Novel ini adalah Spin-Off dari Novel yang berjudul "Terpaksa Menikahi Putri Mafia."
Kekecewaan dari kedua orang tua dan seluruh keluarga membuat Aurora Belle Fazila Alberto Harus dipindahkan ke pesantren sebab hampir saja gadis itu diperkosa oleh preman saat ingin menemui dokter Davin.
Merasa ditipu oleh dokter Davin, Fazila memutuskan untuk tidak pernah mau bertemu dengan pria itu lagi padahal yang terjadi hanyalah rekayasa Tantri saja, suster yang bekerja pada dokter Davin.
Bagaimana Fazila menjalani hidupnya di pesantren dan bagaimana dua orang ini bisa bertemu kembali?
Yuk simak kisahnya dalam novel ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Dokter Davin dan Chila 9
Malam hari Anggita, Qiana, juga Andin tampak menggigil.
"Kalian kenapa sih? Jam segini sudah pada narik selimut," protes Fazila. Seharusnya di jam seperti sekarang adalah waktu untuk belajar. Namun, karena besok hari Minggu, tidak ada kegiatan seperti itu. Mereka dibebaskan dan libur.
"Tubuhku panas Chila," sahut Anggita dengan bibir yang tampak bergetar.
"Aku juga," ucap Qiana dengan kondisi yang sama.
"Aku pun sama," sambung Andin.
Fazila mengernyitkan dahi. Kenapa ketiga temannya malah kompak sakit.
Fazila menyentuh dahi Anggita, Qiana, dan Andin secara bergantian.
"Kalian demam semua," ucap Fazila mengambil kesimpulan karena ketiga sahabatnya malah panas saat diraba.
"Sepertinya. Tubuhku terasa panas di dalam dan menggigil di luar."
"Aku juga lemas," sambung yang lain.
"Kalau begitu saya ambil obat dulu." Fazila beranjak ke lemari miliknya lalu membuka laci dan mengeluarkan kotak obat dari dalamnya. Setelahnya membantu satu persatu temannya untuk minum obat.
"Sudah sekarang kalian istirahat, besok kalau belum sembuh juga aku langsung lapor ustadzah Ana."
"Baik Chila makasih," ucap Qiana sedang keduanya hanya mengangguk seolah ucapan terima kasih mereka diwakilkan oleh Qiana.
"Sama-sama. Istirahatlah dan jangan memikirkan apapun!"
Ketiganya mengangguk lalu menarik selimut sampai pusar mereka.
Fazila pun kembali ke tempat tidurnya sendiri lalu rebahan. Niatnya tidak ingin tidur agar bisa menjaga ketiga sahabatnya, tetapi dia malah ketiduran karena lelah dengan aktivitas di pesantren seharian ini.
Jam dua belas malam Fazila terbangun karena tidurnya terganggu akibat racauan salah satu temannya.
"Qiana!" Dia melirik Qiana yang terlihat masih mengingau sedang Andin dan Anggita tertidur pulas meskipun suhu tubuhnya masih demam juga.
"Aku harus apa?" tanya Fazila bingung. Menyesal tadi dia tidak melaporkan kepada ustadzah perkara keadaan ketiga sahabatnya itu. Jika melaporkan saat ini dia takut akan mengganggu tidur ustadzah Ana dan wanita itu akan memarahinya.
"Oh ya, kain kompres." Fazila menggaruk kepala bingung sebab merasa tidak memiliki kain kompres di sana.
"Pakai apa ya? Masa bajuku harus disobek-sobek?" Fazila tampak merenung sebentar.
"Oh ya, kan aku punya handuk kecil." Gadis itu tersenyum senang lalu mengambil handuk kecil dan diguntingnya menjadi tiga bagian. Setelah itu mengompres ketiga sahabatnya secara bergantian hingga dia sendiri sampai tidur sambil duduk karena sudah tak kuasa menahan kantuk.
"Eh Chila sudah pagi!" seru Qiana sambil mencolek lengan Fazila membuat gadis itu langsung terbangun dari tidurnya.
"Kenapa malah tidur di sini?"
"Aku semalaman mengompres kalian bertiga karena suhu tubuh kalian sangat panas," jelas Fazila sambil berusaha membuka mata yang terasa sangat lengket. Dia masih mengantuk berat.
Qiana yang mendengar perkataan Fazila baru menyadari bahwa di keningnya terasa berat. Dengan cepat Qiana menyentuh dahinya dan ternyata benar di sana ada kain kompres yang masih menempel dengan sempurna.
Qiana mengambil kain kompres itu dengan tangannya kemudian menoleh kepada kedua sahabatnya yang lain, dan ternyata sama di dahi mereka ada kain kompres, persis dengan yang ada di dahi Qiana sendiri.
"Kau melakukan ini?" tanya Qiana seolah tidak percaya Fazila bisa melakukan hal seperti ini.
"Iya memang kenapa?"
"Tidak apa-apa, terima kasih."
"Sama-sama."
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Fazila memastikan. Kalau melihat dari nafasnya yang tidak cepat lagi Fazila dapat menebak suhu tubuh Qiana pasti sudah turun.
"Sudah tidak merasa menggigil lagi dan panasnya sudah menurun."
"Syukur alhamdulillah kalau begitu semoga mereka juga sama. Kalau begitu aku pamit mandi, mau shalat subuh dulu, takut telat dan kena hukuman lagi."
Qiana mengangguk.
"Mintakan izin untukku dan untuk mereka pada Nyai Fatimah ya!" pesan Qiana.
"Pasti," ucap Fazila dengan mantap.
"Sip," ujar Qiana sambil tersenyum dan Fazila pun balas tersenyum.
"Sudah ya aku mandi dulu!"
"Iya, jangan lupa tahan dingin!"
"Mau belajar ini," ucap Fazila sambil meraih kotak sabun dan berjalan keluar.
Selesai mandi Anggita dan Andin pun sudah terbangun.
"Sorry aku tinggal kalian dulu!"
Jawaban ketiganya hanya dengan anggukan kepala.
Fazila berjalan ke mesjid seorang diri.
"Tumben sepi," ucapnya saat melihat di sekitar jalan menuju masjid begitu sepi. Biasanya di jam segini para santriwati antusias berjalan menuju masjid.
Sampai di masjid pun hanya ada segelintir santriwati saja.
"Kemana yang lainnya?" tanya Nyai Fatimah. Seharusnya shalat jamaah sudah dimulai. Namun, karena banyak yang tidak datang Nyai Fatimah memutuskan menunggu sebentar.
"Teman-teman sekamarku semua pada sakit Nyai. Mereka demam, tapi saya sudah memberikan mereka obat," lapor Fazila.
"Baik dan bagus kalau kamu sudah memberikan obat."
Fazila hanya mengangguk.
"Teman-teman di kamar saya juga begitu Nyai. Jadi izinkan mereka untuk tidak shalat subuh dulu," sambung yang lain.
"Di tempatku juga sama Nyai, dari empat hanya dua yang sehat. Izinkan mereka untuk shalat di kamar saja."
"Waduh kenapa bisa berbarengan ya sakitnya. Apa mereka terkena virus?" tanya Fazila khawatir.
"Entahlah," jawab santriwati yang melapor tadi.
"Ustadzah Ana ada apa ini? Kenapa mereka sakit bisa berbarengan seperti ini?"
"Entahlah Nyai saya pun tidak paham.Tadi saya sempat menjenguk beberapa orang sebelum akhirnya datang ke sini dan kasus mereka sama, sama-sama demam tinggi sampai menggigil."
"Baiklah kita shalat dulu, setelah itu saya akan menjenguk mereka juga."
"Baik Nyai."
Shalat subuh pun dimulai dengan Nyai Fatimah sebagai imamnya. Setelah selesai yang biasa mereka mengaji sebentar kali ini dibebaskan karena Nyai Fatimah sendiri ingin langsung menjenguk para santriwatinya yang sedang sakit.
"Ayo Nyai!" ajak ustadzah Ana.
Nyai Fatimah mengangguk.
"Ayo Chila saya ingin mengecek teman-teman sekamarmu dulu!"
"Baik Nyai mari!" Fazila mempersilakan Nyai Fatimah berjalan di depan dia sendiri dengan ustadzah Ana menyusul di belakang.
"Assalamualaikum!" seru Nyai Fatimah mengucapkan salam saat sampai di depan pintu kamar.
"Waalaikum salam," lirih orang-orang di dalam.
"Katanya kalian sakit?" tanya Nyai Fatimah sambil berjalan ke arah mereka.
"Iya Nyai, semalam kami menggigil dan demam tinggi. Sekarang suhu tubuh sudah menurun tetapi kami merasa gatal-gatal," terang Andi sambil menggaruk lengannya.
"Gatal-gatal?" tanya Nyai Fatimah kaget.
"Iya Nyai," jawab ketiganya serempak.
"Kalian berdua juga?"
Anggita dan dan Qiana mengangguk bersamaan.
"Ustadzah Ana, tolong telepon dokter Rusli!"
"Maaf Nyai, beliau kemarin memberi kabar bahwa seminggu ini dia liburan keluarga ke luar pulau. Jadi, sudah dipastikan beliau tidak akan bisa menangani anak-anak di pesantren."
"Dokter yang lain ustadzah Ana!"
"Baik saya akan mencoba menghubungi dokter Rendra," ucap ustadzah Ana lalu meraih ponsel dan menelpon seseorang.
"Bagaimana ustadzah?"
"Beliau juga tidak ada di kota ini. Semalam beliau sudah berangkat ke luar kota. Maklum sekarang kan hari Minggu."
"Nyai Fatimah terlihat mengangguk-angguk."
"Tidak ada dokter yang kamu kenal lagi?"
Ustadzah Ana menggeleng.
"Tadi dokter Rusli menyarankan untuk meminta bantuan pada dokter Dav, beliau adalah dokter spesialis penyakit dalam. Namun, beliau katanya bisa mengobati penyakit umum, terutama penyakit kulit. Dokter Dav hari ini tidak kemana-mana, tapi kalau Nyai setuju sih? Tapi kalau tidak biar nanti saya meminta ustadz untuk mencarikan dokter yang lain."
"Tidak apa-apa jika dokter Dav itu bersedia. Bukankah sudah terbukti mengobati orang yang terkena penyakit kulit?"
"Kata dokter Rusli sih iya Nyai. Beberapa hari yang lalu warga di sekitar tempat tinggalnya berobat pada beliau dan sembuh."
"Baiklah kalau begitu, langsung hubungi saja. Lebih cepat lebih baik!"
"Sebentar saya minta nomor teleponnya dulu pada dokter Rusli."
Ustadzah Ana terlibat percakapan lagi dengan dokter Rusli sebelum akhirnya menutup telepon.
"Bagaimana?"
"Sudah dapat nomornya Nyai," sahut ustadzah Ana sambil tersenyum lalu menghubungi dokter tersebut. Nyai Fatimah hanya manggut-manggut saja.
"Bagaimana?" tanya Nyai Fatimah lagi.
"Beliau bersedia, sekarang juga katanya mau berangkat ke pesantren."
"Alhamdulillah kalau begitu. Saya pamit dulu ya ustadzah Ana. Jangan lupa pantau terus keadaan para santriwati!"
"Baik Nyai." Setelah mengatakan itu ustadzah Ana pun pamit pada Fazila untuk mengontrol santriwati lainnya yang juga sakit.
Setelah ustadzah Ana pergi, Fazila tampak membeku.
"Dokter Dav? Spesialis penyakit dalam? Kenapa aku jadi mengingat dokter Davin ya?" Fazila menghembuskan nafas berat.
"Ayolah Chila dunia ini tidak selebar daun kelor. Di dunia ini ada banyak dokter spesialis penyakit dalam," gumam Fazila.
"Kamu kenapa Chila? Jangan bilang kamu juga merasa gatal-gatal," ucap Anggita.
"Ah tidak, aku tidak apa-apa," ucap Fazila lalu duduk di samping Anggita.
"Bagaimana kalau beneran dokter Davin?" batinnya merasa tidak tenang lagi kala mengingat nama itu.
Bersambung.
tp itu salah davin yg gk nutup pintu nih pasti 🤣
tp klo beneran itu kenyaannya berarti aku yg bo doh 🤣🤣
harap maklum pemirsah krn mas davin lg panik jd gk kekontrol 🤭
jlnmu masih panjang masih byk perempuan yg jauh lebih cantik dn lebih naik dari si bovil chila 🤣