Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Pagi itu Ubud terasa hidup dengan caranya sendiri. Suara ayam jantan bersahut-sahutan dari kejauhan, dan aroma kayu basah memenuhi udara sehabis hujan malam sebelumnya. Devan sudah lebih dulu bangun, memasak mi goreng dan telur mata sapi di dapur vila yang semi terbuka.
“Harumnya sampai ke kamar,” kata Nina yang muncul dari balik pintu, mengucek mata dengan rambut acak-acakan.
Devan menoleh. “Pagi, Putri Tertidur. Hari ini kita punya agenda padat, pasar tradisional, kelas keramik, dan... kejutan.”
Nina menyipitkan mata curiga. “Kejutan? Apa kamu mau lempar aku ke kolam lumpur lagi?”
Devan terkekeh kecil, ia langsung berlalu pergi, tidak menjawab pertanyaan Nina, membuat Nina mendelik.
Beberapa jam kemudian....
Mereka menyusuri pasar tradisional Ubud yang dipenuhi warna-warna: dari kain batik, buah tropis, hingga anyaman bambu. Nina berjalan di depan, matanya berbinar-binar saat melihat gantungan tas anyaman berbentuk bebek.
“Lucuuu!” serunya.
Devan tertawa melihat istrinya heboh sendiri.
“Pak, ini berapa?” tanya Nina pada pedagang.
“Lima puluh ribu aja, Mbak. Tapi kalau cantik kayak Mbaknya, saya kasih empat puluh!”
Nina tertawa geli. “Dengar tuh, Van. Aku cantik!”
Devan merangkul pundaknya sambil tersenyum. “Iya, dan udah ada yang punya. Maaf ya, Pak.”
Mereka tertawa, tapi saat Devan hendak membayar, dompetnya terjatuh ke bawah meja dagangan.
Ketika ia membungkuk mengambil, posisi tubuhnya justru terlihat seperti... mencium kaki pedagang!
Beberapa orang di sekitar tertawa.
“Devannnnnnn! Astaga, kamu ngapain?” Njna histeris malu.
“Aku cuma ngambil dompet!”
“Kalau dilihat dari jauh, kayak kamu... cium kaki bapak itu!”
Pedagang pun tertawa lebar. “Wah, saya jadi sungkan, Mas!”
Mereka berdua akhirnya kabur dari lapak itu sambil tertawa ngakak.
Siangnya, mereka mengikuti kelas keramik privat di pinggir sawah. Instruktur mereka seorang wanita Bali paruh baya yang ramah, bernama Bu Nita. Ia mengajarkan cara memutar roda tanah liat, membentuk mangkuk dan cangkir sederhana.
Devan duduk di belakang Nina, membantunya menahan tangan agar tetap stabil di atas roda berputar.
"Pegang pelan, jangan tekan terlalu kuat," kata Bu Nita.
“Kayak cinta, ya. Nggak bisa dipaksa,” celetuk Devan.
Nina memutar kepala. “Sok romantis banget kamu.”
“Biarin, bulan madu kan harusnya penuh kata-kata manis,” bisik Devan sambil mendekat ke telinga Nina.
Nina merinding. Tapi senyumannya lebar.
Tanpa sadar, saat tangan mereka bertaut mengaduk tanah liat, dunia seperti mengecil. Tak ada suara selain detak jantung masing-masing.
Usai kelas keramik, mereka singgah di kafe kecil dekat vila untuk minum kopi. Saat itulah seseorang menghampiri mereka.
“Devan?”
Seorang perempuan cantik berambut pendek berdiri dengan mata membulat heran.
Devan berdiri. Ia menoleh. “Astaga… Tia?”
Nina otomatis menegang.
Tia, mantan teman kuliah Devan yang dulu sempat dekat dengannya, tersenyum dan langsung memeluk Devan.
Nina memicingkan mata.
“Oh my God, kamu beneran Devan! Nggak nyangka ketemu di sini!” seru Tia. “Dan ini…?”
Devan balas tersenyum sambil menggenggam tangan Nina. “Ini istriku, Nina.” Ucap Devan.
Nina tersenyum mengangguk pelan. “Hai.”
Tia tampak terkejut. “Wah, kalian… udah nikah? Kirain kamu masih jomblo keras.”
Devan tertawa kecil. “Hidup berubah, ya.”
Mereka mengobrol beberapa menit, dan Tia akhirnya pamit.
Namun, saat Tia pergi, Nina hanya diam.
“Kamu cemburu?” tanya Devan hati-hati.
“Enggak,” jawab Nina cepat. “Cuma… dia cantik.”
Devan memegang dagunya, memaksanya menatap. “Tapi kamu istriku. Dan kamu jauh lebih cantik karena kamu satu-satunya yang bisa buat aku jatuh cinta dua kali.”
Nina menatapnya. “Dua kali?”
“Pertama waktu kita sahabatan. Kedua… sekarang.”
Nina mendengus. Namun ia juga tersenyum lebar.
Malam itu berbeda. Tak ada canggung. Tak ada ragu.
Nina mengenakan kimono tipis dan duduk di tepi balkon, menatap langit malam yang mulai berawan. Devan datang dari belakang, duduk di sampingnya, lalu menggenggam tangan istrinya.
“Terima kasih udah mau ikut perjalanan ini, Nin.”
Nina menyandarkan kepala ke bahu Devan. “Aku nggak nyangka... bulan madu kita malah jadi tempat aku jatuh cinta lagi.”
Devan mencium puncak kepala Nina. “Aku juga. Terima kasih udah jadi rumah yang paling hangat.”
Dan malam itu, tanpa banyak kata, mereka berbagi pelukan yang lebih dalam. Sentuhan yang tak lagi sekadar sahabat. Pandangan yang tak lagi canggung. Dan cinta yang akhirnya menemukan ruangnya sendiri.
*
Hari terakhir di Ubud dimulai dengan langit mendung yang lembut, seperti selimut tipis yang menyelimuti lembah dan pohon-pohon tinggi di sekitar vila. Nina duduk di tepi jendela, mengenakan sweater panjang dan memeluk bantal kecil sambil menatap keluar.
“Aku nggak mau pulang,” gumamnya pelan.
Devan yang baru saja keluar dari kamar mandi mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia menoleh dan tersenyum.
“Kalau kamu mau, kita bisa tinggal di sini selamanya. Aku jual mobil, kita buka warung kopi,” candanya.
Nina tertawa, meski senyumnya agak getir. “Tapi hidup kita nggak seindah liburan, Van.”
Devan menghampirinya, lalu duduk di lantai, menatap wajah Nina dari bawah. “Kita nggak bisa kabur dari kenyataan. Tapi kita bisa bikin kenyataan jadi rumah. Sama-sama.”
Nina menggigit bibir. Dadanya terasa penuh. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menggantung.
Siangnya, Devan mengajak Nina keluar. “Pakai baju yang cantik, tapi santai. Dan jangan tanya-tanya. Ini kejutan.”
Nina memutar bola matanya. “Devan yang ngasih kejutan? Harusnya aku takut?”
Nina hanya tertawa kecil.
Mereka berkendara menuju tempat yang Nina tak tahu. Setelah menempuh jalan sempit berbatu dan melewati beberapa rumah penduduk, mereka tiba di sebuah tebing kecil yang menghadap langsung ke hutan dan lembah Ubud.
Di sana, sudah tersedia piknik set lengkap: tikar rotan, bantal, lentera gantung, dan keranjang berisi makanan ringan serta teh melati. Semuanya tertata indah di bawah pohon besar yang rimbun.
Nina menatap pemandangan itu takjub.
“Kamu... nyiapin semua ini?”
Devan mengangguk pelan. “Dengan bantuan staf vila, ya. Tapi idenya dariku.”
“Kenapa?”
“Karena aku pengin tutup bulan madu ini dengan kenangan yang bisa kamu ingat seumur hidup.”
Nina berjalan perlahan ke arah tikar, lalu duduk. Angin sore menyentuh pipinya dengan lembut. Devan duduk di samping, membuka termos, dan menuangkan teh ke dalam dua cangkir keramik buatan mereka sendiri dari kelas kemarin.
“Kamu ingat nggak,” kata Devan pelan, “dulu waktu aku ulang tahun ke-18, kamu kasih aku jam tangan second yang kamu beli dari hasil jadi admin online shop?”
Nina mengangguk, tertawa malu. “Itu hadiah paling miskin yang pernah aku kasih.”
“Tapi juga paling berkesan. Karena aku tahu itu kamu kasih dari sisa uang jajan kamu sendiri. Sejak hari itu, aku sadar... kamu bukan cuma sahabat. Kamu seseorang yang selalu hadir buat aku, diam-diam.”
Nina menunduk. Dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Devan melanjutkan. “Aku tahu kita mulai pernikahan ini dengan cara yang aneh. Dari sahabat ke suami-istri. Tapi selama bulan madu ini... aku sadar satu hal, Nin. Aku nggak mau kita cuma jadi pasangan yang baik. Aku mau kita jatuh cinta... dan terus jatuh cinta.”
Nina menoleh. Dan Devan mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah cincin tipis dari kayu dan perak, buatan tangan lokal.
“Ini bukan lamaran ulang. Ini janji ulang. Janji bahwa aku akan mencintaimu, bukan karena aku harus... tapi karena aku mau. Sepenuh hati.”
Nina menggigit bibirnya. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu tahu...” suaranya bergetar, “...sepanjang pernikahan ini, aku takut, Van. Takut gagal. Takut nggak bisa jadi istri yang kamu inginkan. Tapi kamu... kamu terus sabar, terus hadir, dan nggak pernah maksa aku jadi apa-apa.”
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Dan sekarang, di tempat ini... aku sadar. Aku jatuh cinta lagi. Bukan dengan sosok Devan yang dulu. Tapi Devan yang sekarang. Suamiku. Temanku. Rumahku.”
Devan menatapnya, matanya juga basah.
Nina memeluknya erat, sangat erat. “Aku siap jatuh cinta setiap hari sama kamu. Meski nanti kita balik ke rumah, ke rutinitas, ke tuntutan keluarga... aku udah tahu: kamu adalah pilihanku.”
Malam itu di vila, mereka tidak banyak bicara. Mereka duduk berdua di ranjang, membiarkan sunyi bicara.
Ketika akhirnya pelukan berubah menjadi ciuman yang lembut dan dalam, tidak ada lagi rasa asing. Tidak ada lagi jarak.
Dan ketika malam makin larut, dan cahaya lilin menerangi kulit mereka yang bersentuhan, tidak ada yang buru-buru. Mereka bukan lagi dua orang yang saling menahan. Mereka adalah dua hati yang akhirnya benar-benar menerima.
Itu bukan malam pertama mereka sebagai suami istri. Tapi itu adalah malam pertama mereka sebagai sepasang kekasih yang benar-benar saling mencintai.
Keesokan paginya, sebelum pulang
Saat matahari perlahan menyusup dari celah tirai, Nina membuka mata dan melihat Raka masih tertidur di sampingnya.
Ia tersenyum. Menciumnya pelan di kening.
“Terima kasih,” bisiknya. “Udah nggak cuma jadi sahabat. Tapi jadi cinta pertamaku... untuk kedua kalinya.”
Deva. menggenggam tangan Nina tanpa membuka mata. “Dan kamu cinta terakhirku. Satu-satunya.”