Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Kotor Dan Darah Murni
Tujuh hari perawatan di ruang tabib akhirnya berakhir. Udara pagi di Kastil Kaki Naga Langit masih diselimuti kabut tipis yang lembut, namun menusuk dingin ke kulit. Wēi Qiao berdiri di ambang pintu ruangan tabib, punggungnya tegak, napasnya teratur. Tatapannya tajam, namun bibirnya membentuk lengkungan tipis yang nyaris seperti senyum—senyum seorang yang tahu ke mana langkahnya akan membawanya.
Selama masa penyembuhannya, Wēi Qiao bukan hanya memulihkan luka. Ia mengamati, mendengar, dan menyimpan setiap potongan informasi yang masuk. Ia tahu bahwa kakak-kakaknya telah merebut setiap posisi pemimpin kelompok di unit masing-masing. Ia juga mendengar kabar bahwa anggota kelompok yang dipimpin saudara-saudaranya selalu babak belur—bukan karena lawan dari luar, tapi oleh tangan pemimpinnya sendiri. Fakta itu bukan hanya membuat darahnya mendidih, tapi juga menyalakan api lain dalam dirinya: api untuk membuktikan, sekaligus membalas.
Ia melangkah keluar, melewati lorong batu kastil yang panjang. Cahaya matahari pertama menembus celah-celah jendela tinggi, memantulkan kilauan samar pada lantai marmer dingin. Setiap langkahnya bergema, seakan memberi tahu dunia bahwa ia telah kembali.
Sesampainya di lapangan pelatihan, suara riuh murid-murid terdengar di kejauhan. Beberapa sedang memanaskan tubuh, yang lain mengatur formasi. Di tengah hiruk-pikuk itu, suara nyaring menyapanya.
“Eh, adik manisku sudah datang rupanya.”
Suara itu milik Wēi Xiaolan, kakak keempatnya. Senyumnya lebar, namun bukan senyum tulus—lebih seperti senyum serigala yang mencium bau darah. Ia berjalan mendekat, bahunya tegap, langkahnya santai, tapi matanya memandang Wēi Qiao seperti menilai barang yang cacat.
“Hati-hati, ya. Darah kotormu itu bisa saja membuat kelompok kita tereleminasi lebih cepat,” katanya sambil menepuk ringan bahu Wēi Qiao.
Wēi Qiao hanya menatapnya sekilas, lalu berjalan melewatinya tanpa menjawab. Tapi di dalam kepalanya, kata-kata itu diputar ulang, memancing amarah yang ia tekan dengan keras. Darah kotor? Kau yang akan menyesal mengatakannya, bajingan.
Pelatihan hari itu berlangsung ketat. Guru pendamping berteriak memberi perintah formasi, dan Wēi Qiao—meski baru pulih—bergerak tepat sesuai arahan, cepat, dan presisi. Setiap perintah perubahan formasi ia jalankan tanpa kesalahan. Setiap aba-aba ia tangkap dan eksekusi seolah ia sudah berlatih selama bertahun-tahun.
Gerakannya membuat beberapa murid lain melirik kagum, bahkan penjaga kedua yang mengamati dari kejauhan menyeringai puas. Dalam hati, penjaga itu tahu Han Longwei telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Namun, kesuksesan Wēi Qiao justru membuat Wēi Xiaolan semakin geram. Ia benci melihat adiknya itu menjadi pusat perhatian, apalagi di hadapan orang-orang penting.
Malam tiba. Udara menjadi lebih dingin, dan kabut kembali turun, menyelimuti area kastil. Murid-murid bubar menuju asrama masing-masing, namun langkah Wēi Qiao tertahan oleh tangan yang mencengkeram bahunya.
Wēi Xiaolan berdiri di depannya, matanya menyipit, wajahnya menahan amarah.
“Dengar, darah kotor seperti kamu tidak pantas satu asrama dengan kami. Kehadiranmu hanya akan menjerumuskan kami semua.”
Nada suaranya tajam, setiap kata seperti ingin memotong harga diri Wēi Qiao. Ia terus melontarkan hinaan, membeberkan kata-kata yang sengaja dibuat menyakitkan.
Dari sudut halaman, Wēi Hanfeng—kakak kelima mereka—mengamati, kedua tangannya terlipat di dada. Ia tidak ikut campur, tapi matanya tajam mengawasi, seolah menunggu hasil dari konfrontasi itu. Sementara Wēi Jianhua, kakak kedua, hanya menggelengkan kepala, terlihat muak pada sikap kekanak-kanakan Xiaolan.
“Kau sudah selesai?” tanya Wēi Qiao tenang, tapi suaranya membawa nada yang mengusik.
“Apa?” Xiaolan melotot.
Wēi Qiao mendekat setengah langkah, menatap mata kakaknya.
“Kau bilang aku darah kotor. Jadi, tanpa sadar, kau baru saja menjelekkan Kaisar Naga—kakak?”
Kata “kakak” itu ia tekan dengan sinis. Senyumnya tipis, namun tatapannya tajam seperti ujung pedang.
Xiaolan terdiam sejenak, matanya berkilat mencari alasan, tapi bibirnya tak langsung menjawab. Wēi Qiao tidak memberinya kesempatan.
“Kau tahu, darahku ini... adalah darah dari garis Kaisar Naga. Jadi kalau aku kotor, berarti kau baru saja menghina darah yang sama mengalir di tubuhmu.”
Seketika wajah Xiaolan memerah, bukan karena malu, tapi amarah yang meluap. Ia mengangkat tinjunya, hendak memukul, namun Wēi Qiao lebih cepat. Tinju kecil tapi terarah itu menghantam pipi Xiaolan, membuatnya terhuyung.
“Kau bilang apa tadi, kak? Aku nggak dengar,” ejek Wēi Qiao sambil tersenyum miring.
Xiaolan meraung marah dan membalas serangan, tapi Wēi Qiao sudah berbalik dan berlari. Tak terima dipermalukan, Xiaolan mengejarnya. Mereka berlari melewati halaman kastil, menuruni jalan berbatu, hingga menembus hutan belakang yang sunyi.
Di sebuah lapangan terbuka di tengah hutan, Wēi Qiao berhenti. Ia berbalik, menatap kakaknya yang terengah. Cahaya bulan menerangi wajahnya, dan di mata Wēi Qiao terlihat kilatan api yang membara.
“Kali ini,” katanya pelan namun penuh tekanan, “aku akan benar-benar menghajarmu.”
Udara di antara mereka menjadi berat, seakan pepohonan pun menahan napas, menunggu siapa yang akan bergerak lebih dulu.
Ngin malam di hutan belakang kastil berdesir, membawa aroma tanah basah dan suara dedaunan yang bergesekan. Cahaya bulan menembus sela ranting, memantulkan bayangan panjang di tanah. Wēi Qiao berdiri tegak, kedua kakinya sedikit merendah, tangan siap, tatapannya menusuk seperti ujung pisau.
“Kau akan menyesal menantangku, kak,” ucapnya dingin.
Tanpa aba-aba, Wēi Qiao menerjang, tubuhnya bergerak cepat seperti kilatan petir. Kedua tangannya membentuk gerakan khas Aliran Pedang Bayangan—ilmu bela diri yang mengubah tangan kosong menjadi serangan secepat tebasan pedang. Tangan kanannya menyapu dari bawah ke atas, sementara kaki kirinya memutar untuk memotong jalur mundur lawan.
Wēi Xiaolan sempat mundur setengah langkah, namun bibirnya membentuk senyum tipis.
“Bodoh… aku sudah tahu jurus itu.”
Dengan gerakan ringan namun presisi, ia memutar tubuh dan menangkis, lalu mengunci pergelangan Wēi Qiao. Dalam sekejap, ia melancarkan serangan balasan dengan Aliran Tangan Kosong Tombak Panjang—jurus khasnya yang mengubah setiap gerakan tangan menjadi tusukan dan sapuan seperti ujung tombak.
Serangan Xiaolan bukan hanya cepat, tapi juga panjang jangkauannya. Setiap kali Wēi Qiao mencoba mendekat, tangan kakaknya menusuk atau menyapu, memaksa Wēi Qiao mundur lagi dan lagi.
Dumm!
Pukulan lurus Xiaolan menghantam dada Wēi Qiao, membuatnya terhuyung mundur tiga langkah.
“Kau pikir aku kakak yang bisa kau kalahkan hanya karena punya sedikit tenaga dalam?” sindir Xiaolan.
Wēi Qiao mengatup rahang, lalu kembali maju. Gerakannya brutal—sabetan, pukulan, tendangan, semua diarahkan ke titik lemah. Tapi setiap serangan yang ia lontarkan seperti dihantam dinding besi: Xiaolan membalikkan kekuatan itu, memutar pergelangan, memblok dengan tulang lengan, dan mengembalikan momentum pada Wēi Qiao.
Kini Wēi Qiao yang tadinya percaya diri, mulai terdesak. Nafasnya memburu, keringat mulai mengalir di pelipis.
“Hanya sampai sini? Kau lemah,” kata Xiaolan sambil melangkah maju, memaksa Wēi Qiao mundur.
Namun di saat itu, sebuah suara dingin terdengar di kepala Wēi Qiao.
Aktivasi sistem micro-bots. Transfer modul pertempuran: Karate Style.
Sensasi aneh merambat di sarafnya—seperti jutaan jarum mikro menanamkan pola gerakan ke otak. Pandangannya berubah, setiap gerakan Xiaolan kini ia lihat dalam garis lintasan, sudut serangan, dan titik buta.
Ia tersenyum miring.
“Sekarang giliranku, kak.”
Dengan gerakan yang belum pernah ada di zaman itu, Wēi Qiao menurunkan bahu dan masuk ke jarak dekat, tangannya memblok tusukan Xiaolan lalu menghantam rusuk dengan gyaku-zuki (pukulan balik karate) yang keras. Xiaolan terkejut—posisi tubuh adiknya ini berbeda, tekanan kakinya berbeda, bahkan kekuatan pukulannya menyalurkan tenaga dari pinggang, bukan hanya bahu.
Pukulan, tendangan, elakan—semua mengalir cepat dan padat. Xiaolan mencoba melawan dengan Tombak Panjang, tapi justru setiap gerakannya dibaca dan dipatahkan.
Dakk! Tendangan depan Wēi Qiao menghantam perut Xiaolan, diikuti pukulan lurus ke rahang yang membuatnya terhuyung. Untuk pertama kalinya, Xiaolan benar-benar terdesak.
Napasnya berat, pandangannya sedikit kabur. Dan di tengah tekanan itu—masa lalu datang seperti gelombang.
Ia teringat… malam itu, ketika hujan deras membasahi atap kastil. Ia masih kecil, berdiri di sudut ruangan, melihat ibunya memegang sebilah belati.
“Kita harus membunuhnya, Xiaolan,” suara ibunya bergetar tapi penuh kebencian. “Kaisar Naga lebih memilih perempuan itu… lebih memilih anaknya daripada kita. Jika dia hidup, kau akan selalu jadi bayangan.”
Xiaolan kecil menangis, menatap ibunya yang penuh amarah. Tapi sebelum belati itu menyentuh targetnya, Kaisar Naga masuk—bukan untuk memeluk Xiaolan, tapi langsung meraih wanita lain yang sedang memeluk bayi Wēi Qiao.
Aku… selalu nomor dua, pikir Xiaolan di masa kini, rahangnya mengeras. Selalu… dibuang.
Namun saat kesadaran itu kembali, tubuhnya sudah terhantam pukulan memutar Wēi Qiao, membuatnya terjatuh ke tanah. Dada naik turun, wajahnya memar, dan di mata Wēi Qiao kini hanya ada ketegasan, bukan kebencian.
Wēi Qiao berdiri di atasnya, napas berat, tapi sorot mata membara.
“Kau bisa hina aku seribu kali, kak. Tapi aku akan selalu berdiri.”
Mata Xiaolan berubah menjadi bara. Ia menatap Wēi Qiao dengan tatapan penuh kebencian, rahangnya mengeras.
“SEMUA INI SALAHMU, WĒI QIAO!!!” teriaknya.
Seperti binatang buas yang terluka, Xiaolan menerjang dengan serangan membabi buta. Tinju, siku, lutut—semuanya diarahkan dengan niat untuk membunuh. Wēi Qiao mencoba menangkis, tapi gelombang serangan itu terlalu cepat, terlalu penuh dendam. Ia mulai kewalahan, tubuhnya terdorong mundur berkali-kali, bahkan beberapa pukulan sempat mendarat di bahu dan wajahnya.
Namun saat Xiaolan mengangkat tangan untuk serangan terakhir, Wēi Qiao memutar pinggang, menangkap lengannya, dan menghantamkan kepala kakaknya itu ke tanah keras.
Bumm!
Suara benturan menggema di hutan malam.
Xiaolan terhuyung lalu terkapar, pingsan. Wēi Qiao berdiri terengah-engah, darah mengalir di sudut bibirnya, namun sorot matanya tetap tajam. Ia menatap kakaknya yang terbaring, lalu berkata pelan namun tegas:
“Aku… tidak ada hubungannya dengan masa lalumu, Kak.”
Cahaya bulan membungkus tubuh Wēi Qiao, dan di udara hanya tersisa suara angin yang kembali tenang—setelah pertarungan dua saudara yang kini terpisah oleh jurang dendam.
Lanjuuuuutttt