Sebuah Cinta mampu merubah segalanya.Begitulah kiranya yang akan dirasakan Mars dalam memperjuangkan cinta sejatinya.
gaya hidup Hura Hura dan foya foya berlahan mulai ia tinggalkan, begitu juga dengan persahabatan yang ia jalin sejak lama harus mulai ia korbankan.
lalu bisakah Mars memperjuangkan cinta yang berbeda kasta, sedangkan orang tuanya tidak merestuinya.
Halangan dan hambatan menjadi sebuah tongkat membuatnya berdiri tegak dalam memperjuangkan sebuah cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yunsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Siang ini Amara bergegas pulang, ia tidak ingin bertemu dengan Mars, karena di sepanjang pelajaran otak Amara berperang dengan perasaan nya. Walaupun hatinya sangat ingin bisa berdekatan dengan Mars, namun di sisi lain ia bertanya pada dirinya sendiri, pantaskah ia untuk bisa berdekatan dengan Mars.
Mars adalah Pria tampan, paling populer di kampus dan anak orang kaya. Sedangkan dirinya?? Amara harus bercermin jika dirinya hanya anak pembantu, penjaga apartemen tidak ada kelebihan yang bisa ia pantaskan untuk bisa bersanding dengan Mars.
Terlebih ucapan Ayahnya yang melarang dirinya berteman dengan seorang pria, membuat hatinya menjadi berubah pikiran untuk melanjutkan pendekatannya dengan Mars.
Amara sengaja mematikan ponselnya, ia takut jika Mars menghubungi nomornya. Benar saja baru ia hendak keluar dari kelas terlihat Mars berjalan naik tangga, Amara nyakin jika Mars ingin menjemput dirinya di kelas. Sebelum Turun ke lantai dasar, Amara sembunyi di belakang tembok agar dirinya tidak terlihat oleh Mars.
Amara memperhatikan Mars yang benar menghampiri kelasnya yang sudah kosong, dan terlihat ia mencoba menghubungi nomor seseorang namun nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif membuat Mars memperlihatkan wajah kesal dan kecewa. Begitu melihat Mars pergi meninggalkan kelas, Amara dengan langkah hati hati, dan sembunyi agar mereka tidak bertemu dengan Mars nantinya, memilih jalan pintas dan segera meninggalkan gedung sekolah secepatnya. Beruntung Amara tidak berpapasan atau bertemu Mars sampai ia di rumah.
Amara menaruh tasnya di ranjang, dan ia menatap layar ponselnya lama. Hatinya ingin mengaktifkan ponsel itu, namun otaknya melarang agar tidak membuka ponsel itu sekarang membuatnya hanya bisa meneteskan air mata karena perang perasaan. sampai akhirnya Amara hanya mampu memeluk ponsel itu tanpa mengaktifkan kembali, dan ia tertidur dengan pelukan bersama ponsel di dadanya yang ia dekat dengan kedua tangannya.
Pagi harinya Amara hendak berangkat ke kampus, ia melihat Amar sedang memanasi sebuah motor CBR dengan warna merah di halaman depan gedung.
"Motor siapa ini?" tanya Amara pada Amar yang terus memainkan gas motornya.
"Tentu saja motorku. Aku sudah dua bulan bekerja, aku bisa kredit motor sendiri dengan DP uang gajiku selama dua bulan ini. Tidak sepertimu, menyusahkan orang tua saja bisanya." celetuk Amar membuat emosi Amara naik, jujur saja Amara menyesal sudah bertanya pada saudara kandungnya yang sangat menyebalkan baginya.
"Kenapa wajahmu? Apa aku salah berucap, kamu memang dapat beasiswa, tapi uang sakumu dari mana?" sambung Amara membuat Amara jengkel dan karena emosi ia memukul Amar dengan tas yang semula ia pakai di pundaknya.
"Pagi Amara. Kenapa kalian?" tanya Rebbeca yang baru saja keluar dari gedung apartemen dan mendekati Amar dan Amara di halaman.
"Rebbeca??" ucap Amara seraya memeluk sahabatnya yang sudah dua bulan ini tidak terlihat dan tanpa ia sadari tanpa berbalas pesan akhir akhir ini.
Rebbeca membalas pelukan Amara, namun ia tidak membuka kaca mata hitam yang menempel di matanya.
"Rebbeca kemana saja dirimu?" tanya Amara
"Kamu mau berangkat kuliah kan? Ayo berangkat bareng, aku antar sekalian." ucap Rebbeca tanpa menjawab pertanyaan dari Amara.
"Baiklah." jawab Amara senang, karena ia bisa bercerita di dalam perjalanan nantinya. Ia mendekat pada Rebbeca ketika mobil Fortuner mendekat kearah mereka.
"Lihat saja, bisanya hanya merepotkan orang saja." gumam Amar yang hanya bisa di dengar oleh Amara karena Rebbeca sudah agak menjauh mendekati mobil. Tentu saja ucapan itu mampu membuat emosi Amara kembali naik, dan kembali berbalik badan dan memukul saudara kembarnya.
"Heii apa kamu gila." ucap Amar kesakitan karena di pukul kencang oleh Amara dengan tasnya berkali kali.
"Ya aku gila karena punya saudara kembar sepertimu." jawab Amara masih dengan emosi dan memukul terus, sampai akhirnya Rebbeca memanggil Amara agar tidak menanggapi ucapan Amar, karena Rebbeca sudah hafal sifat Amar sejak ia masih sekolah bersama, selalu membuat Amara penuh dengan emosi.
Amara menoleh pada Rebbeca, akhirnya berhenti memukul Amar. "Menyebalkan." ketus Amara tak lupa wajah sinis tak ia tinggal untuk di berikan pada Amar.
"Ingat pesan Ayah. Berteman dengan wanita bukan Pria, atau aku akan membunuhmu." ucap Amar masih saja belum puas melihat adiknya berlalu meninggalkan dirinya begitu saja.
"Bukan urusanmu." bentak Amara tidak takut
Setelah masuk mobil dan mobilnya melaju, Rebbeca membuka kaca matanya terlihat matanya begitu sembab dan bahkan terlihat sekali jika baru selesai menangis.
"Re.. Kenapa dengan mu?" tanya Amara begitu melihat keadaan sahabatnya.
"Amara kita akan berpisah..." ucap Rebecca memeluk pundak Amara, membuat Amara semakin bingung
Rebbeca pun menceritakan pertengkaran dirinya dengan Maria ibu tirinya, yang membuat Ibu tirinya tersinggung dan melaporkan Rebbeca pada Papanya. Semenjak pertengkaran dengan Ibu tirinya, Papa Rebbeca pun memutuskan mengirim Rebbeca ke Paris untuk kuliah di sana bersama Papanya yang memang lebih sering tinggal di sana untuk urusan bisnis. Papanya tidak ingin menuruti keinginannya lagi untuk bisa tinggal di Indonesia, karena Rebbeca tidak menuruti keinginan Papanya untuk rukun dengan Ibu tirinya. Rebecca juga bercerita jika sebenarnya ia ingin bercerita pada Amara, namun Ibu tirinya menyita ponselnya selama Rebbeca les agar bisa lolos dalam test kuliah di Paris. Dan selama ini pula Amara tidak pernah ikut Ibunya untuk beberes di apartemen Rebbeca lagi.
"Maafkan aku Rebbeca." ucap Amara menyesal . Amara menyadari jika selama ini ia sudah mengacuhkan sahabatnya, yang sudah memasukan dirinya di universitas terbaik, sedangkan Rebecca sedang dalam masalah, sedang dirinya tidak bisa ada untuk Rebbeca.
Amara memeluk Rebecca dan menguatkan hati sahabatnya itu. Mungkin mereka akan lama lagi bertemu, karena hari ini adalah hari keberangkatan Rebbeca ke Paris.
Begitu sampai di kampus Amara turun dari mobil, ia melambaikan tangan pada Rebbeca sebagai salam perpisahan mereka. Tak lupa Amara mengingatkan Rebbeca untuk menghubungi dirinya setelah sampai di Paris nanti.
Amara membalikan badan ketika mobil yang membawa Rebbeca sudah kembali melaju meninggalkan dirinya. Ia bersiap berjalan namun ternyata Mars sudah menunggu kehadirannya, bahkan Mars melihat Amara yang melambaikan tangan pada gadis di dalam mobil namun ia tidak bisa melihat siapa gadis itu, karena gadis itu memakai kaca mata hitam besar.
"Pagi Amara." sapa Mars yang hanya di balas senyum kecut dari Amara.
"Maukah menemaniku ke kantin dulu Amara." pinta Mars, karena ia datang terlalu pagi sampai melewatkan sarapan
"Tidak terima kasih." jawab Amara dingin dengan masih berjalan.
"Amara." panggil Mars dengan berdiri menghalangi jalan Amara
"Aku ke kampus untuk belajar, bukan untuk menemanimu. Jadi bisakah kamu tidak menghalangi jalanku Mars." ucap Amara tegas dengan wajah serius, membuat Mars menyingkir namun tetap menatap Amara yang terus berjalan meninggalkan dirinya
Bersambung......