Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raka Dimana?
Hari ini ada jadwal ekskul karawitan yang dibimbing oleh pak Bowo, sehingga aku yang mengampu pelajaran bahasa Jawa pun mengikutinya. Hingga menjelang malam, kegiatan itu baru selesai. Aku yang hanya naik kendaraan umum harus berdiri di halte sekolah cukup lama. Aku tidak tau jadwal bus nya, aku pikir masih agak siang, pasti masih ada kendaraan umum.
"Bu Ajeng?" sapa seorang laki-laki berseragam putih abu.
"Raka?" aku terkejut, dengan seorang murid yang mengendarai motor gede berwarna hitam.
"Bu Ajeng mau pulang?" tanyanya.
"Iya nih, kira-kira masih ada bus ga ya, Ka? Soalnya saya sudah berdiri dari tadi kok masih belum ada yang lewat ya?" tanyaku dengan raut wajah cemas.
Pria itu melihat arloji di pergelangan tangan kirinya,
"Biasanya sudah tidak ada bu." jawab Raka sopan.
"Lah, gimana saya pulang coba kalau ga ada bus? Tau gitu, tadi aku ga nolak boncengannya pak Adnan dong." keluhku menyesal karena tadi sempat ditawari boncengan oleh Pak Adnan. Tetapi karena tak enak hati, akhirnya aku menunggu terlalu lama di sini.
"Ya sudah, ibu ikut saya saja. Saya antar." katanya masih dengan keramahan dan sopan santunnya yang ku akui jempol.
"Emang gapapa, Ka? Entar pacar kamu marah lagi." kataku.
"Aman, saya jomblo bu." jawabnya santuy.
"Oh, gitu ya? Okey. Saya nebeng ya." kataku dan akhirnya bokongku mendarat juga di jok motor belakangnya.
Raka langsung membawaku sampai ke rumah, padahal rumahku dan sekolah jaraknya satu jam perjalanan. Tapi, gapapa lah daripada aku ga bisa pulang.
💜💜💜💜
Setelah masa PKL ku usai, aku fokus dengan perkuliahanku kembali, sambil menyusun skripsi. Kebetulan, kontak pak guru pamongku masih tersimpan rapi di ponselku. Saat akan mengajukan judul skripsi, kembali aku bingung, mau melakukan penelitian di mana. Tetapi aku kembali teringat dengan SMA Veteran, tempatku PKL dulu. Sepertinya aku akan mencoba untuk melakukan penelitian di sana saja.
Di hari itu, kucoba hubungi pak guru pamongku yang tak lain adalah pak Adnan, kakak Tingkat tampanku. Dia menyampaikan kabar ini kepada pihak kepala sekolah, dan di ACC.
Lagi-lagi menjadi rejeki nomplok bagiku, karena aku bisa mengajar di tempat itu lagi, dengan didampingi pak Adnan selaku guru Bahasa Jawa yang akan membantuku menyelesaikan penelitianku.
"Bagaimana bu Ajeng, ada kesulitan?" tanyanya ramah penuh perhatian. Begitu menurutku, karena memang pak Adnan sangat baik kepadaku. Entahlah, apakah hanya kepadaku ataukah kepada yang lain juga.
"Oh, InshaaAllah aman pak. Kemarin bapak sudah bantu saya jadi ini sudah lebih mudah bagi saya menyelesaikannya." jawabku.
Karena penelitianku juga membutuhkan waktu cukup lama, karena ada ekskul karawitan di sore hari, maka aku pun mengikutinya. Hingga menjelang malam, aku baru bisa pulang. Seperti biasa, aku berdiri di halte depan sekolah, menanti kendaraan umum menuju terminal. Ya meski nanti harus oper-oper, tidak masalah, yang penting bisa pulang.
"Bu Ajeng." sapa seorang laki-laki dibalik kemudi mobil avanza hitam.
"Pak Adnan?"
"Mau pulang bu?"
"Iya pak."
"Mari saya antar saja. Karena kendaraan umum sudah tidak lewat kalau jam segini." katanya.
"Iya juga ya? Ini sudah jam lima lebih. Biasanya Raka yang menawariku boncengan, kenapa beberapa waktu ini selama aku melakukan penelitian, Raka tidak tampak di sekolahan!" batinku yang ternyata mengharapkan kehadiran Raka sebagai pangeran berkuda yang mengantarku pulang.
"Ehm...apa tidak merepotkan pak?" tanyaku ragu.
"Tidak. Mari." ajaknya lagi.
Akupun tidak menolak, dan ikut dalam mobilnya yang alus.
Sepanjang perjalanan pak Adnan banyak bertanya tentang penelitianku dan kuliahku. Aku bersyukur, bisa mendapat beberapa masukan dan saran darinya terkait skripsiku.
Hari terakhir aku ke SMA Veteran untuk penelitian, sosok anak baik itu tak nampak lagi di sekolah. Karena penasaran, akupun bertanya kepada teman dekatnya.
"Rul, Raka lama ga masuk ya." tanyaku pada Bahrul, teman Raka.
"Iya bu, Raka sudah satu bulan ini tidak masuk sekolah." jawab Bahrul.
"Lhoh, kenapa?" tanyaku heran.
"Kami juga ga tau bu. Yang jelas, dia tidak sakit." jawab Bahrul.
"Kamu tau rumahnya, Rul?" tanyaku.
"Tau bu."
"Nanti tolong anterin saya, bisa?"
"Bisa bu."
Bahrul mengantarku ke rumah itu. Rumah besar itu tampak kosong, saat kami ketok gerbang berkali-kali, akhirnya seorang wanita paruh baya keluar juga dengan tergopoh-gopoh.
"Maaf, cari siapa ya?" tanya ibu itu.
"Raka nya ada?" tanya Bahrul.
"Maaf mas, sudah satu bulan ini, mas Raka beserta ibu dan kedua adiknya sudah pergi dari rumah ini mas." jawabnya.
"Kenapa bi?" tanya Bahrul heran.
"Semenjak ibunya resmi dicerai bapak, mereka memang sudah tidak tinggal di sini mas."
"Lalu, sekarang mereka tinggal di mana bi?"
Ibu-ibu paruh baya itupun memberikan sebuah alamat tempat Raka tinggal. Dan kamipun mencari mereka di sebuah perkampungan.
"Bahrul?" Raka tampak terkejut saat pintu dibukanya.
"Aku bawa seseorang." kata Bahrul.
Aku yang masih mengenakan seragam putih hitam dan jas Almamater, melihat sosok Raka yang tampak lebih kurus dari yang dulu.
"Bu Ajeng." lirihnya saat melihat aku muncul dari belakang punggung Bahrul.
Kami dipersilakan duduk di sebuah kursi sederhana di dalam rumah, dan seorang gadis datang membawakan camilan dan tiga cangkir teh hangat.
"Silakan." katanya.
"Kamu kenapa lama tidak masuk, Ka?" tanyaku tulus.
"Gapapa bu." jawaban Raka membuatku merasa iba.
Raka menceritakan alasannya tidak berangkat sekolah. Ternyata, karena Bapaknya telah mengakhiri hubungan dengan ibunya, dan ketiga anaknya memilih ikut sang ibu. Karena itulah, Raka enggan berangkat sekolah
Diajeng pun mengambil andil, memberikan semangat pada Raka dan ibunya selama beberapa hari, supaya Raka bisa sekolah lagi.
Diajeng juga menyarankan agar Raka bisa bantu-bantu bapaknya di pasar setiap hari. Dan pak Sabari menyanggupi untuk membantu keluarga Raka dalam memenuhi kebutuhan mereka.