Laura Clarke tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Pertemuannya dengan Kody Cappo, pewaris tunggal kerajaan bisnis CAPPO CORP, membawanya ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan intrik. Namun, konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu lebih besar dari yang ia bayangkan: ia mengandung anak sang pewaris. Terjebak di antara cinta dan kewajiban.
"kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja di saat kau sedang mengandung anakku?"
"[Aku] bisa menjaga diriku dan bayi ini."
"Mari kita menikah?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bgreen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Geneva
Fajar menyingsing di markas besar Kody. Di tengah kesibukan pagi, Hugo mondar-mandir dengan raut wajah tegang.
"Cari sampai dapat! kita harus menemukan Lukas secepatnya." gertak Hugo pada anak buahnya yang sedang berkutak dengan laptop mereka mencari keberadaan Lukas.
Suaranya menggema di antara dinding-dinding beton yang dingin.
Rasa frustrasi menggerogoti hatinya. Hugo mengepalkan tangan, amarahnya memuncak.
Selama ini, ia selalu berhasil menumpas musuh-musuh Kody. Tapi kali ini, ia merasa seperti pecundang.
Kegagalan ini menghantuinya, merusak reputasinya yang dibangun dengan susah payah.
Di balik kekesalannya, terselip kekhawatiran yang mendalam. Lukas bukan musuh biasa.
Hugo tahu, jika Lukas dibiarkan bebas, ia bisa menjadi ancaman besar bagi Kody dan seluruh organisasi.
*
Matahari kian tinggi, namun bayangan Lukas seolah lenyap ditelan bumi.
Hugo mengusap wajahnya kasar. Ia harus menemukan Lukas, secepatnya.
Kody memasuki ruangan dengan langkah berat. "Sudah ada perkembangan?" tanyanya, memecah keheningan yang dipenuhi kketegangan
Hugo dan anak buahnya masih berkutat dengan laptop dan laporan, wajah mereka menggambarkan keputusasaan.
Hugo terlihat lelah saat melihat Kody. "Maafkan aku, Kody. Aku belum berhasil menemukan Lukas."
Kody menghela napas, lalu menepuk bahu Hugo. "Tidak perlu minta maaf. Kita akan menemukannya. Sekarang, istirahatlah. Biar aku yang mengambil alih."
"Aku tidak apa-apa. Aku akan terus mencari sampai Lukas tertangkap," jawab Hugo, menolak tawaran itu.
Kody menatap Hugo dengan lembut. "Hugo... istirahatlah sebentar. Kau tampak sangat lelah. Aku sudah menghubungi teman-teman ku yang lain untuk membantu pencarian. Kau bisa beristirahat dengan tenang."
Hugo terdiam sejenak, menimbang kata-kata Kody. Akhirnya, ia mengangguk pasrah. "Baiklah... aku akan tidur sebentar di kamar bawah. Jika ada kabar, segera beritahu aku." Dengan langkah gontai, Hugo meninggalkan ruangan, menuju kamar peristirahatan di lantai bawah yang biasa mereka gunakan.
Kody menatap kepergian Hugo dengan tatapan khawatir. Ia tahu, kegagalan ini sangat membebani sepupunya itu.
Namun, ia juga sadar, Hugo tidak akan menyerah begitu saja. Kody bertekad, ia akan segera menemukan Lukas dan mengakhiri semua ini, agar Lukas tidak berani bermain-main dengannya atau menganggu organisasi nya.
*
*
Connie baru saja tiba di markas dan langsung menuju ke ruangan kamar di lantai bawah.
Dua pengawal berdiri tegak di depan pintu, wajah mereka tanpa ekspresi.
Connie menggenggam erat tas berisi peralatan medisnya.
"Nona Connie," sapa salah satu pengawal dengan nada hormat.
"Buka pintunya. Aku harus mengobati pasien di dalam," jawab Connie, suaranya tegas namun lembut.
Pengawal itu segera membuka pintu dengan kunci yang tergantung di pinggangnya.
Suara derit pintu memecah keheningan. Connie melangkah masuk, diikuti oleh kedua pengawal yang tadi berjaga.
"Kalian berdua, tunggulah di luar," perintah Connie tanpa menoleh.
"Tapi, Nona...." Pengawal itu tampak ragu.
"Wanita itu terikat dan terluka. Dia tidak punya tenaga untuk menyakitiku. Percayalah, aku bisa menghadapinya jika dia menyerang," kata Connie, matanya menunjukkan keyakinan.
Kedua pengawal itu bertukar pandang, keraguan terpancar jelas di wajah mereka.
Meninggalkan Connie, adik dari bos mereka berdua saja dengan tawanan musuh bukanlah hal yang mudah.
"Apa yang kalian tunggu?" tanya Connie, sedikit meninggikan suaranya.
"Baik, Nona. Kami akan berjaga di depan," jawab salah satu pengawal akhirnya.
Mereka berdua keluar dan menutup pintu, meninggalkan Connie seorang diri bersama wanita yang mereka tawan.
*
Connie mendekati wanita itu dengan langkah hati-hati. wanita itu tampak begitu rapuh.
Tubuhnya penuh luka, dan tatapannya kosong, seolah jiwanya telah lama pergi.
"Hai... aku akan mengobati lukamu," ucap Connie lembut, berusaha menenangkan.
Ia membuka tas medisnya, mengeluarkan peralatan dan obat-obatan.
Dengan telaten, ia mulai membersihkan dan mengobati luka di wajah dan tubuh wanita itu.
Keheningan memenuhi kamar itu, hanya suara gesekan kapas dan desinfektan yang terdengar.
wanita itu hanya diam, pasrah tanpa perlawanan, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi padanya.
"Siapa namamu?" tanya Connie, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan.
Wanita itu tetap membisu, tatapannya kosong dan hampa.
Connie menghela napas pelan. Dengan hati-hati, ia membuka ikatan di tangan Geneva.
"Tidak bisakah kau membunuhku saja?" ucap wanita itu lirih, suaranya hampir tak terdengar.
"Aku seorang dokter, tugasku mengobati pasien," jawab Connie, menatap wanita itu dengan tatapan penuh simpati.
"Kau tak perlu mengobati lukaku, karena sebentar lagi mereka akan membunuhku," ucap wanita itu, nada suaranya datar.
"Siapa yang akan membunuhmu? Lukas?" tanya Connie, penasaran.
"Ck... Lukas tidak akan membunuhku. Dia tidak akan membiarkan aku mati dengan mudah," jawab wanita itu, sinis.
"Kau akan aman di sini. Tak ada yang akan menyakitimu," ucap Connie, berusaha meyakinkan.
Wanita itu terdiam. Setetes air mata lolos dari sudut matanya, mengalir perlahan di pipinya yang memar.
Ia tampak begitu lelah dan putus asa dengan apa yang terjadi dalam hidupnya.
"Apa ada yang sakit?" tanya Connie, merasa iba dengan wanita di hadapannya.
Entah apa yang telah menimpa wanita itu , hingga ia bisa berurusan dengan pria mafia seperti Lukas.
"Geneva..." ucap wanita itu, akhirnya menyebutkan namanya.
"Nama yang cantik," jawab Connie, tersenyum tipis.
"Lukamu cukup serius. Aku akan memberikan obat dan kau harus rutin meminumnya. Butuh waktu hingga lukamu sembuh. Dan mungkin akan ada bekas di beberapa luka di tubuhmu," ucap Connie, menjelaskan dengan sabar.
*
*
*
Hugo berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai bawah. Dari kejauhan, ia melihat dua pengawal berjaga di depan pintu.
"Tuan, Nona Connie ada di dalam, sedang mengobati wanita itu," lapor salah satu pengawal saat Hugo mendekat.
"Hmm... kalian bisa pergi sekarang," ucap Hugo singkat. Kedua pengawal itu mengangguk patuh dan segera pergi.
Saat Hugo masuk ke kamar, ia melihat Connie sedang merawat seorang wanita yang sebelumnya ditawan oleh Lukas. Wanita itu terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat pasi.
"Bagaimana lukanya?" tanya Hugo sambil menghampiri sofa dan duduk di sana.
"Cukup parah, butuh waktu untuk sembuh. Aku sudah selesai, aku pergi dulu," jawab Connie sambil membereskan perlengkapan medisnya.
"Ya... thanks, Connie," sahut Hugo, mengamati adik perempuannya itu.
"Jangan mengikatnya. Itu akan memperparah lukanya," pesan Connie sebelum beranjak pergi.
Hugo mengalihkan pandangannya pada wanita yang terbaring di ranjang. Wajahnya memang pucat, namun tetap terlihat cantik.
Connie menghampiri Hugo dan berbisik pelan di telinganya.
"Dia lumayan cantik," bisik Connie dengan nada menggoda, wajahnya menyiratkan senyum nakal.
"Ck... hati-hati di jalan," ucap Hugo sambil mengusap lembut kepala Connie, menunjukkan kasih sayang seorang kakak.
Wanita yang terbaring di ranjang itu diam-diam memperhatikan interaksi antara Hugo dan Connie.
Ia melihat perlakuan lembut Hugo kepada Connie dan menyimpulkan bahwa dokter cantik itu adalah kekasih pria tersebut.