Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #8
Cara agar suami tidak berselingkuh.
Zara mengamati ponselnya yang sedang melakukan pencarian. Beberapa saat setelahnya kepala gadis itu mengangguk memahami tiap poin yang tampil di layar benda pipih tersebut.
Saling menghargai, komunikasi yang terbuka, mempertahankan hubungan emosional dan fisik
"Hah? Hubungan emosional dan fisik? Ah, tidak tidak. Kayaknya poin ketiga ini tidak bisa aku lakukan," ujar Zara sambil menggelengkan kepalanya.
Rasa takut akan hal menyakitkan yang pernah ia dan sang ibu rasakan membuat Zara berusaha keras agar tidak terjerumus dalam lubang kesedihan yang sama. Dari sekian banyak informasi yang ia dapatkan dari internet, satu hal yang ia pegang teguh hingga saat ini, yaitu jika tidak ingin patah hati, jangan bermain hati.
Kini Zara menyimpan ponselnya ke dalam saku celana, lalu mengamati arlojinya. Sudah 30 menit ia menunggu Alif untuk menjemput usai ia berpisah dengan kedua sahabatnya. Ia bahkan sudah kembali ke tempat awal di mana mobil sang suami terparkir, sayangnya mobil pria itu sudah tidak ada.
Berkali-kali ia mencoba menghubungi sang suami, tetapi ponsel pria itu sudah tidak aktif. Berbagai dugaan mulai menghampiri pikiran Zara hingga membuatnya khawatir dan bingung sendiri.
"Pak Alif ke mana, sih? Apa jangan-jangan dia udah pergi ke rumahnya duluan? Lalu aku? Aku mana tahu alamatnya. Apa Pak Alif marah karena tadi aku pergi terus dia pergi ninggalin aku?"
Zara menutupi wajahnya dengan kedua tangan karena begitu kalut oleh pikiran sendiri. Ia kemudian melepasnya sambil menghela napas lesu. "Baiklah, jika dia ingin meninggalkanku, tak apa. Toh, aku tidak mencintainya, jadi hatiku baik-baik saja."
"Sudah selesai praduganya?"
Zara terdiam ketika mendengar suara seorang pria dari belakang. Sontak saja ia langsung berbalik karena mengenal suara tersebut, dan benar saja itu adalah Alif.
"Tadi kamu kemana? Kenapa menghilang?" tanya Alif begitu dingin.
"Ta-tadi saya hanya temani Akira dan Ilona pulang, habis itu saya balik lagi, tapi mobil Bapak malah hilang. Saya coba hubungi, tapi nomor Bapak tidak aktif," balas Zara cepat.
Alif mengerutkan dahinya dan segera merogoh saku celana dan meraih ponsel miliknya. Wajahnya tampak terkejut sejenak, tetapi langsung kembali seperti semula.
"Ekhem, tadi saya salah tekan, jadi mati ... Saya pergi karena saya mencari kamu juga. Ya udah, cepat naik!" Alif menunjuk tempat mobilnya terparkir dengan gerakan kepala.
Zara dan Alif kini menaiki mobil menuju rumah yang menjadi tempat tinggal pria itu sejak usianya 25 tahun. Rumah besar nan mewah itu telah berhasil membuat Zara tak mampu berkata-kata. Bahkan, mulutnya secara tak sadar membuka yang menjadi tanda akan keterkejutannya.
"Kok, dosen rumahnya bisa sebesar ini? Ayah yang pengusaha saja rumahnya tak sebesar ini," batin Zara takjub.
"Ngapain bengong? Cepat masuk!" Zara seketika tersadar mendengar suara Alif yang lebih dulu berjalan masuk melewatinya.
"Eh, i-iya, Pak. Saya ambil barang dulu," ujar Zara karena tidak melihat Alif menurunkan satu pun barangnya.
Akan tetapi, langkah kaki Zara terhenti ketika Alif kembali berbicara, "Nggak usah, nanti biar pelayan yang membawanya." Jawaban Alif kali ini hanya membuat Zara ber-oh ria dengan pikiran yang penuh akan rasa ingin tahu.
Keduanya memasuki rumah dan lagi-lagi Zara dibuat terkejut dengan beberapa pelayan yang berbaris rapi menyambut kedatangannya.
"Hah? Kenapa pelayannya banyak begini? Emang gaji dosen cukup buat gaji mereka?" batin Zara lagi.
"Ikuti saya!" Alif kembali memberikan instruksi untuk mengikutinya. Zara dengan patuh langsung berjalan cepat mengekori sang suami yang memiliki langkah lebar itu.
"Masuklah! ini kamar kita," ujar Alif sambil membuka pintu.
"Kamar kita?" Zara tanpa sadar mundur selangkah mendengar perkataan Alif.
"Iya, memangnya kenapa? Apakah aneh jika suami-istri tidur sekamar?" tanya Alif menanti jawaban dari Zara. Ia tahu, Zara bukanlah gadis polos lagi. Usianya sudah cukup dewasa untuk memahami perkara-perkara seharusnya dari suami-istri.
Zara sedikit gelagapan, tangannya secara reflejs menggaruk kepala yang sesungguhnya tidaklah gatal. "Ya, tidak juga, sih, Pak, tapi saya belum terbiasa sekamar dengan pria, makanya saya ingin tidur di kamar lain dulu, tetangga kamar juga nggak papa, kok, Pak," jawab Zara asal membuat alasan.
"Alasan macam apa itu? Kamu pikir saya pernah tidur dengan wanita sebelumnya?" tanya Alif, membuat Zara tersadar akan alasannya yang tidak masuk akal. "Dan apa? Kamu mau pisah kamar? Tidak tidak, ini bukan dunia novel dan saya ingin kita tetap sekamar. Titik!" balas Alif tegas dan langsung memasuki kamarnya.
Zara membuang napas kasar melihat Alif memasuki kamar. Ia tidak memiliki pilihan selain ikut masuk ke dalam kamar tersebut. Tak lama setelah itu, pelayan datang membawa barang-barang Zara.
Ketika Alif sedang bekerja dengan laptopnya di sofa, Zara memilih merapikan pakaiannya ke dalam lemari yang sudah disiapkan sang suami untuknya. Sementara untuk buku-buku kuliah, Alif sengaja meminta Zara untuk menyimpannya di ruang kerja pria itu. Bagaimanapun, mereka memiliki jurusan yang sama, jadi kebutuhan buku mereka kurang-lebih sama.
Saking fokusnya beres-beres, Zara sampai lupa jika waktu kini telah menunjukkan pukul empat sore. Alif pun sudah tidak terlihat di sofa. Entah kapan pria itu berpindah hingga Zara sama sekali tidak menyadarinya.
"Aku harus bersiap-siap untuk pergi kerja," ucapnya pelan, lalu segera berjalan mengambil handuk dan baju gantinya, dan segera menuju ke kamar mandi.
Baru saja Zara hampir sampai di depan kamar mandi, suara pintu yang sedang dibuka membuat gadis itu terkejut dan langsung berbalik arah hendak lari. Sayangnya, gerakannya yang cepat ditambah pergerakan kaki yang keliru, membuat gadis itu terjatuh.
"Auw." Zara meringis kesakitan. Ia segera berbalik menatap ke arah kamar mandi untuk memastikan keberadaan pria yang membuatnya terkejut hingga terjatuh seperti saat ini.
Benar saja, saat ini Alif sedang berdiri di depan kamar mandi dengan hanya memakai handuk sepinggang. Tubuh bagian atasnya yang berotot dan tidak tertutupi kain membuat Zara dengan cepat menutup mata dengan kedua tangan. Sesekali ia mengintip melalui sela jari untuk melihat apakah pria itu masih di sana atau sudah pergi.
Akan tetapi, Zara semakin terkejut dan takut ketika mendapati Alif berjalan ke arahnya. Semakin lama semakin dekat hingga pria itu ikut menunduk di hadapannya.
.
.
#bersambung#