Mendapati sang kekasih berselingkuh dengan kakaknya sendiri, Seruni patah hati. Pemuda yang telah melamarnya ternyata bukanlah pangeran berkuda putih yang hadir di dalam mimpi.
Kenanga, kakak yang terpaut usia lima tahun darinya ternyata begitu tega. Entah apa yang melatarbelakangi hingga gadis yang biasa disapa Anga itu jadi kehilangan hati nurani.
Seruni kecewa, hatinya patah. Impian yang dirangkainya selama ini hancur tak bersisa. Caraka yang dicinta menghempasnya bak seonggok sampah.
Nestapa itu terasa tak berjeda. Seruni yang putus cinta kembali harus menerima perjodohan yang tadinya ditujukan untuk Kenanga. Pria dewasa dari kota yang konon katanya putra pengusaha semen ternama.
Wisely Erkana Hutomo Putra, nama yang menawan. Rupa pun tergolong tampan. Akan tetapi, apakah duda tanpa anak itu adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan ... untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan Perjodohan
“Dijodohkan?”
Es teh manis menyembur keluar dari bibir Wisely ketika wacana perjodohan kembali dikumandangkan sang mama. Mata membola, mulut ternganga. Dia masih tak menyangka kalau Kana akan bicara segamblang itu di depan ketiga orang yang dianggapnya asing. Mereka pernah bertemu beberapa kali saat masih belia, tetapi bayangan itu tak menempel sama sekali di dalam ingatan.
Semua mata terarah pada satu titik ketika tumpahan air kecokelatan mengotori meja disertai suara batuk berirama. Kana yang duduk tepat di sebelah sang putra, sontak mengusap punggung pria muda itu untuk meredam tersedak yang dialami Wisely.
“Mama apa-apaan? Bukannya sudah aku katakan untuk tidak bicara macam-macam. Kenapa bahas perjodohan?” Sepasang mata bening yang tadinya sayu mendadak terbeliak lebar. Segala kantuk dan efek mabuk menghilang sekaligus hanya karena rangkaian kata yang keluar dari bibir Kana.
Dipandanginya wajah-wajah yang tengah tertegun menguliti.
“Maaf, namanya anak muda zaman sekarang. Setiap bahas jodoh selalu bawaannya sewot dulu. Tapi, kalau tidak begini, bagaimana lagi?” Kana tak enak hati, memandang Sandi dan keluarganya bergantian.
“Putraku ini memang bukan laki-laki sempurna. Kurangnya banyak, dibandingkan lebihnya.” Menatap ke arah Erlang. Pria itu sibuk menggigit potongan daging yang dijalin dengan lidi, pria tua itu tak peduli dengan sepak terjang sang istri. Mereka sudah membahas masalah ini sebelum bertolak ke Paris Van Java dan dia sepakat demi kebaikan putra kesayangan yang sudah menyimpang terlampau jauh.
“Ma.” Wisely menyela ketika Kana bicara.
“Ssstt, ingat. Kalau memang tak mau menurut ... besok keluar dari rumah. Jangan bawa apa pun,” bisik Kana tepat depan daun telinga putranya.
Tak punya pilihan lain, dia harus bersikap keras dan bertindak tegas. Sudah terlalu lama membiarkan Wisely hidup bebas, berkelana di dunia yang sudah tak waras.
“Ma?” Wisely kembali menggumamkan kata yang sama. Pikiran mendadak jernih ketika ancaman halus dibisikkan lagi. Ada kesungguhan di dalam kilat mata Kana, membuat Wisely mengerut dan menurut.
“Mobil sport seri terbaru, tambahan uang saku. Mama akan memberimu dua kali lipat. Bahkan, apartemen incaranmu pun ada di dalam genggaman. Menikah dengan wanita pilihan Mama, hidupmu akan terasa di surga.” Senyum Kana mengembang ketika bisikannya memengaruhi sang kesayangan. Tampak wajah Wisely mengendur pelan dan mengukir senyuman bersama anggukan pelan.
Pria muda berstatus duda itu tak banyak protes. Selebihnya, dia dan sang papa hanya menjadi penyimak yang baik. Hingga sampai satu pembahasan yang membuat bola mata hampir melompat keluar.
“Seruni?” Bergidik, dia memandang ke arah gadis berkepang yang tengah memamerkan senyum terkembang.
“Bukan, bukan Uni. Tapi, Anga.” Bu Lasmi menyela ketika melihat keterkejutan di mata Wisely.
Tercengang, tubuh menegang, pandangan mengambang. Wisely baru bisa bernapas lega ketika mengetahui wanita yang akan diperistri bukanlah gadis kampung di hadapannya.
“Syukurlah. Aku pikir Noni ini.” Wisely berkomentar jujur. Memandang sekilas ke arah Seruni yang juga tengah berkutat dengan rada serupa.
“Ah, aku sudah hampir sesak napas.” Seruni merasakan kelegaan saat perjodohan tak ditujukan untuknya. Tampan, menawan, sayang sekali tak berakhlak dan minim iman. Di balik aroma kamper, Seruni bisa mengendus bau alkohol meski samar-samar. Pandangan kosong cukup menjawab tanya besar yang sejak pagi mengisi benaknya. Kenapa pria tampan dan hartawan di depannya sampai harus mencari istri lewat perjodohan.
“Uni, Wise. Bukan Noni.” Kana meralat ucapan putranya.
Wisely mengibas tangan dan terkekeh. “Sudahlah, yang penting bukan dia. Aku tidak cocok dengan wajahnya, Ma.”
“Kenapa?” Kana tersenyum.
“Terlalu sederhana. Kurang menantang.”
“Nah, kalau begitu pas dengan Kenanga. Wajah Kenanga lebih menantang.” Lasmi kembali menyela. “Aduh, Pak. Harusnya kita bawa foto Kenanga. Jadi Nak Wise bisa memandang. Pasti jatuh cinta.” Perempuan tua itu tak jauh beda dengan Kana, mengoceh sejak awal jumpa dan sibuk memamerkan putri tertua yang tak bisa hadir di acara temu kangen dua keluarga.
Kata sepakat telah didapat, dua keluarga pun kembali menjalin tali silaturahmi yang hampir terputus. Kenanga—anak tertua yang jadi pilihan, Wisely terlihat setuju tanpa penolakan.
Menikah ya menikah. Kapan lagi menikah dan bisa mendapatkan semua fasilitas bintang lima. Lagi pula, dari cerita ibunya, Kenanga lebih menarik. Tidak kampungan seperti gadis ini.
Wisely masih mengamati Seruni yang sibuk dengan ponsel di dalam genggaman.
Dia tidak jelek. Hanya saja terlalu sederhana. Bagaimana mungkin aku membawanya ke kelab setelah menikah. Memang lebih baik kakaknya. Walau belum melihat, gambaran Kenanga lebih menarik.
“Kang, nanti aku kabari bagaimana ke depannya. Kami harus kembali ke Jakarta menyiapkan pertunangan. Keep contact, Kang.” Kana menyeruput sisa es jeruk di dalam gelas.
Pertemuan santai diakhiri dengan kesepakatan. Kalau tak ada aral melintang, beberapa bulan ke depan pernikahan akan diselenggarakan. Acara sederhana di kampung Kang Sandi dan resepsi mewah di Jakarta setelahnya.
Rona bahagia menghiasi wajah-wajah renta yang tak berhenti tersenyum. Mereka akan berbesan sebentar lagi, rasa sungkan pun pelan-pelan pergi.
“Kami antar saja, Kang. Bagaimana? Siapa tahu bisa bertemu dengan Anga.” Kana memberi ide, menoleh ke arah putranya yang sibuk memainkan ponsel.
Xixixi nyaman banget ya Ci di si hijau 😁..
Tapi semoga di manapun semoga sukses ya karyanya Ci...