Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8
Seharian penuh Zayn mengajak Fahira berlibur. Kini keduanya dalam perjalanan pulang menuju pesantren. Zidan melirik ponselnya, ada banyak panggilan tak terjawab dan pesan belum dibaca dari Ibu serta sepupunya, Najwa.
"Ibu? Untuk apa Ibu menelepon sebanyak ini? Ngapain aku disuruh nganterin Najwa? Ada-ada saja--" gumam Zidan dalam hati.
Zidan hanya melihat pesan dari Najwa tanpa membukanya. Ia belum bisa membaca atau membalas pesan apa pun karena sedang menyetir. Ia pun menaruh kembali ponselnya dan fokus ke jalan.
Fahira yang melihat perubahan ekspresi suaminya sempat menoleh, tapi tak bertanya apa pun. Ia mengira mungkin ada pesan dari perusahaan suaminya, lalu kembali menatap ke depan.
Tak lama kemudian, keduanya sampai di pesantren sekitar pukul lima sore. Zidan membawa buah tangan dan jajanan untuk kedua mertuanya, meski mereka tidak memintanya.
"Assalamualaikum, Abah, Umi--" sapa Fahira ceria sambil menyalami kedua orang tuanya.
"Waalaikumsalam. Waduh, anak Umi-- gimana liburannya? Senang?" tanya Umi Jamilah yang tengah duduk bersama Abah Syarif di ruang keluarga.
"Aira senang banget, Umi! Tadi Aira sama Bang Zidan main air dan bikin rumah pasir. Seru banget, Umi."
Fahira menceritakan pengalaman liburannya dengan riang. Zidan tersenyum melihat istrinya bisa bermanja di hadapan Abah dan Uminya.
Keesokan harinya, Zidan berpamitan untuk kembali ke Jakarta. Pukul sepuluh nanti ia harus menghadiri rapat penting di kantor, jadi mau tak mau ia harus berangkat hari itu juga.
"Abah, Umi, Zidan titip Fahira di sini untuk sementara waktu. Insyaallah, kalau urusan rumah yang Zidan beli sudah selesai, Zidan akan kembali dan membawa Fahira ke Jakarta," ujar Zidan di ambang pintu.
"Iya, Nak Zidan. Aira kan anak Umi juga. Insyaallah, dia akan Umi jaga baik-baik selama di sini," jawab Umi Jamilah.
"Terima kasih, Umi. Eeem-- Abah, Zidan pamit dulu. Zidan titip Fahira, ya," ucap Zidan sopan.
"Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai," sahut Abah Syarif.
Zidan menyalami kedua mertuanya dengan takzim, lalu menyeret kopernya menuju mobil yang terparkir di halaman pesantren. Fahira berjalan di sampingnya, menggenggam lengan suaminya erat-erat.
"Abang pulang dulu, ya. Kamu baik-baik di sini, jangan nakal. Jangan merepotkan Umi sama Abah. Insyaallah, Jumat sore Abang kembali ke lagi."
Fahira menunduk. Ia belum rela suaminya pergi, tapi juga enggan ikut ke Jakarta. Akhirnya, ia melepaskan lengan Zidan dan memeluknya erat. Air matanya menetes di bahu sang suami.
"Sayang, jangan begini, ya? Atau kamu mau ikut Abang ke Jakarta?" tanya Zidan lembut.
Fahira menggeleng pelan. Abah Syarif yang melihatnya memberi isyarat pada Umi Jamilah agar menenangkan putrinya.
"Sayang, suamimu kan mau kerja. Dia pasti kembali lagi ke sini. Fahira kan sudah dewasa, sudah jadi istri. Masa masih seperti anak kecil, Nak?" ucap Umi Jamilah lembut sambil mengusap bahu putrinya.
Fahira menghapus air matanya dan menatap suaminya dalam-dalam. Wajahnya yang basah membuat Zidan merasa iba.
"Sudah, sini, Abang peluk sekali lagi, ya. Abang pasti kembali Jumat sore. Mau cium lagi, hmm?" goda Zidan sambil tersenyum kecil.
Ia cepat-cepat menggeleng, malu jika harus berciuman di depan Umi dan Abahnya.
Zidan tersenyum, mengusap air mata di pipi istrinya, lalu mengecup kening Fahira lembut.
"Abang berangkat dulu, ya. Jaga diri baik-baik, jangan telat makan, oke?"
Fahira mengangguk dan tersenyum. Ia membiarkan Zidan masuk ke mobilnya.
"Abang, hati-hati, ya. Kabari aku kalau sudah sampai Jakarta," ucap Fahira sebelum mobil melaju.
"Iya, Sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam--" sahut Umi Jamilah dan Fahira bersamaan.
Fahira menatap mobil suaminya sampai benar-benar hilang dari pandangan. Sementara itu, Zidan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
~~
Baru setengah perjalanan, ponsel Zidan berdering. Ia melihat nama penelepon, lalu segera mengenakan headset sebelum mengangkatnya.
"Halo--" ucap Zidan.
"Hai, Tuan Zidan. Apa kabar? Kau di mana sekarang? Kenapa tidak ada kabarnya?" suara lembut Viola terdengar di seberang.
"Tidak ada kabar? Bukannya kamu yang menyimpan nomor ponselku? Berarti kamu yang nggak ada kabar, bukan aku," sahut Zidan sambil tetap fokus menyetir.
"Hehe, maaf. Aku baru sempat menghubungimu. Sejak kemarin aku sibuk. Oh iya, bagaimana soal kesepakatan kita kemarin? Jadi atau tidak?" tanya Viola lagi.
"Insyaallah jadi. Kita ketemu nanti malam," jawab Zidan singkat.
"Oke, baiklah. Mau ketemu di tempat kemarin?"
"Bukan. Kita ketemu di apartemenku. Nanti aku kirim lokasinya setelah sampai," kata Zidan.
"Baik, aku tunggu kabar darimu, Tuan Zidan," balas Viola dengan nada genit.
Zidan hanya mendengus kecil dan menggeleng, "Hem---" lalu menutup teleponnya. Ia kembali fokus menyetir sambil memikirkan rencana membuat surat perjanjian dengan Viola nanti malam. Ia bahkan menghubungi sahabat dekatnya untuk membantu menyiapkan surat itu.
Malam harinya, Zidan sudah berada di apartemen miliknya. Ia juga sempat memberi tahu ibunya bahwa malam ini ia tidak pulang, agar sang ibu tak perlu menunggunya. Apartemen itu memang sering ia gunakan untuk urusan bisnis perusahaan.
Setelah semuanya siap, Zidan membuka ponsel dan mengirim lokasi pada Viola agar ia bisa segera datang. Ia juga memesan beberapa makanan dan minuman untuk menyambut tamunya.
Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi. Zidan yang sedang berganti pakaian langsung tahu siapa yang datang. Ia berjalan santai menuju pintu dan membukanya.
"Hai, Tuan Zidan. Selamat malam," sapa Viola sopan.
"Ya, hai. Selamat malam, Viola. Silakan masuk," jawab Zidan ramah.
Viola melangkah masuk, matanya menatap kagum ke sekeliling apartemen yang mewah dan tertata rapi. Setelah menutup pintu, Zidan mempersilakannya duduk.
"Duduklah. Aku siapkan minuman dulu untukmu," ujar Zidan sambil menuju dapur.
Viola duduk di sofa sambil masih menatap kagum. "Wah-- ini benar apartemen Anda, Tuan Zidan?" tanyanya.
"Iya. Kenapa? Apa kamu merasa tidak nyaman?" balas Zidan santai.
"Oh tentu tidak, Tuan Zidan. Aku justru sangat menyukainya. Oh iya, di mana istri Anda? Apa dia juga tinggal di sini?" tanya Viola penasaran.
"Kau akan bertemu dengannya kalau sudah sah menikah denganku. Tapi tentu tidak dengan penampilan seperti ini. Istriku tidak suka dengan wanita berpakaian sepertimu."
Mendengar itu, Viola mengerutkan kening. "Bagaimana bisa istri seorang pengusaha ternama tidak menyukai penampilan seperti aku? Bukankah istri pengusaha juga banyak yang tampil seperti ini? Lalu--- seperti apa sebenarnya istri Tuan Zidan?" pikirnya penasaran.
...----------------...
Bersambung....
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi