Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Retakan raksasa di langit yang sejak awal dikenal sebagai Chaos Gate akhirnya menunjukkan tanda-tanda runtuh. Dari kejauhan, manusia di bumi menatapnya dengan napas tertahan. Gate itu bergetar, lalu sedikit demi sedikit mulai hancur, bukan meledak, melainkan pecah menjadi kepingan cahaya yang beterbangan, seakan bintang-bintang gugur dari langit.
Seorang anak kecil di Seoul menunjuk ke atas.
“Ibu... lihat... Gatenya hilang...”
Dalam hitungan detik, gemuruh sorak-sorai membanjiri seluruh kota, lalu menyebar ke seluruh dunia. Televisi, radio, hingga siaran langsung internet menampilkan satu pemandangan: Gate itu lenyap.
Para Hunter dan petinggi Asosiasi dari berbagai negara meledak dalam euforia.
“Kita berhasil!”
“Chaos Gate... sudah ditutup!”
“Jinwoo dan timnya menyelamatkan dunia!!”
Air mata tumpah, pelukan diberikan, bahkan di markas besar Asosiasi Hunter internasional, para pejabat yang biasanya dingin kini saling menepuk bahu dengan wajah lega. Dunia percaya—saat itu mereka semua benar-benar percaya—bahwa pahlawan mereka telah menang.
Namun kegembiraan itu tidak berlangsung lama.
Seseorang berteriak, suaranya tercekat oleh rasa aneh yang merayap.
“Tunggu... kalau Gate sudah ditutup... kenapa mereka belum keluar?”
Sorakan mendadak melemah. Keraguan mulai merayap, satu per satu. Pandangan mata menatap langit yang kini cerah. Tidak ada celah terbuka. Tidak ada jalur keluar.
Seorang Hunter S-Rank dari Amerika menelan ludah.
“Biasanya... setelah Boss Gate dikalahkan, pintu keluar terbentuk, bukan? Tapi... di mana mereka?”
Suara sorakan berganti menjadi keheningan. Dunia mulai menyadari sesuatu yang menakutkan.
“Mereka... tidak akan kembali?”
Langit biru yang begitu indah justru terasa seperti pisau yang menusuk hati. Dunia yang selamat harus menerima kenyataan pahit: para pahlawan yang menyelamatkan mereka mungkin telah hilang selamanya.
Di sisi lain, di ruang pertempuran yang baru saja berakhir, Jinwoo masih berdiri dengan pedang patahnya. Tubuhnya penuh luka, namun kemenangan nyata ada di tangannya. Revenant telah tumbang.
Tiba-tiba, Selene berlari menghampirinya. Tanpa menahan diri, ia langsung memeluk Jinwoo erat-erat. Tubuhnya gemetar, matanya dipenuhi air mata lega.
“Jinwoo... kau berhasil... kita berhasil...”
Jinwoo, yang biasanya dingin, terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. Pelukan itu memberinya rasa hangat, sesuatu yang membuatnya sadar bahwa ia masih hidup.
Ezekiel tertawa sambil mengusap rambutnya yang berantakan.
“Hahaha! Sial, aku pikir kita semua bakal mati. Tapi ternyata bocah ini benar-benar bisa melakukannya.”
Takeshi mengangkat jempolnya.
“Kau benar-benar monster, Jinwoo. Bahkan aku tidak bisa membayangkan ada manusia yang bisa melampaui Host.”
Leonhard ikut menambahkan dengan nada bercanda.
“Kau yakin kau masih manusia? Jangan-jangan kau sebenarnya reinkarnasi dewa yang nyasar ke sini.”
Suasana sedikit mencair. Selene kemudian menyentuh pipi Jinwoo dengan lembut. Tatapannya penuh kekaguman dan sesuatu yang lebih dalam.
“Kau... adalah Hunter sejati, Jinwoo. Api semangatmu... tidak pernah padam, bahkan di ujung tanduk.”
Jinwoo tersenyum hangat padanya. Namun sebelum suasana semakin jauh, Ezekiel berdeham keras.
“Ehem. Adegan romantisnya nanti saja, oke? Kita masih harus mencari cara keluar dari sini.”
Selene sontak melepaskan tangannya dengan wajah memerah. Jinwoo hanya bisa menghela nafas, sedikit canggung tapi juga lega.
Lalu, suara mekanis menggema di telinga Jinwoo.
[Notifikasi Sistem]
[Anda telah mendapatkan gelar: The Chosen One]
[Anda telah mendapatkan gelar: God Killer]
[Anda telah mendapatkan gelar: The Absolute]
Mata Jinwoo membelalak. Gelar terakhir itu membuat dadanya terasa berat. The Absolute... gelar yang sebelumnya hanya dimiliki oleh Revenant.
Tiba-tiba, cahaya menyelimuti mereka semua. Dalam sekejap, mereka terlempar kembali ke dungeon awal tempat mereka menghadapi para Demon King.
Seketika, layar sistem raksasa muncul di hadapan mereka. Suara tanpa emosi, namun dipenuhi nada menyindir, terdengar.
[Sistem]
“Kau membuat tontonan yang menarik bagi para Administrator. Pertarunganmu dengan Host sangat menghibur... dan tak terduga.”
Seluruh tim menegang. Kata-kata itu bukan sekadar laporan. Itu seperti komentar penonton yang sedang menonton pertunjukan.
[Sistem]
“Para Administrator menunjukkan minat tinggi padamu, Jinwoo—yang kini dijuluki sebagai ‘The Absolute’.”
“Administrator menunjukkan kebahagiaan yang tak pernah padam.”
“Administrator meminta anda... menjadi Apostle mereka.”
Puluhan notifikasi membanjiri pandangan Jinwoo. Nama-nama Administrator muncul, masing-masing dengan pesan mereka.
[Administrator The Great Soldier] – “Kami menghormatimu. Pertarunganmu mencerminkan disiplin perang sejati.”
[Administrator The Silent Oracle] – “Matamu telah melihat lebih jauh dari yang seharusnya. Kau menarik.”
[Administrator The Laughing Serpent] – “Hahaha! Bidak yang memakan Raja! Kau hiburan terbaik yang pernah kulihat.”
Jinwoo mengepalkan tinjunya.
“Keluarkan kami dari sini. Sekarang.”
[Sistem]
“Permintaan ditolak. Mustahil. Para Administrator ingin kau tetap tinggal.”
Tatapan Jinwoo mengeras.
“Jadi pada akhirnya... kami tetap hanya bahan tontonan, ya?”
Ia meraung, suaranya dipenuhi amarah.
“Dasar Administrator bajingan!!”
Selene, Ezekiel, Takeshi, dan Leonhard menatapnya dengan wajah tegang. Mereka semua sadar bahwa kata-kata Jinwoo barusan bukan sekadar ledakan emosi. Itu adalah kebenaran pahit yang harus mereka terima.
Namun, bukannya marah, para Administrator justru semakin tertarik.
[Administrator The Eternal Flame] – “Marah. Putus asa. Luar biasa... aku ingin melihatmu terbakar lebih lama.”
[Administrator The Pale Widow] – “Terjebak dalam jaring yang tak bisa kau lawan. Indah sekali.”
Notifikasi terus berdatangan. Minat mereka tidak padam. Bahkan meningkat.
Jinwoo menutup matanya, mencoba menahan ledakan emosinya. Dalam hati, ia sadar: meskipun Revenant telah dikalahkan, permainan yang lebih besar baru saja dimulai. Mereka bukanlah pahlawan yang bebas. Mereka adalah pion yang dipaksa berjalan di papan catur yang dikendalikan makhluk tak kasatmata.
Selene menggenggam tangan Jinwoo erat-erat.
“Kita... akan terus melawan. Bersama.”
Jinwoo membuka matanya. Tatapannya bukan lagi sekadar tatapan Hunter biasa. Itu adalah tatapan seseorang yang menolak tunduk, bahkan pada Administrator yang menguasai segalanya.
“Kalau begitu... biar mereka tahu,” bisiknya dingin.
“Bahwa sang Absolute tidak tunduk pada siapapun.”
Tahun demi tahun berlalu.
Dari satu Dungeon ke Dungeon lain. Dari satu Chaos Gate ke Chaos Gate berikutnya. Tidak pernah ada akhir.
Jinwoo dan timnya menaklukkan puluhan Dungeon level Chaos, setiap Dungeon setara dengan Demon King Dungeon pertama yang hampir membuat mereka hancur. Namun, meskipun satu per satu Dungeon jatuh, yang baru terus bermunculan, tak ada jeda, tak ada waktu untuk bernapas.
Bagi para Administrator, mereka hanyalah hiburan abadi.
Setiap pertarungan menjadi tontonan. Setiap air mata, setiap kemarahan, setiap kemenangan—semua ditertawakan, dipuja, dipelajari.
Sampai akhirnya, waktu yang bahkan manusia tak bisa bayangkan, telah berlalu.
2300 tahun.
Jinwoo berdiri di puncak sebuah bukit. Puncak itu sunyi, namun di bawahnya terbentang lautan mayat Boss yang tidak diketahui levelnya. Jutaan tubuh raksasa, demon lord, monster kosmik, naga kuno, dan entitas yang bahkan tak bisa dinamai, menumpuk bagai gunung. Mayat-mayat itu membusuk, namun esensi energi mereka terikat pada tanah, membuat pemandangan itu lebih menyerupai museum horor daripada medan perang.
Di antara hamparan itu, angin berembus membawa aroma kematian yang menahun.
Di puncak itu, Jinwoo hanya berdiri diam. Tatapannya kosong. Di sekitarnya, berjejer batu nisan.
Setiap nisan memikul cerita.
Sebuah buku sihir berdebu, milik Ezekiel.
Sebilah katana retak, milik Takeshi.
Sepotong sisik naga bercahaya, milik Leonhard.
Dan yang paling menusuk hati: holy staff milik Selene.
Jinwoo menatap benda itu lama. Hatinya seperti disayat ribuan kali.
Langit tiba-tiba menangis. Hujan darah turun, menutup wajah suramnya. Setiap tetes seperti beban tambahan yang menghantam bahunya. Rambut panjangnya yang acak-acakan, janggut tebal yang tak terurus, pakaian compang-camping penuh bekas pertempuran, semuanya menggambarkan seorang raja tanpa takhta, seorang pahlawan yang kehilangan segalanya.
Jinwoo tidak menua. Tidak bisa. Dia adalah Absolute.
Abadi. Tak tersentuh waktu.
Namun, rekan-rekannya... tidak. Mereka satu per satu pergi. Ada yang menyerah pada usia. Ada yang menyerah pada penderitaan. Ada yang gugur dalam pertempuran. Dan ada yang, seperti Selene, memilih mengorbankan dirinya demi Jinwoo.
Kini hanya dia yang tersisa.
Jinwoo jatuh berlutut. Air mata jatuh bercampur dengan hujan darah. Suaranya pecah.
“Maafkan aku... semuanya... aku payah...”
Bahunya terguncang. Tangan yang dulu menebas dewa kini gemetar.
“Sehingga kalian meninggalkan aku sendirian di sini... maafkan aku... maafkan aku...”
Kesunyian meresap. Namun tiba-tiba, suara familiar itu kembali.
[Notifikasi Sistem]
Endless Gate telah diselesaikan.
Seketika, sebuah portal keluar terbuka di belakang Jinwoo, memancarkan cahaya biru menyilaukan.
Jinwoo terdiam. Matanya perlahan menatap ke belakang, lalu kembali ke batu nisan. Bibirnya bergerak, suaranya nyaris tak terdengar.
“...Disaat semuanya sudah hilang... kau baru muncul...”
Ia tertawa hambar, getir.
“Sudah terlambat.”
Tangan Jinwoo gemetar ketika menunjuk ke langit. Amarahnya dingin, namun menusuk.
“Aku tahu... ini semua ulah kalian, para Administrator bajingan. Kalian tak bisa menghancurkan aku dari luar... jadi kalian coba menghancurkan aku dari dalam.”
Giginya bergemeletuk. Aura mengalir liar dari tubuhnya, mengguncang tanah.
“Kalian... mencoba mempermainkan emosi aku.”
Tiba-tiba, ia meraih layar sistem di hadapannya.
Sesuatu yang seharusnya mustahil—menyentuh layar yang intangible—seketika menjadi nyata. Tangannya meraih, mencengkeram, lalu...
CRAACKKK!
Layar itu hancur, berpecah menjadi serpihan cahaya.
Mata Jinwoo berkilat dingin, seperti jurang tanpa dasar.
“Aku sudah muak dengan sistem ini.”
Ia berbalik, menatap setiap batu nisan. Perlahan, ia berjalan mendekat. Tangannya menyentuh peninggalan satu per satu.
Buku Ezekiel. Katana Takeshi. Sisik Leonhard. Dan holy staff Selene.
Hatinya berat. Seakan setiap benda itu membawa ribuan kenangan—tawa mereka, canda mereka, jerit pertempuran, pengorbanan, cinta, dan luka.
Saat ia menggenggam staff Selene, kilatan memori meledak di kepalanya.
Selene, tersenyum lembut, berkata:
“Jika aku mati sebelum kita menemukan jalan pulang... bawalah peninggalan kami bersamamu. Jadikan itu bagian dari dirimu. Dengan begitu, kami akan selalu ikut berjuang di sisimu. Aku akan selalu ada disisi mu..”
Suara Leonhard menyusul, keras namun hangat.
“Kau selalu melangkah lebih jauh, Kapten. Kalau aku tidak bisa mengejarmu lagi... biarlah sisik ini mengingatkanmu bahwa aku pernah ada.”
Takeshi terkekeh dalam ingatan itu.
“Senpai... kau orang paling keras kepala yang pernah kutemui. Katana ini mungkin pecah, tapi semangat kita tidak pernah patah.”
Dan Ezekiel, dengan suaranya yang penuh wibawa.
“Mantra bisa hilang, buku bisa terbakar, tapi tekad... tekadmu, Jinwoo, akan menghidupkan kami selamanya.”
Air mata jatuh lagi. Namun kali ini berbeda. Tidak hanya berisi kesedihan. Ada juga api kecil yang menyala.
Jinwoo menggenggam keempat peninggalan itu, menempelkannya pada tubuhnya.
“Baiklah...” bisiknya lirih.
“Aku akan membawa kalian bersamaku.”
Hujan darah semakin deras. Petir menyambar langit. Namun Jinwoo berdiri tegak, tubuhnya yang compang-camping kini dipenuhi aura baru. Seolah keempat rekannya kembali hidup melalui dirinya.
Tatapannya menajam ke arah portal keluar yang menunggu.
Langkah demi langkah ia maju. Setiap langkah berat, tapi pasti.
Sampai akhirnya ia berdiri tepat di depan portal.
Kedua matanya berkilat, penuh tekad.
“Kalau dunia ini hanya papan catur... maka biarkan aku jadi bidak yang membalikkan papan.”
Dan dengan itu, Jinwoo melangkah ke dalam portal.