Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
🌼🌼🌼
"Gue jadi milik lo? Cewe bego kek lo? Lo dan Rania nggak bisa disamain," cibir Saka dengan tatapan merendahkan.
Elea tersenyum kecut. "Ah, gitu kah? Kita bisa liat apakah pandangan lo akan berubah terhadap gue dan Rania, Saka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9| Ingatan yang Samar
Langkah kaki jenjangnya berhenti, menoleh ke arah belakang di mana David berada. Elea mendesah berat, David mengikis jarak di antara mereka berdua.
"Lo keluar dari Sky Mansion, El?" David menyorot wajah Elea dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan.
Elea bergumam tak jelas, David tidak paham bagaimana caranya Elea hidup selama ini. Gadis ini benar-benar keras kepala, dan nekat. Bagaimana bisa ia keluar dari rumahnya, tempat yang susah payah ia temukan.
"Yang harusnya keluar dari sana itu Rania, bukan lo, El," sambung David.
"Gue lelah, gue lagi nggak mau ngomong hal kek ginian," balas Elea lirih.
Kepala David mengangguk. "Oke, kalo lo lagi nggak mau ngomong hal ini. Soal lomba piano, lo yakin mau masuk?"
"Ya, kenapa? Lo nggak yakin gue bisa menang?" Elea mengerutkan pangkal hidungnya.
David mendesah berat, kepalanya mengeleng. "Gue yakin lo bisa, Elea. Hanya aja kenapa lo harus nyia-nyiain waktu lo buat hal yang nggak penting. Di saat kek gini, yang perlu lo lakuin adalah mengejar ketertingalan lo. Ada banyak yang belum lo pelajari Elea, dan mungkin lo nggak tau hal ini. Saham perusahaan lo itu 50 persen atas nama lo. Sementara 50 persen lagi terpecah, saham ini milik Nenek dan Kakek lo. Mereka mewarisin ke lo, ini yang harusnya lo ambil," beber David dengan intonasi nada rendah.
"Lo, tau hal ini dari mana?" Elea menatap David dengan pandangan menyelidik.
"Lo lupa siapa Nyokap gue, huh? Nyokap gue tim kuasa hukum keluarga Baskara," jawab David mengingatkan apa pekerjaan ibunya.
Elea termenung, apakah David benar-benar bisa Elea percaya. Pemuda ini memang begitu ramah padanya tapi, David pun akrab dengan sang kakak.
"Elea!" seruan di seberang sana mengalihkan fokus keduanya.
David sontak saja ekspresi wajah masam di saat ia mendapati Gala melangkahkan terburu-buru mendekat ke arah mereka, sementara Elea menarik sebelah sisi alis matanya ke atas.
"Gala," panggil Elea di saat Gala berdiri di sampingnya.
"Ada yang ingin gue bicarin sama lo," ujar Gala.
"Apakah lo nggak liat gue lagi ngomong sama Elea, Gala?" sela David kesal.
Gala melirik ke arah David dengan ekspresi datar, pemuda satu ini jelas sekali tidak menyukai dirinya. Gala sama sekali tidak peduli dengan cara David menatap ke arahnya, yang jelas Gala sangat butuh Elea saat ini.
"Kita bicara di taman belakang," sahut Elea, "Dav! Lo balik aja duluan. Gue ada yang harus gue omongin sama Gala."
David menahan pergelangan tangan Elea di saat gadis cantik itu akan bergerak meninggalkan David, Elea menoleh ke arah David dengan ekspresi bertanya.
"Gue nggak tau ada urusan aneh apa antara lo dengan bajing*n satu ini, El. Tapi, satu hal yang harus lo ketahui. Dia adalah mantan kekasih gelap, Rania. Dia nggak akan pernah berpihak ke lo, El. Jangan sampek lo ketipu," tutur David cemas.
Gala mendengus mendengar perkataan David, sementara Elea mendesah kasar. Elea melepaskan cekalan tangan David pada pergelangan tangannya, Elea menipiskan bibirnya.
"Gue tau," jawab Elea santai, "karena itu gue lebih butuh dia."
David membeku, Elea membalikkan tubuhnya melangkah meninggalkan David sendirian di lorong gedung sekolah. David mengerang frustrasi, ia ingin Elea lebih membutuhkan dirinya dibandingkan lelaki mana pun.
"Padahal gue yang lebih peduli sama lo, El! Kenapa lo nggak bisa ngeliat gue, kenapa?" monolog David kecewa bukan main.
...***...
"Apa yang lo, omongin," titah Elea.
Kedua tangannya dilipat di bawah dada, memilih membelakangi Gala. Pemuda itu mendesah berat, harga diri yang tinggi sekarang tidak ada gunanya bukan. Nyatanya uang lebih dibutuhkan oleh Gala.
"Gue siap jadi budak lo," tutur Gala, "gue akan ngelauin apapun buat lo, asalkan lo bisa bantuin keluarga gue."
Ekspresi pongah Gala berubah memelas, dia dulunya adalah seorang tuan muda. Berasal dari keluarga kaya, Gala tidak pernah kekurangan. Tapi, sekarang Gala tidak bisa berbuat banyak.
Elea membalikkan tubuhnya kepalanya mendongak menatap lurus ke arah mata Gala, sorot mata putus asa. Benar, uang lah yang menjadi tahta tertinggi dalam kehidupan. Uang membuat siapa pun menjadi siap membuang harga diri, Elea pernah merasakan bagaimana kuasa uang begitu menakutkan.
"Dan apakah lo bisa nyakitin gadis yang masih lo cintai?" tanya Elea, "melukai Rania."
Gala menegang, pupil matanya melebar. Bibirnya bergerak-gerak kecil, seakan-akan tidak tahu harus menjawab apa.
"Ah, itu aja lo nggak bisa jawab. Lupain aja tawaran gue," lanjut Elea.
"Gue dan Rania udah nggak punya hubungan apapun, dia pun nggak akan pernah terluka karena gue. Karena bagi Rania hubungan kita di masa lalu cuma fatamorgana, berbeda dengan Saka. Dia sesungguhnya pasangan Rania," tutur Gala panik.
Elea terkekeh serak. "Gala, oh, Gala. Lo pikir gue begok, gue punya mata buat menilai gimana hubungan kalian berdua. Dia sungguh mencintai lo tapi, nggak bisa ngelepasin Saka. Karena Saka merupakan kekuatan terbesar untuk Rania tetap tegak dengan berani, meskipun gue putri yang asli udah kembali. Lo jauh lebih bisa nyakitin Rania," koreksi Elea pada pernyataan Gala.
Kepala Gala menunduk, ia meneguk kasar air liur di kerongkongannya. Mampukah Gala menyakiti Rania, Gala tulus pada gadis cantik itu. Mereka saling mencintai dan saling memilih prioritas di kehidupan mereka. Jika Rania memilih melindungi tempat duduknya, maka Gala lebih memilih melindungi keluarganya.
"Gue kasih lo waktu untuk berpikir Gala, nggak usah terburu-buru. Datangin gue di saat keputusan lo udah bulat." Elea melangkah meninggalkan taman belakang.
Gala menyugar kasar surai hitam legamnya, kepalanya menengadah.
...***...
Denting suara piano berhenti mengalun, Isyana mengerutkan dahinya. Melirik ke arah Elea, gadis aneh yang sulit untuk Isyana prediksi apa yang ada di otaknya.
"Lo yakin, kalo lo pertama kali main piano?" tanya Isyana berdiri di belakang Elea.
Kepala Elea mengangguk ragu. "..., gue rasa, gitu."
"Nggak mungkin, ini pertama kalinya gue dengerin orang pertama kali nyoba main piano bisa bermain tanpa melihat partitur. Dari kecepatan tangan dan nada-nada yang keluarkan, gue nggak yakin kalo lo sebelumnya nggak pernah bermain piano," ujar Isyana mengerutkan pangkal hidungnya.
Elea menggaruk leher belakangnya, ia tidak sadar bisa bermain piano dengan lagu yang baru saja ia mainkan.
"Mungkin gue jenius," sahut Elea asal.
Isyana berdecak, dan tersenyum setelahnya. "Ah, iya juga. Lo bilang nggak ingat soal kenangan di masa kecil lo 'kan? Bisa jadi sebelum lo ngilang lo suka bermain piano. Bukan tanpa alasan kenapa Rania memilih bermain piano bukan?" ujar Isyana, yang sebenarnya tidak begitu serius untuk menebak-nebak alasan Elea bisa bermain dengan lincah tanpa melihat partitur.
Elea terdiam, jari jemarinya menyentuh permukaan tuts piano. Kedua kelopak matanya terpejam, jari jemarinya menekan setiap tuts yang ia lewati.
"Elea benar-benar berbakat bermain piano, Bu Ketua."
"Cucuku yang cantik benar-benar mengagumkan."
"..., di—dia jangan biarkan hidup—"
"ELEA!"
Isyana menepuk keras kedua sisi bahu Elea di saat jari jemari tangan Elea menekan serentak dan ditahan pada tuts piano menimbulkan bunyi menyakitkan gendang telinga.
Kelopak mata Elea terbuka, suara-suara aneh itu membuat dahi Elea berkeringat. Elea memijit pangkal hidungnya, dahinya terasa berdenyut.
"Apa itu tadi?" gumam Elea rendah.
"Apanya?" tanya Isyana yang mendengar pertanyaan Elea.
Elea mengeleng, ia bangkit dari posisi duduknya. Menarik napas dan mengembuskannya perlahan, Isyana nampak khawatir.
"El!" Isyana berseru menahan tangan Elea. "Lo berkeringat dingin, El! Badan lo mendadak dingin banget, El."
Elea mengeleng, ia melepaskan tangan Isyana. Mengayunkan langkah kakinya, baru 2 langkah kakinya diayunkan rasa pening menghantam kepalanya. Suara Isyana melengking memanggil Elea, suara Isyana semakin mengecil dan menghilang bersama dengan kesadarannya yang ikut menghilang.
Bersambung...
semangat 💪💪💪