menceritakan kisah seorang pemuda yang menjadi renkarnasi seorang lima dewa element.
pemuda itu di asuh oleh seorang tabib tua serta di latih cara bertarung yang hebat. bukan hanya sekedar jurus biasa. melainkan jurus yang di ajarkan adalah jurus dari ninja.
penasaran dengan kisahnya?, ayo kita ikuti perjalanan pemuda tersebut.!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Igun 51p17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Bayu Wirata menarik napas dalam, badannya mulai mengalirkan tenaga dalam yang ia miliki. Matanya menatap tajam ke arah kakeknya yang sudah memancarkan aura kuat di sekelilingnya yang sudah terlihat distorsi.
"Baiklah, Kek. Aku siap mencoba bertarung. Mohon bimbingannya," suaranya penuh tekad sambil mengerahkan tenaga yang berdenyut di setiap pori tubuhnya.
Dengan gerakan serentak, keduanya melesat ke depan, seperti angin yang menghantam udara. Bayu berlari cepat, napasnya memburu. Saat jarak sudah sangat dekat, tubuhnya meloncat kecil dan tendangan lurus melayang ke arah kakeknya.
Ki Laksmana, dengan wajah tenang dan mata yang berkilat, hanya memiringkan badan sedikit. Tendangan Bayu menyapu udara kosong.
Tidak menunggu waktu lama, tangan kanan Ki Laksmana meluncur ke punggung Bayu dengan tekanan tajam. "Di belakangmu! Fokus! Jangan tunggu aku ingatkan lagi! jangan samakan pertarungan ini dengan latihan biasa," suara Ki Laksmana keras dan tegas, membuat Bayu seketika merasakan getaran di punggungnya dan sadar bahwa pertarungan ini serius.
Bayu Wirata mendengar dan ia juga merasakan serangan tersebut. dengan spontan ia langsung memutar badannya sembari mengayunkan tangannya menangkis serangan dari kakeknya.
Bamm..
Tapak Ki Laksmana berhasil di tahan oleh Bayu Wirata dengan sempurna. Akan tetapi sesaat kemudian, satu serangan dari Ki Wirata dalam bentuk tendangan menghantam tubuhnya dengan sangat kuat.
Bammm..
Tubuh Bayu Wirata terhempas ke belakang, dada bagian depannya memar setelah mendapatkan tendangan kuat dari sang kakek yang menghantamnya dengan cukup keras.
Nafasnya memburu saat ia mendarat, pandangannya langsung menatap penuh hormat ke arah Ki Laksmana.
"Kemampuanku masih kalah jauh jika di bandingkan dengan kaKek," ucap Bayu dengan suara berat.
Tiba tiba, tawa berat Ki Laksmana menggema di hutan tersebut.
"Hahaha!
Kau memang belum bisa mengalahkanku, tapi lihatlah usiamu sekarang. Kau sudah termasuk kuat, jika dibandingkan dengan pemuda seusia dirimu, dan aku yakin di masa depan, kau akan dapat melampauiku kemampuan kakek." Kata Ki Laksmana yang menyalakan kembali semangat dalam dada Bayu Wirata.
Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya pemuda tersebut, memberi tanda tekad yang mulai membara kembali.
"Baiklah, Kek. Mari kita lanjutkan pertarungan ini," katanya sambil menyalurkan tenaga dalam dan elemen petir mengalir ke tubuhnya.
"Shuriken bintang lima!" seru Bayu Wirata, tangan kanannya menyilang di depan dadanya memanggil senjata khas ninja yang sudah ia tandai sebelumnya ketika berada di dalam gua.
Wushh..
Beberapa senjata bintang lima sudah berada di celah celah jari pemuda tersebut. Hingga beberapa saat kemudian. Ia langsung melemparkan senjata kecil itu ke arah sang kakek.
Ki Laksmana yang melihat cucunya sudah mulai serius menghadapinya. Namun hal itu membuatnya tersenyum hangat.
"Kau sudah serius. Baiklah, kakek akan melayani pertarungan ini dengan pertarungan ninja yang sudah kita kuasi" gumam Ki Laksmana.
Sesaat kemudian, ia melihat cucunya sudah melemparkan senjata shuriken bintang lima ke arahnya. Ia mengetahui apa yang di rencanakan oleh cucunya itu, karena ia sendiri yang mengajari jurus jurus yang akan di gunakan oleh Bayu Wirata.
"Jarum perpindahan" kata Ki Laksmana yang memanggil jarum kecil untuk ia gunakan sebagai tanda di pertarungan tersebut.
Kini jarum jarum tersebut sudah berada di kedua tangannya. Setelah itu, ia melemparkannya ke atas namun masih di sekitar tubuhnya.
Selain itu, ia juga mengalirkan element petir di kedua tangannya untuk menyambut serangan dari sang cucu.
Benar saja. Beberapa saat kemudian di waktu Shuriken Bintang Lima sudah dekat dengan Ki Laksmana, Bayu Wirata datang dengan jurus perpindahan melalui Shuriken Bintang Lima itu.
Kemunculan pemuda itu di sertai serangan kuat yang di aliri element petir di tangannya. Bayu Wirata mengayunkan tangannnua itu ke arah Ki Laksamana.
Ki Laksamana yang mengetahui akan serangan dari Bayu Wirata langsung menahan serangan tersebut dengan tapak petir miliknya. Sehingga membuat benturan yang sangat kuat.
Jledar...
Kilatan petir tercipta akibat terbenturnya jurus dengan dua element yang sama. Tidak berhenti sampai di situ. Keduanya kembali melakukan serangan demi serangan sambil berpindah tempat melalui jurus perpindahan yang mereka kuasai.
Sudah pasti keduanya berpindah dengan tanda di shuriken bintang lima dan jarum kecil yang sudah mereka gunakan tadi.
Jledar..
Jledar..
Kembali ledakan demi ledakan terjadi. Akibat berbenturnya jurus dari keduanya. Di setiap kali mereka berpindah maka akan ada ledakan petir yang menyambar.
Hingga pada saat ini, hutan sepi itu di penuhi oleh kilatan dan ledakan petir dengan sangat kuat. Bahkan ledakan petir itu menghancurkan beberapa pepohonan yang ada di sana hingga membuatnya terbakar.
Kobaran api mulai menyala lalu mengeluarkan asap yang membumbung tinggi naik ke udara. Beruntungnya hutan tersebut adakah hutan yang tidak pernah di jamah oleh manusia sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, sehingga pada saat ini, tidak ada satu pun orang yang melihat kejadian tersebut
Pada saat ini, Bayu Wirata terus mencoba menyerang kakeknya. Namun, sang kakek yang jauh lebih hebat dan jauh lebih berpengalaman dalam pertarungan membuat tak ada satu pun serangan dari Bayu Wirata yang mengenai tubuh sang kakek.
Ki Laksmana justru lebih sering menyerang Bayu Wirata dengan berbagai jurus jurus andalannya. Tubuhnya bergerak cepat, menebar pukulan dan tendangan yang sulit dihindari oleh Bayu Wirata.
Hingga tiba tiba, sebuah tendangan kuat mendarat tepat di perut Bayu Wirata.
Bammm...
Bayu terpental ke belakang dengan keras, menabrak satu pohon besar. Dentuman keras mengiringi retaknya kayu yang kemudian patah menjadi dua.
Huekkk...
Bayu terbatuk, memuntahkan cairan merah dari mulutnya. Matanya menatap tajam ke arah kakeknya, memancarkan sedikit amarah yang sulit ia bendung. Ia menggeleng kepalanya pelan, mencoba menepis kemarahan itu.
"Dia kakekku. Aku tidak boleh marah padanya," gumam Bayu Wirata lirih sambil berdiri dan menatap Ki Laksmana dengan tekad yang bulat.
Napas Bayu Airata bergetar saat memasang kuda kuda kembali. Bayu siap, menanti momen yang tepat untuk melakukan serangan lagi.
Beberapa saat kemudian, tanpa diduga, ia menghilang dari tempatnya dan tiba tiba muncul tepat di depan kakeknya.
"Tinju Seribu Bayang!" teriak Bayu penuh semangat, mengeluarkan jurus yang cukup kuat.
Tinju seribu bayang adalah tinju yang membuat banyak sekali bayangan tangan yang akan menyerang targetnya. Hal itu lah yang di gunakan oleh Bayu Wirata saat ini.
Namun, sebelum jurus itu benar benar keluar. Tiba tiba tubuh Bayu Wirata tidak dapat bergerak. Ia merasakan sebuah tekanan kuat yang mencoba meremukkan tubuhnya.
"Berat sekali, apakah ini jurus ilusi?" Gumam Bayu Wirata bertanya tanya.
"Tidak.. ini bukan ilusi. Tapi jurus apa ini, mengapa aku tidak pernah melihat kakek menggunakan jurus ini dan mengapa ia tidak mengajarkannya kepadaku" gumamnya lagi bertanya tanya.
Ternyata yang di rasakan oleh Bayu Wiraya memang bukan jurus ilusi, namun itu adalah tekanan aura membunuh yang di keluarkan oleh Ki Laksmana
Bayu Wirata nyaris terjatuh saat aura membunuh dari Ki Laksmana menerpa tubuhnya dengan dahsyat. Dadanya sesak, kaki rasanya lumpuh, dan pandangannya mulai gelap. Tekanan itu bukan sekadar jurus, melainkan gelombang kekuatan yang menguji batas tubuh dan jiwanya.
"Sudah cukup... latihan terakhir ini sudah selesai," suara Ki Laksmana memecah hening, sambil pelan pelan menghilangkan aura membunuhnya itu.
Bayu Wirata menghela napas panjang, udara dingin kembali mengalir lega ke paru parunya. Tubuhnya yang sempat membeku kini bisa bergerak kembali. Matanya menangkap sosok kakeknya, penuh wibawa dan kasih sayang yang sulit diungkapkan kata.
"Sudah selesai?" tanyanya, masih sulit menyembunyikan sisa kelelahan dalam suaranya.
Ki Laksmana mengangguk pelan, matanya lembut namun tegas.
"Sekarang, saatnya kau pergi untuk melangkah ke dunia baru. Petualanganmu dimulai di luar sana," katanya, sorot haru menyelip di balik tatapan tajam.
Sebenarnya Ki Laksmana tidak ingin melepaskan kepergian cucunya itu. namun ia melakukan itu semua agar cucunya dapat lebih banyak pengalaman lagi di luar sana. Lagi pula, Ki Laksmana sangar percaya dengan kemampuan Bayu Wirata yang berada di kependekaran tingkat bumi tahap awal yang sudah setara dengan ketua di salah satu perguruan.
Bayu Wirata menatap kakeknya dengan penuh harap.
"Aku akan pergi, tapi bisakah kakek ajarkan jurus terakhir yang tadi membuatku berhenti bergerak?" Suaranya bergetar, menahan rasa penasaran sekaligus rasa takut akan kekuatan yang sempat ia rasakan tadi.
Haahahaha
Ki Laksmana terkekeh kecil, senyumnya tipis menari di bibir.
"Aku tidak bisa mengajarkan jurus itu, Nak. Itu bukan sebuah jurus, tapi tekanan aura pembunuh," katanya perlahan, matanya tajam menatap cucunya.
Bayu Wiraya mengernyit, menelan ludah.
"Aura pembunuh? Apa dengan aura membunuh bisa menghabisi lawan, sesuai dengan namannya?" Suaranya sedikit berbisik, seolah takut mengucapkannya terlalu keras.
Ki Laksmana menarik napas panjang.
"Aura pembunuh tidak dapat untuk membunuh. aura membunuh hanya menekan, melemahkan. Lawan yang terkena aura membunuh itu jadi rentan, dan di situlah jurus lain bekerja untuk menghabisinya," jelasnya sambil menepuk bahu Bayu penuh pengertian.
Bayu mengangguk pelan, matanya menyala penuh tekad.
"Kalau begitu, bagaimana aku bisa mengeluarkan aura membunuh itu?" Tanya Bayu Wirata dengan penuh rasa penasaran.
"Aura membunuh bisa kau dapatkan dengan cara membunuh orang atau bangsa siluman. Semakin banyak kau membunuh, maka akan semakin kuat tekanan aura membunuhmu" jawab Ki Laksmana sambil menjelaskan cara mendaparkannya.
Bayu Wirata menggelengkan kepanya pelan, matanya menatap kosong ke depan. TIdak pernah terbayang oleh dirinya bahwa untuk meraih kekuatan aura membunuh, harus rela mengorbankan nyawa orang lain.
"Ternyata... untuk mendapatkannya, kita harus menjadi kejam," suaranya nyaris bergetar, kecewa menyelinap di antara kata kata itu.
Ki Laksmana menepuk pundak cucunya dengan lembut, wajahnya teduh penuh pengertian.
"Kau sudah terjun ke dunia persilatan, cu. Pertarungan, kematian, membunuh, dan dibunuh, itu semua sudah jadi hal yang biasa. Di masa depan, kau pun akan mengalaminya," ucap sang kakek pelan.
Bayu Wirata menundukkan kepala, menerima kata kata itu dengan berat hati.
"Baiklah, Kek. Aku mengerti, aku akan pergi," bisiknya lirih sembari membungkukkan tubuhnya.
Ki Laksmana mengangguk, lalu tangan tuanya merangkul dan mengusap lembut rambut cucunya, memberikan kehangatan sekaligus kekuatan yang tak dapat di ungkapkan dengan kata kata.
"Pergilah. Kakek merestuimu. Jangan pernah kembali jika kau belum kuat. Kuasai semua element yang ada pada dirimu. Serta jangan pernah kau menunjukkan lima tanda element yang ada di dadamu kepada semua orang. Jika itu kau lakukan maka kau akan di buru oleh pendekar golongan hitam" kata Ki Laksmana memberi nasehat serta memperingati cucunya itu.
Bayu Wirata menghela napas dalam, lalu mengangkat tubuhnya dengan tegak. Matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad.
“Aku akan mengingat semua pesan dari kakek,” ucapnya lirih, suaranya bergetar sedikit. Tanpa berkata lebih banyak, ia merangkul Ki Laksmana erat-erat, seolah ingin menyimpan momen itu dalam ingatan.
Kakeknya membalas pelukan itu dengan lembut, pelan, seolah merasakan bahwa inilah pelukan terakhir mereka sebelum berpisah.
Beberapa bulir air mata mengalir dari sudut mata keduanya, membasahi pipi yang mulai basah tanpa sengaja.
Setelah beberapa saat kemudian, mereka melepaskan pelukan dengan berat hati. Bayu menoleh sekali lagi sebelum memutar badan, melangkah menjauh.
Sementara Ki Laksmana hanya terpaku memandang sosok cucunya yang kian menjauh di balik pepohonan hutan yang ada disana.
“Jaga dirimu baik baik, cu,” gumamnya dengan suara parau, ada rasa sedih di hatinya karena perpisahan itu.
"Kakek yakin takdir yang sudah di tujukan kepadamu akan membawa banyak masalah yang akan kau hadapi. Namun masalah masalah itulah yang akan membuatmu menjadi sangat kuat di kemudian hari" gumam Ki Laksmana yang melihat cucunya menghilang tak terlihat di kejauhan.
Di saat yang bersamaan, Ki Laksmana langsung menghilang dari tempatnya berdiri. Sudah pasti ia melakukan jurus perpindahan. Dan pada saar ini, ia sudah kembali ke pondok miliknya yang ada di pinggiran Kota Sagatani. Dan ia akan melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Yaitu menjadi seorang tabib.
Sementara itu, Bayu Wirata sudah benar benar pergi. Sesat ia menoleh ke belakang dan berharap sang kakek menghentikannya. Namun apa daya, pada saat itu ia sama sekali tidak meliharmt sang kakek lagi.
"Sepertinya kakek memang benar benar ingin aku pergi. Dan dia pasti sudah kembali ke pondok" gumam Bayu Wirata dalam hatinya.
Bayu Wirata berhenti sejenak, pandangannya mencari cari arah di antara rimbunnya pepohonan. Dadanya terasa sesak, kebingungan menguasai pikirannya. ia tidak tahu arah yang harus ia lalui. Apa lagi pada saat ini ia tidak mengebal hutan tersebut.
“Ke mana aku harus pergi sekarang? Tidak mungkin aku kembali ke pondok itu...” gumamnya pelan, suara serak tertahan di tenggorokan.
Waktu berlalu dalam keheningan, Bayu menimbang langkah selanjutnya, jari jarinya gemetar saat terkepal.
Akhirnya, dia menghela napas panjang, meneguhkan hati untuk terus melangkah maju.
“Huppp...” Suara hentakan kakinya memecah sunyi ketika dia menancapkan pijakan kuat di tanah.
Dalam sekejap, tubuhnya ringan bagai daun jatuh saat naik ke dahan pohon terdekat.
Dengan lincah, Bayu melesat dari satu dahan ke dahan lain, sesekali melompat lebih tinggi agar pandangannya bisa menyapu lebih jauh. Matanya tajam, berharap melihat tanda kehidupan, sebuah kota atau petunjuk jalan.
Namun, yang terlihat hanyalah lautan hijau tanpa batas, pepohonan lebat membentang tak berujung, menelan harapan yang ia bawa.
Bayu menelan ludah, rasa frustasi mulai menggerogoti, tapi dia tahu menyerah bukan pilihan.
"Sepertinya hutan ini sangat luas, entah sampai kapan aku akan berada di sini" gumam Bayu Wirata dalam hatinya.