat.”

Rom membalas, “Gak asik, keburu tulang ekormu kesemutan.” Dia nudging-nudging dengan dagu, pura-pura serius.

Sekitar mereka beberapa rekan mengerling, ada yang menahan tawa, ada yang tepuk pundak Rom—suasana akrab yang kalau dilihat dari luar tampak seperti keributan kecil antar teman. Juliar mengangkat cangkirnya, mengangguk: “Latihanlah, Solerom. Nanti aku yang tak nyaman justru kalau kau terlalu kuat.”

Rom ngupil, lalu senyum merekah di wajahnya—setengah marah, setengah puas karena mendapat perhatian. Ia melangkah mundur, dada masih berdegup, mengulur tangan seperti hendak salaman, tapi malah ditarik mundur oleh rasa gengsi. “Oke, oke. Nanti aku tunjukkan,” gumamnya, setengah ancaman, setengah janji.

Juliar berdiri, meregangkan bahu besar, lalu melambaikan tangan sambil melangkah ke mobil yang menunggu. “Jaga badanmu. Dan jangan lupa, jangan sampai istriku lebih sering ketemu kau daripada aku,” godanya tanpa sepatah kata serius.

Rom menatap mobil yang menjauh, lalu menoleh ke gudang—matahari sore menipis, bayangan panjang menempel di lantai beton. Hatinya penuh: sedikit malu, sedikit bangga, dan sebuah janji kecil berputar di kepalanya—latihan, lebih keras, besok bukan lagi tendangan mentah.

Rom melangkah mendekat, suaranya pecah di antara gema kosong gudang.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Juliar mengangkat alis, sorot matanya malas. “Kenapa tidak?” jawabnya datar, sambil kembali meneguk kopi.

Rom menahan napas, masih tak habis pikir. “Kenapa kau masih hidup? Kemarin kau hampir mati.”

Juliar tak langsung menoleh. Ia memalingkan wajah, menatap kosong pada dinding berkarat yang digerogoti waktu. Uap tipis kopi naik di depan wajahnya, menutupi sepersekian detik ekspresi yang sulit dibaca.

“Oi,” suara Rom meninggi sedikit, “kau lupa peluru-peluru kemarin yang menghantam rompimu?”

Juliar menarik bahunya, santai. “Lupa. Untuk apa diingat?” jawabnya tenang, seolah yang diajak bicara hanya angin.

Rom menggeleng sambil mendecak. “Kukira hanya tubuhmu yang besar… rupanya nyalimu juga ikut-ikutan.”

Sekilas keheningan menggantung—lalu tawa kecil pecah di antara mereka.

Heh—hehh. Tertahan, singkat, tapi cukup untuk mencairkan sisa bayangan pertempuran kemarin.

Gudang kembali terasa lebih hangat, bukan hanya karena kopi di tangan Juliar, tapi karena dua orang keras kepala itu sama-sama tahu: mereka masih hidup, dan itu sudah cukup alasan untuk tertawa.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!