NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dokter baru

Margaret sedang duduk sendirian di taman rumah sakit, mengenakan jaket tipis dan selimut kecil yang ia bawa dari ruang perawatan.

“Kamu nggak takut masuk angin?”

Suara itu membuat Margaret menoleh. Seorang pria muda dengan jas putih dan senyum ringan berdiri di sampingnya, membawa payung besar.

“Kalau sakit nanti siapa yang rawat kamu?” lanjut pria itu.

Margaret menunduk, tersenyum kecil. “Mungkin... perawat galak itu.”

Pria itu tertawa. “Namanya Siska, kan? Dia memang galak, tapi sayang sama kamu.

“Kamu siapa?”

“dr. Revan. Dokter baru di bangsal onkologi. Aku baru pindah minggu ini.”

Margaret mengangguk pelan. “Margaret.”

“Aku tahu. Kamu pasien yang katanya keras kepala, sering kabur dari ruangan.”

Margaret menatapnya tajam, lalu tersenyum sinis. “Jadi kamu tahu banyak.”

“Cuma dari laporan,” jawab Revan santai. “Tapi aku ingin tahu kamu dari sisi yang kamu nggak tunjukin di laporan. Kamu kelihatan lelah.”

Margaret menatapnya lama. Hujan turun lebih deras. Revan membuka payung dan duduk di samping Margaret, memayunginya dengan tenang.

“Aku cuma butuh tempat yang tenang,” gumam Margaret.

“Kalau gitu... biarkan aku jadi tempat tenang itu,” ucap Revan tanpa menoleh.

Margaret menoleh perlahan. Kata-kata itu seperti menyentuh sesuatu yang selama ini dia kubur dalam. Ia memandangi wajah Revan yang tampak teduh meski sebagian wajahnya basah terkena hujan yang menembus dari sela-sela payung.

“Kamu sering ngomong kayak gitu ke semua pasien?” tanyanya pelan, setengah bercanda, setengah bertahan.

Revan tertawa singkat. “Nggak. Biasanya aku nyuruh mereka kembali ke tempat tidur. Tapi kamu... kamu beda.”

“Beda gimana?”

“Kamu nggak takut mati, tapi kamu juga nggak benar-benar pengen hidup.”

Margaret terdiam. Hujan kini terdengar seperti musik latar dari luka yang tak bisa ia ungkap. Ia mengeratkan selimut kecil di pundaknya, menggigil sedikit, entah karena udara atau karena kalimat itu terlalu jujur.

“Aku nggak tahu harus jawab apa,” gumam Margaret akhirnya.

Revan tidak memaksanya. Ia duduk lebih dekat, masih memayungi keduanya dengan tenang.

“Aku nggak butuh jawaban,” ucapnya lembut. “Kadang duduk di samping seseorang, diam, itu juga bentuk perawatan.”

Margaret menatap ke depan. Di kejauhan, pohon-pohon terlihat kabur diselimuti kabut hujan.

“Aku pernah jatuh cinta,” katanya tiba-tiba. Suaranya rendah, seperti mengaku pada angin.

Revan menoleh, tapi tetap diam.

“Tapi makin lama... rasanya kayak aku jatuh ke jurang. Nggak ada yang nangkep.”

Revan menarik napas dalam, tapi tetap membiarkan Margaret bicara.

“Orang bilang cinta itu obat. Tapi kalau obatnya bikin aku makin hancur, itu masih cinta, nggak?”

“Mungkin itu cinta... yang salah dosis,” jawab Revan pelan.

Margaret tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak dihakimi. Tidak dituntut untuk selalu kuat. Tidak diminta menjelaskan luka yang tak semua orang bisa pahami.

“Hujannya belum reda,” katanya, lebih kepada diri sendiri.

“Tapi kadang... kita nggak harus tunggu reda untuk melangkah.”

Margaret menoleh cepat. Matanya bertemu mata Revan.

“Kamu selalu ngomong kayak gitu? Kayak di film-film?”

Revan terkekeh. “Maaf. Efek kebanyakan baca buku dan nonton film Korea malam-malam.”

Mereka tertawa pelan, dan suara tawa itu seperti memecah dinding sunyi yang selama ini mengurung Margaret.

Margaret diam. Hujan turun makin deras, dan suara gemericik air mengisi keheningan di antara mereka.

"Kamu tahu nggak," ucap Margaret pelan,

"rasanya aneh... duduk di sini sama orang asing, tapi rasanya lebih tenang daripada sama orang yang udah aku kenal lama."

Revan menoleh sedikit, senyumnya tetap lembut. "Kadang... orang asing lebih netral. Mereka nggak bawa beban masa lalu kita."

Margaret mengangguk pelan. “Apa kamu juga pernah ngerasa capek sama semuanya? Kayak... dunia tuh terlalu bising, terlalu menuntut.”

Revan terdiam beberapa detik. “Adikku sakit sejak kecil. Setiap hari aku harus pura-pura kuat di depan dia. Padahal... aku juga takut. Tapi ya, kadang pura-pura kuat itu satu-satunya cara buat bertahan.”

Margaret menatap Revan, kali ini lebih lama.

“Apa adikmu sekarang masih...?”

“Masih. Dan dia yang jadi alasan aku jadi dokter,” jawab Revan sambil menatap langit mendung.

“Aku nggak bisa nyelametin dia dari sakitnya, tapi... setidaknya aku bisa nyelametin orang lain.”

Margaret menunduk. Ada rasa hangat di dadanya. Bukan karena iba, tapi karena mengerti.

“Lucu, ya. Aku juga dulu punya cita-cita jadi dokter. Tapi dunia kayaknya punya rencana lain buat aku.”

Revan menoleh ke arahnya. “Masih belum terlambat.”

Margaret tersenyum tipis. “Kalau umurku cukup panjang.”

Revan menghela napas pelan. “Jangan pernah ukur nilai hidupmu dari berapa lama kamu hidup. Tapi dari bagaimana kamu menjalaninya.”

Hujan mulai reda. Revan berdiri, lalu mengulurkan tangan.

“Ayo, aku antar balik ke ruang perawatan. Nanti perawat galak itu ngamuk beneran.”

Margaret tertawa kecil dan menerima uluran tangan Revan.

Saat berjalan berdua di bawah payung menuju gedung utama, untuk pertama kalinya dalam waktu lama... Margaret merasa ringan.

Seperti hatinya sedang diajak pulang.

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!