Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Angin Minggu sore berhembus lembut di tanggul Kali Brantas, menyapu pucuk-pucuk padi yang melambai perlahan seperti menari. Udara membawa harum lumpur dan dedaunan yang mengering — aroma khas tepian kali yang menenangkan.
Seperti biasa, anak-anak muda berkumpul di sana. Beberapa duduk berselonjor, bercengkerama, ada yang memetik gitar, dan sebagian lagi sekadar memandangi air yang mengalir, seolah sedang membaca arah takdir.
Wiji duduk menyendiri di ujung tanggul, di atas bangku bambu wulung yang agak miring karena dimakan usia. Ia duduk bersila, pandangan matanya kadang menunduk, kadang mengarah ke ujung jalan — menanti Asmarawati.
Ia teringat janjinya pagi tadi bersama Asmarawati. Mereka sepakat bertemu di tempat ini. Tapi hingga matahari mulai miring ke barat dan bayangan pohon makin panjang, sosok yang dinantikan belum juga datang. Sementara waktu terus melaju dalam diam, seperti perahu yang hanyut perlahan di aliran sungai.
Di seberang jembatan, di bawah warung angkringan milik Yu Kastun yang sederhana, terlihat sekelompok bapak-bapak petani duduk santai. Mereka menikmati kopi panas dan wedang jahe sambil berbincang penuh gelak tawa. Obrolan mereka yang khas dan kocak melayang terbawa angin hingga ke seberang kali.
"Nyawang cagak, kleru temboke!"
"Ngesir anake, kenek babone!"
"Wkwkwkkkkkk...!" Tawa mereka meledak keras, membelah keheningan senja.
Suara mereka seperti genta desa, jujur dan lepas — mengundang senyum siapa pun yang mendengarnya.
Wiji tersenyum simpul, meski wajahnya masih menyiratkan harap. Ia menengadah pada langit jingga yang mulai dilukis senja, lalu memejamkan mata sejenak. Angin masih berembus, lembut namun dalam, seolah menyampaikan kabar dari kejauhan:
Asmarawati akan datang, tapi seperti biasa — dengan langkah pelan dan kejutan yang tak pernah bisa ditebak.
"Kukira sampean lupa, Mas..."
Suara itu datang pelan, namun cukup untuk mengejutkan Wiji yang masih melamun memandangi aliran sungai Brantas. Ia menoleh cepat — dan di sampingnya, entah sejak kapan, Asmarawati telah duduk. Rambutnya dibiarkan tergerai, sedikit berantakan disapu angin sore.
"Aku adalah orang yang tidak mudah melupakan," jawab Wiji sambil tersenyum. Senyum yang tak terburu-buru, tapi penuh ketenangan, seperti aliran kali Brantas yang mengenal alurnya sendiri.
Asmarawati menunduk sedikit, tersipu. Matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa diucapkan, dan ia hanya membalas dengan senyum tipis — cukup untuk membuat waktu jeda sejenak di antara mereka.
Seperti yang lalu-lalu, mereka duduk bersebelahan di bangku bambu wulung yang mulai ringkih. Tak banyak kata, tak ada tanya. Diam mereka bukan hampa, melainkan ruang yang penuh makna. Seakan kehadiran satu sama lain telah menjadi bahasa itu sendiri.
Angin senja menyusup di antara daun akasia dan bayangan jembatan, mengusap wajah mereka seperti tangan ibu yang mengelus sayang. Sementara arus kali Brantas mengalir deras, menyuarakan sesuatu yang tak perlu diterjemahkan.
Di tengah riuh suara petani yang masih bersenda gurau di angkringan seberang, Wiji dan Asmarawati tetap diam. Tapi hati mereka bicara — lewat tatapan, lewat hembusan nafas, lewat kebersamaan yang tak menuntut.
Pertemuan itu bukan tentang kata-kata. Ia adalah tentang hadir, tentang cukup — dan tentang dua jiwa yang tahu: mereka tak sedang menunggu, tapi sedang mengalami.
******
“Eh, Tung! Tung! Coba lihat itu… sepertinya itu Wiji!” seru Tejo sambil menunjuk ke arah tanggul dari warung Yu Kastun.
Untung yang tengah menyeruput kopi langsung menoleh cepat. “Mana? Di mana?”
“Eh, bukan ke situ, Gorila! Tapi di sana, di tanggul!” Tejo mendengus, lalu memutar badan Untung ke arah yang benar.
Untung menyipitkan mata, mencoba mengenali dari kejauhan. “Munyuk! Ngapain dia? Sama siapa itu?”
“Sepertinya itu Asmarawati. Iya loh, sinden... anaknya Pak Dalang Ratmoyo,” jawab Tejo sambil mengangkat plastik berisi es teh dan menggoyang-goyangkannya pelan.
Sambil malangkerik — menggaruk kepala yang tak gatal — Untung mengangguk-angguk penuh dugaan. “Oh, pantesan. Akhir-akhir ini kalau nonton wayang Pak Ratmoyo, dia betah sampai fajar, sampai ayam jago berkokok. Ternyata ada maksudnya to? Ya wis, biarkan saja. Kita tunggu saja dia di sini.”
Lalu ia membaringkan tubuhnya di atas amben bambu di warung emaknya, tangannya dijadikan bantal, matanya memandang langit-langit penuh jaring laba-laba.
Tapi Tejo justru mulai gelisah, matanya masih terpaku pada arah tanggul. “Kok aku malah pingin nyamperin, ya…”
“Jangan, lho! Mau ngapain kamu ke sana? Mau jadi obat nyamuk?” sergah Untung, duduk setengah bangun sambil melirik tajam.
“Ya pingin ngerti aja… hehehe,” jawab Tejo sambil nyengir tak berdosa.
“Iya, udah sana… pergi sekalian. Nih, aku sangoni Baygon!” canda Untung sambil mengambil botol baygon semprotan kosong dan mendorong Tejo dengan kakinya.
Tejo terkekeh. “Hehehehe… gak jadi, Tung. Aku nyerang es teh saja di sini. Ckckckck…”
Tawa mereka pecah berdua, bergema di antara suara sendok yang bersenggolan di gelas dan obrolan bapak-bapak petani yang belum juga surut.
“Munyuk!” gerutu Untung, lalu melemparkan bantal tipis ke arah Tejo, yang dengan cekatan menangkapnya, masih tergelak tawa.
Sudah hampir setengah jam mereka duduk bersisian di atas tanggul Kali Brantas itu. Tanpa kata. Tanpa canda. Hanya angin yang mengusap pelan wajah mereka, dan kicau burung prenjak yang bersembunyi di rerimbunan bambu, bersiul lirih seolah tahu: di antara mereka sedang terjadi sesuatu — yang tak perlu dijelaskan.
Barangkali cinta memang tak butuh terlalu banyak kata. Tak butuh rayuan panjang, atau penjelasan-penjelasan rumit yang justru mengaburkan rasa. Ia hanya butuh kehadiran. Diam yang tak terasa canggung. Jarak yang tak harus didekatkan, namun justru menenangkan.
Dan mereka — Wiji dan Asmarawati — tengah mengalami itu. Duduk berdua, berjarak satu depa, menatap ke arah yang sama: ke langit yang mulai meremang. Ke matahari yang pelan-pelan meluruh ke barat, melukis permukaan air dengan semburat merah jingga yang hangat.
Keadaan ini tak memerlukan perubahan. Tidak juga tambahan. Karena seperti ini pun sudah cukup:
Hanya duduk berdua. Menanti senja. Menunggu temaram tiba.
Sederhana. Tapi dari situ, pertemuan mereka menjelma jadi seperti puisi. Sebait sunyi yang penuh arti. Sejelas bayangan senja yang mengapung tenang di permukaan air kali — tak bergerak, namun tak bisa dilupakan.
Berikut penyempurnaan adegan tersebut dengan nuansa humor khas anak kampung, tetap hangat dan jenaka, namun dibuat lebih rapi dalam alur dan pilihan diksi agar mengalir natural:
“Kira-kira mereka ngobrolin tentang apa ya, Tung?” tanya Tejo sambil memicingkan mata, memperhatikan Wiji dan Asmarawati yang masih duduk bersisian di tanggul sana.
“Ngobrolin kucing beranak, kali!” jawab Untung asal njeplak, sambil terus rebahan di atas amben warung Yu Kastun.
Tejo mendelik, agak sewot. “Ngaco kamu, Tung! Asal njeplak saja. Mana mungkin mereka ngobrolin kucing beranak. Jangan mentang-mentang kucing Emakmu kemarin baru beranak lima, terus kamu bawa-bawa ke sini. Jangan-jangan kamu yang bikin hamil kucingnya!”
Untung langsung bangkit setengah duduk. “Eh, Munyuk! Cangkem-mu itu lho, yang asal njeplak. Lagi pula pertanyaanmu itu juga menimbulkan pertanyaanku: mana aku tahu mereka ngobrolin apa? Wong aku juga nggak dengerin!”
Sambil tertawa cengengesan, Tejo mencoba menenangkan Untung. “Hehehe... sabar, Tung! Sabar... Jangan emosi! Aku cuma penasaran, kok. Masak melihat dua orang duduk berduaan di senja yang romantis gitu, nggak bikin penasaran?”
Untung menghela napas panjang, lalu melempar bantal kecil ke udara, sebelum menangkapnya sendiri. “Yowes, kalau penasaran ya susul saja sana, Munyuk! Tanya langsung, biar gak usah bikin teori aneh-aneh.”
Tejo memandang ke arah tanggul, lalu mendelik ke Untung. “Sama kamu, yuk!”
Untung buru-buru memalingkan wajah, lalu menutup mukanya dengan bantal. “Ora sudi! Duh, aku geli bayanginnya... nanti malah jadi figuran pengganggu kisah cinta.”
Tejo tertawa keras. “Hahahaha, Cuk... berarti kamu ngaku, mereka emang lagi cinlok, ya?”
Untung diam sebentar, lalu dari balik bantal menjawab lirih, “Ora ngerti... tapi ya kelihatan, to? Senyumnya Wiji itu, loh... beda.”
Mereka berdua pun terdiam sejenak. Keduanya melirik lagi ke arah tanggul. Di kejauhan, senja makin tenggelam, dan dua sosok itu masih duduk tenang di bawah langit yang menggelap perlahan.
Kurang seperempat lagi, senja akan ditelan ujung bumi. Langit perlahan berubah dari jingga ke abu-abu keunguan, seakan waktu sedang menghapus lukisan terakhir hari itu.
Wiji mulai gelisah. Bukan karena hati yang resah, tapi karena nyamuk-nyamuk sawah mulai berdatangan, berkerumun di sekelilingnya — mengitari kaki, menggoda telinga. Ia mengibas-ngibaskan tangan, sesekali menepuk pelan betisnya. Tapi ia bertahan, tak ingin merusak keheningan yang sedang tumbuh di antara mereka.
Sementara itu, Asmarawati masih diam. Wajahnya tetap menghadap ke arah barat, matanya tak lepas dari riak air dan garis cakrawala yang mulai memudar. Tak ada satu pun kata keluar dari bibirnya. Tapi dari caranya duduk, dari lengkung halus pada alis dan tatap matanya yang dalam, Wiji tahu: pikirannya sedang mengembara jauh. Entah ke mana.
Angin sore makin kencang, bertiup dari sela-sela rumpun bambu dan belukar di tepi kali. Daun-daun akasia di sekitarnya bergoyang seperti tangan yang melambai perlahan. Bayangan pepohonan itu menari di atas permukaan air, terpecah-pecah oleh arus dan cahaya senja.
Wiji melirik ke arahnya. Ia ingin berkata sesuatu, mungkin menawari pulang, atau sekadar bercanda untuk memecah suasana. Tapi kata-kata seolah segan keluar. Diam Asmarawati terlalu tenang untuk diganggu. Dan kadang, justru dalam diam itulah hati bisa saling menyentuh paling dalam.
Tiba-tiba Asmarawati berdiri. Dengan suara pelan ia berkata, "Sudah hampir surub, Mas... Aku harus pulang. Terima kasih, karena panjenengan sudah mau menemani aku sore ini."
Wiji menoleh perlahan, menatap wajahnya yang kini berselimut cahaya senja terakhir. Ia tersenyum, tipis dan datar, tapi cukup untuk menyiratkan keikhlasan.
"Akupun juga berterima kasih, karena kamu sudah menemaniku. Sekarang pulanglah... periksa dulu barang bawaanmu. Jangan sampai ada yang ketinggalan lagi."
Asmarawati mengangguk pelan sambil tersenyum. "Aman, Mas... Aku pulang."
Ia melangkah menuju motornya, menyalakannya dengan sekali pencet. Deru mesin matic itu terdengar lembut, nyaris tenggelam dalam desau angin. Wiji berdiri mematung di tempat, menatap punggungnya yang menjauh.
"Baik... hati-hati di jalan," ucapnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Matahari silam sepenuhnya dari langit Wonosari. Senja menyerah pada malam, dan tanggul Kali Brantas perlahan terbenam dalam balutan gelap. Siluet-siluet pohon menjadi bayang samar yang tak lagi dikenali. Suara jangkrik mulai mendominasi, menyatu dengan dengungan nyamuk sawah yang kini berdengung di dekat telinga Wiji. Ia masih berdiri di sana — seorang diri, seakan belum siap meninggalkan sore itu.
Tiba-tiba, dari balik semak alang-alang di pinggir tanggul, muncul dua sosok bayangan. Tubuh mereka samar dalam gelap, namun langkah mereka cukup jelas untuk menggugurkan kesunyian.
Wiji menoleh. Instingnya siaga. Dua pasang kaki melangkah mendekat. Rumput ilalang merunduk saat mereka lewat.
“Eaaaaa... ngapain kamu di sini?” bentak Untung tiba-tiba, sambil menerkam kedua pundak Wiji dari belakang seperti gorila lapar.
Wiji yang sedang melamun diterpa gelap sontak tersentak. “Jancuk! Apa-apaan sih kalian ini? Datang-datang ngagetin orang!”
Tejo pun muncul dari balik semak dengan gaya centilnya, sambil goyang-goyang pinggul entah menirukan siapa. “Cieeee... yang habis PDKT! Habis duduk berdua sama sinden desa. Uhuyyyy...”
Wiji hanya menghela napas. Pandangannya dingin, bibirnya datar. “Sudah, kalian jangan banyak polah!” ujarnya ketus, lalu langsung berlalu begitu saja. Kakinya melangkah cepat menuju motor, dan dalam hitungan detik suara mesin sudah meraung kecil.
“Eh, Munyuk! Mau ke mana kamu?” teriak Untung setengah bercanda, setengah bingung.
Dari atas motor, Wiji menoleh sebentar sambil menjawab pendek, “Pulang.”
Lampu belakang motornya menyala merah, lalu menjauh perlahan menembus gelap yang menggantung di atas tanggul Kali Brantas.
Namun sebelum sunyi kembali mengambil alih, Tejo berteriak keras sambil menangkupkan tangan ke mulut. "Calon mantunya Pak Ratmoyoooo!”
Tawa mereka meledak berdua, menghilangkan sisa-sisa kesan romantis yang sempat tersisa di udara.
Angin malam pun ikut tertawa pelan, menyapu dedaunan, seolah mengamini: Cinta di desa memang tak pernah sepi dari sorakan... meski hati tak selalu pandai menjawabnya.
*********
"Mas!..."
Tepat pukul sepuluh malam, sebuah pesan WhatsApp dari Asmarawati muncul di layar ponsel Wiji. Layar yang semula redup, kini bersinar — seolah ikut berdebar karena nama pengirimnya.
Wiji yang sedang rebahan di kamarnya langsung sigap meraih ponsel dan mengetik balasan.
"Kenapa, Dek?"
"Panjenengan ndak sibuk, kan?" muncul balasan dari Asmarawati, cepat dan manis.
"Iya, aku sibuk… sibuk membalas pesan dari kamu!" tulis Wiji, disertai emoji tertawa terbahak.
Tak lama kemudian, muncul pesan baru.
"Aaaaaa… Aku serius, Mas!"
Ditambahi emoji menangis yang justru membuat Wiji tersenyum geli.
Ia tertawa pelan, mungkin sama seperti kamu yang juga ikut tersenyum saat membaca bagian ini.
"Aku cuma bercanda, Dek. Memangnya ada apa sih?"
Asmarawati mengetik agak lama, sebelum akhirnya pesan balasan darinya datang juga.
"Aku cuma ingin tanya... Tadi aku ndak ngrepotin panjenengan to? Karena sudah minta temani aku duduk di tanggul?"
Pesan itu muncul bersamaan dengan perut Wiji yang tiba-tiba terasa mules, slemet-slemet seperti tersengat listrik.
Tanpa buang waktu, Wiji cancut taliwondo — lari terbirit-birit menuju jamban, lalu duduk termenung di atas kloset, ditemani bunyi air kran yang menetes dan... ponsel yang masih menyala.
Di sana, dalam keheningan toilet yang sakral, Wiji membalas: "Oh, ndak kok, Dek. Justru aku senang bisa menemani dudukmu di tanggul Brantas tadi."
"Serius lo, Mas?"
"Serius. Sungguh-sungguh serius."
Sambil melenggak-lenggokkan badannya — berusaha mendorong ‘sesuatu’ yang menyumpal itu agar segera keluar dari perut — Wiji terus mengetik.
Mereka pun larut dalam percakapan via teks hingga larut malam. Topiknya itu-itu saja, tapi justru di situlah manisnya:
tentang senja di tanggul,
tentang pentas wayang,
tentang motor yang mogok,
tentang selendang yang tertinggal,
dan tentu saja... tentang mereka yang duduk berdua — hanya duduk-duduk tanpa kata, tapi dunia seakan ikut diam.
"Kapan kamu pentas lagi? Aku mau nonton wayang sampai pagi!" tulis Wiji.
"Mau nonton wayang, apa nonton aku?" balas Asmarawati, ditambahi emoji menangis yang lucu.
"Ya dua-duanya dong. Kan sama-sama kelihatan."
"Tapi fokusnya ke mana?"
"Kalau diperbolehkan… fokus ke kamu saja."
Ketik Wiji yang ditambahi Emoji cekikikan.
"Aaaaaaaa… kok ngono to!" balas Asmarawati, dengan emot tangisan yang kali ini tampaknya bukan sedih, tapi ge-er.
Lalu menyusul pesan berikutnya: "Iya, nanti kalau ada pentas lagi aku kabari. Tapi besok aku ngejob di acara pawai di Bahrul Hayat. Kalau mau… sampean temani aku, ya?"
"Oke! Oke! Siap!" balas Wiji, semangat.
Tanpa terasa, waktu merayap ke angka 23.30. Senyap menyelimuti desa, dan percakapan mereka mulai meredup, seperti lampu minyak yang kehabisan sumbu.
Pesan terakhir dari Asmarawati pun muncul: "Sudah dulu ya, Mas. Kita lanjut besok. Aku mau istirahat dulu. Njenengan juga istirahat, nggih. Sugeng dalu."
Wiji membalas singkat, namun hangat:
"Oh iya. Sugeng dalu ugi, Dek."
Layar ponsel kembali redup. Tapi di dada Wiji, percakapan itu masih menyala — seperti lampu kecil yang tak padam meski malam sudah larut.