NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?

“Kalau perasaan ini salah waktu, apa berarti kita harus pura-pura gak merasa apa-apa?”

Itu kalimat yang tertulis di jurnal harian Juno, malam setelah podcast “Salah Faham dalam Diam” tayang.

Satu kalimat yang tak pernah ia ucapkan keras-keras. Apalagi kepada Nala.

Padahal, sejak awal mereka berjuang bareng, Juno tahu… ada ruang dalam hatinya yang pelan-pelan ditempati Nala. Tapi ia juga tahu, rasa itu datang di waktu yang sangat tidak tepat. Saat semua sedang kacau. Saat kepercayaan sedang tipis. Dan saat mereka sangat butuh satu sama lain—bukan sebagai kekasih, tapi sebagai rekan seperjuangan.

Hari-hari berlalu, dan dinamika di sekolah makin aneh.

Podcast mereka tak hanya jadi perbincangan lokal. Kali ini, salah satu portal berita edukasi nasional mengangkat kisah mereka dalam artikel berjudul “Ketika Siswa Berani Bicara: Sebuah Podcast yang Mengguncang Dunia Sekolah.”

Komentar beragam.

Ada yang menyebut mereka inspiratif.

Ada yang bilang mereka kurang ajar.

Dan yang lebih banyak… hanya jadi penonton pasif.

Namun, dari semua komentar itu, satu hal yang paling membuat hati Juno tak tenang: Dita belum juga kembali.

“Lo pernah nyoba hubungin dia lagi?” tanya Nala saat mereka berjalan berdua ke kantin.

“Pernah. Tapi diblok,” jawab Juno sambil tersenyum pahit.

Nala menarik napas panjang. “Gue rasa dia belum siap.”

Juno melirik Nala. Ia ingin bilang, ‘Kalau lo tiba-tiba menjauh juga, gue gak tahu harus gimana.’

Tapi kalimat itu hanya tinggal di kepala.

Malam harinya, Nala menulis sesuatu di dinding media sosial podcast mereka:

> “Kadang, yang bikin hidup berat bukan tekanan dari luar… tapi kebingungan dari dalam. Termasuk soal rasa.”

Juno membaca postingan itu berulang kali. Ia tahu Nala sedang memikirkan sesuatu. Tapi tentang apa? Tentang perjuangan mereka? Tentang Dita? Atau… tentang dirinya?

Ia mengetik pesan:

> “Lo kenapa, Nal?”

Tiga detik.

Belum dibalas.

Lalu akhirnya muncul balasan:

> “Gue ngerasa kayak kita berdua makin dekat, tapi juga makin jauh.”

Juno membalas cepat:

> “Lo juga ngerasa begitu?”

Tak ada balasan lagi malam itu. Tapi perasaan itu tumbuh semakin kuat. Mereka makin sering bertatap mata lama-lama tanpa bicara. Saling melirik ketika berbagi mikrofon. Dan kadang, tertawa untuk hal yang tidak lucu, hanya karena canggung.

Puncaknya datang saat mereka berdua diundang jadi pembicara di webinar kecil yang diadakan oleh komunitas pendidikan alternatif.

Panitia meminta mereka datang ke studio siaran lokal di kota, karena kualitas koneksi dan audio di rumah kurang stabil. Itu berarti: mereka harus datang bersama, naik motor, dan duduk bersebelahan di ruangan kecil selama dua jam.

Dan dari awal perjalanan, semua terasa berbeda.

Nala duduk di boncengan, tangannya tidak hanya menggenggam kuat pinggang Juno… tapi ia bersandar.

Juno bisa merasakan degup jantung Nala menempel di punggungnya. Entah karena angin malam, atau karena perasaan mereka berdua sama-sama tak tahu cara bicara, tak satu pun dari mereka membuka obrolan sepanjang perjalanan.

Sampai akhirnya, setelah siaran berakhir, saat mereka menunggu hujan reda di teras studio…

Nala berbicara lebih dulu.

“Jun.”

“Hmm?”

“Kalau misalnya… lo ngerasa sesuatu yang gak lo rencanain… dan lo tahu itu bisa bikin semuanya rumit, lo bakal gimana?”

Juno menatap hujan.

“Gue bakal nulis dulu. Biar gak meledak di kepala.”

Nala tersenyum kecil. “Lo dan tulisan lo.”

“Tapi kenapa nanya gitu?”

Nala menunduk. Lama. Lalu menjawab pelan.

“Karena gue ngerasa gitu juga. Sama lo.”

Juno membeku. Hujan masih turun deras, tapi hatinya lebih ribut.

“Nal…”

Ia ingin mengatakan semuanya. Tapi ia takut. Takut jika mereka bicara terlalu jujur, sesuatu akan rusak.

Namun Nala sudah lebih dulu memecah diam:

“Gue gak mau kehilangan lo, Jun. Tapi gue juga gak bisa bohong sama perasaan gue sendiri.”

Hari-hari berikutnya jadi campur aduk.

Mereka tetap membuat podcast, tetap berdiskusi tentang keresahan sekolah, tetap tampil sebagai partner yang solid.

Tapi di balik itu, perasaan mereka seperti awan mendung yang tak kunjung hujan. Gelap, tapi menggantung.

Nala menjadi sedikit lebih pendiam. Juno jadi lebih sering menggambar tanpa arah. Mereka saling menjaga jarak, hanya karena takut jarak itu akan tumbuh jadi jurang.

Sampai suatu malam, Juno tak tahan lagi.

Ia menulis puisi. Bukan di jurnal. Tapi di story podcast mereka:

> “Di antara kata dan suara, ada rasa yang tak tahu cara bicara.

Mungkin karena kita takut, rasa ini akan memutus cerita.”

Keesokan harinya, Juno dikejutkan dengan pesan dari Dita.

> “Gue baca puisimu. Dan gue tahu lo nulis itu bukan cuma buat Nala. Tapi juga buat kita semua yang pernah salah paham karena diam.”

> “Maaf ya, Jun. Gue kabur terlalu cepat.”

> “Gue belum siap balik… tapi gue pelan-pelan belajar ngerti.”

> “Jangan berhenti ya. Sekalipun kalian bingung. Karena dari kebingungan itu, kita kadang nemu arah.”

Malam itu, Juno kembali menelepon Nala.

“Ada yang mau gue sampein,” katanya saat Nala menjawab.

“Apa?”

“Gue gak bisa janji bakal bikin semuanya jelas. Tapi gue janji, apapun yang terjadi, kita gak akan pisah. Bahkan kalau nanti kita bingung sendiri dengan perasaan masing-masing.”

“Jun…”

“Gue suka lo, Nal. Tapi lebih dari itu, gue sayang lo sebagai partner perjuangan. Kalau harus nunggu sampai semua reda, gue rela. Asal lo tetap di sini.”

Nala terdiam.

Lalu akhirnya menjawab dengan suara lirih, “Gue juga suka lo. Tapi kayak lo bilang, sekarang belum waktunya. Bukan karena gak yakin, tapi karena masih banyak yang harus kita selesaikan.”

“Dan kita selesaikan bareng,” sambung Juno.

Malam itu, hujan turun lagi. Tapi kali ini, bukan hujan yang mengacaukan segalanya.

Justru dari hujan itu, mereka belajar satu hal penting:

Cinta bukan tentang milik.

Cinta adalah keberanian untuk menjaga tanpa memaksa.

Dan yang paling penting, cinta adalah keputusan untuk tetap tinggal… bahkan di saat bingung.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!