Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Bertemu Kembali
Rabu pagi, Yuri bangun sedikit ogah-ogahan. Gerimis tipis menyambut paginya, membuat suasana jadi dingin dan jelas mager banget. Dia menarik lagi selimut tebalnya dan langsung menekan tombol off di ponsel yang dari tadi alarmnya berbunyi.
Baru saja mata mau terpejam lagi, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan alarm, tapi ada telepon masuk.
“Arghh, siapa sih ganggu pagi-pagi gini!” keluh Yuri, meraba-raba mencari letak ponsel. Begitu melihat nomor yang muncul di layar, matanya langsung menyipit bingung. Nomor asing.
Panggilan itu mati sendiri sebelum sempat ia angkat. “Aish, rese banget, sumpah.”, kemungkinan itu cuma spam, pikirnya.
Jam baru nunjuk pukul enam pagi, tapi entah kenapa rasa kantuk Yuri langsung hilang seketika. Mau tak mau, dia menyerah, bangkit dari kasur, dan mulai membersihkan diri.
“Hoammm...”
***
“Yuri, lo jadi model buletin jurusan bulan depan?!” sapa Ningrum, salah satu teman sekelasnya, dengan suara toanya.
“Astaga! Ngagetin aja lo, Ning! Ah... iya. Jangan kenceng-kenceng bisa nggak. Udah kesebar kah?” Mereka berdua mulai berjalan santai menuju ruang kelas.
“Iya, dong! Kemarin kita dapet chat dari Kak Afika soal itu. Lo sama Bang Ezra, kan? Cie...”
“Ish... Ngapain pakai cie segala. Tadinya gue tolak, lo sendiri tahu Bang Ezra kayak gimana pas menghukum dulu!” sungut Yuri, sengaja mengecilkan volume suara, takut ada senior yang dengar.
Ningrum malah cekikikan. Dia tahu betul, Yuri dulu suka kena hukuman dari 'Babang Komdis' itu dan jadi bahan gosip tersendiri.
“Gue tahu, Ri. TAPI! Serius deh dia nggak seburuk itu, beberapa kali dia mampir say hello dan ngobrol sama temennya di sekre buletin, dia nggak seserem itu aslinya, tahu! Malah baik banget. Pernah kita diteraktir bakso Mang Mamat bulan lalu pas kejebak hujan sore-sore,” bisik Ningrum.
“Ah, udah deh, gue nggak mau ambil pusing sama tuh senior. Pait, pait,” sahut Yuri, ikutan berbisik.
Ningrum langsung tertawa ngakak. Dia lanjut cerita, “Lo harus update, Ri! Dia itu incaran banyak cewek di kampus, tahu! Mana dia kapten basket lagi kan. Rumornya masih jomblo!”
“Bukan urusan gue ah.”
Yuri memang termasuk manusia kuper alias kurang pergaulan, terutama untuk urusan gosip mahasiswa, apalagi gosip di jurusannya. Kalau bukan karena Widya yang heboh setiap bertemu Pak Kenan, dia pasti akan bersikap biasa saja jika bertemu dosennya itu.
“Ih... lo mah! Ini tuh bisa jadi bekal informasi buat lo, Mbak Yuri. Nanti pas kalian foto bareng, biar nggak canggung gitu lho,” Ningrum mengedipkan sebelah matanya genit.
Belum sempat Yuri membalas ucapan Ningrum, Widya muncul dari belakang.
“Woy! Lagi ngebahas apa nih? Serius amat!”
“Temen lo semester depan nongol di sampul buletin jurusan, Wid!” jelas Ningrum, blak-blakan.
“Woho!” Widya langsung mengacungkan jempolnya heboh.
“Udah-udah. Bentar lagi masuk. Kalian jangan lupa, besok tugas Bu Eva, hari terakhir dikumpul!”
Ningrum dan Widya langsung rangkulan dengan muka melas. “Iyaaa...”
***
Kak Afika: Siang, Yuri. Nanti selesai kamu kuliah bisa ke sekre buletin?
Pesan itu masuk dari Afika, tepat saat Yuri baru selesai makan siang bareng Widya dan Isa di kantin.
Yuri: Bisa, Kak. Saya selesai kuliah jam empat sore.
Kak Afika: Ok. Kita tunggu ya.
Kita?
Sepertinya semua anak buletin bakal kumpul nanti, pikir Yuri, sambil menghela napas panjang.
“Kenapa, Ri?” tanya Isa, menyeruput es tehnya.
“Nanti selesai kuliah gue harus ke tempat sekre buletin,” jawabnya, tangannya sibuk menyuap es kelapa muda.
“Ciee... yang mau ketemu Babang Komdis!” ledek Widya pelan, yang langsung berhasil membuat Isa cekikikan.
“Jangan gitu lah, Wid. Kasian tuh, temen kita. Nanti gerogi lagi pas seruangan,” Isa malah sengaja ikut-ikutan.
“Kalian, ya!” sengit Yuri, menunjuk kedua temannya dengan sendok es kelapa.
Keduanya langsung tertawa menggelegar, sampai beberapa penghuni kantin menengok ke meja mereka.
“Santai aja lagi, Ri,” kata Widya, berusaha meredakan tawanya.
“Nanti bareng gue aja. Tempatnya kan sebelahan sama BEM,” ajak Isa, begitu tawanya mereda.
***
“Yuri, yuk!” ajak Ningrum setelah kelas mereka selesai.
“Bentar, sama Isa juga kita ke sana.”
“Oh, oke.”
Ningrum keluar kelas lebih dulu bareng teman yang lain, dan menunggu di luar.
Saat Yuri, Isa, dan Widya keluar kelas, Pak Kenan kebetulan lewat. Mata Yuri dan dosennya itu langsung bertemu pandang. Widya buru-buru menyolek lengan Yuri.
“Pak...” sapa Yuri lirih, seperti mahasiswa lainnya yang serempak memberi jalan dan menyapa dosen itu.
“Iya. Permisi ya,” jawabnya sopan dan ramah. Tapi, pandangan mata itu, entah kenapa, terasa ada sesuatu bagi Yuri.
“Yuk, Sa, Ri,” ajak Ningrum, membuyarkan lamunan Yuri.
“Wid, duluan ya!” pamit Yuri sambil berlalu.
“Dah, Widya,” pamit Isa.
“Iya, Bye!”
Yuri berjalan menuju pelataran bersama Isa dan Ningrum. Gedung khusus organisasi dan himpunan jurusan ada di seberang gedung kuliah, di tengahnya ada saung besar yang biasa dipakai kumpul.
“Gimana persiapan Ospeknya, Sa?” tanya Ningrum basa-basi.
“Panitia udah beres sih. Pokoknya sebelum ujian dan libur semester kita kelarin semua. Hari ini kita sampai malam buat rapat finishing. Minggu depan udah mulai fokus ujian,” jawab Isa.
“Nggak capek apa lo, tiap hari balik malam?” tanya Yuri.
“Capek lah, tapi seru tahu!”
“Bener, Sa! Gue juga gitu. Meskipun cuma nulis artikel atau apalah di buletin dan nggak sesibuk anak BEM, tapi seru aja kalau sudah ngumpul. Coba deh, Ri, gabung apa gitu semester depan,” saran Ningrum, yang disetujui oleh Isa.
“Ah... nanti deh, gue pikir-pikir lagi,” jawab Yuri sekenanya.
***
“Udah kumpul semua nih?” tanya Bang Nara, si ketua redaksi.
“Udah, Ra. Oke, kenalan ya buat yang baru gabung hari ini. Lo dulu, Zra,” jawab Afika.
“Sore semua, gue Ezra” jawabnya cuek bebek.
“Sekarang lo, Ri,” bisik Ningrum di sebelahnya.
“Ehm... Selamat sore semua. Saya Yuri. Salam kenal,” kata Yuri sopan. Ia lebih banyak menunduk dari tadi, bukan apa-apa, Ezra duduk tepat di seberangnya dan terus memandanginya intens.
“Oke. Kalau gitu, semua sudah pada tahu kan ya, sama model kita selanjutnya. So, gue mohon kerja samanya. Sabtu nanti kita bakal foto di lapangan basket, tempat biasa Ezra main, sama di perpustakaan jurusan. Oke?” Semuanya mengangguk mengerti.
“Ah... iya! Buat outfit-nya, Ezra dan Yuri, tolong disesuaikan ya. Lo bawa kostum basket. Kalau di perpustakaan, pakai outfit kuliah aja. Nanti ada foto kalian tambahkan pakai almamater. Udah itu aja. Ada yang mau ditanyain?” jelas Afika panjang lebar.
“Kak, outfit kuliahnya mereka harus matching senada atau sewarna?” tanya anggota lainnya.
“Bagusnya gimana, guys?” Afika balik bertanya. Setiap buletin yang terbit, memang akan ada tema tersendiri.
“Kalau menurut gue, senada aja. Jangan buat sulit model” jawab yang lain.
“Gini deh. Yuri sama lo, Ez, pakai warna cerah aja. Buletin kita juga ini kan nanti dibaca Maba (Mahasiswa Baru), biar mereka dapat buletinnya senang, bukan malah seram sudah masuk jurusan ini.”
“Gue setuju!” jawab yang lain.
“Yuri sama Ezra. Gimana?” usul Afika, yang disambut anggukan tanda setuju.
“Oke, segitu saja dulu. Buat Yuri dan Ezra bisa pulang. Bukan maksud ngusir nih, tapi buat anak buletin kita masih lanjut bahas isi buletinnya.”
Ezra berdiri, bertos ria beberapa senior disana dan teman-temannya buat pamit. Yuri juga melakukan hal yang sama, dia pamit dengan sopan ke beberapa anggota di sana.
“Permisi, Kak. Pamit dulu.”
“Yoi, Yuri. Hati-hati ya baliknya!” goda salah satu senior cowok, yang langsung dapat sorakan dari yang lain.
***
Yuri berjalan dalam diam, di belakang Ezra. Suasana kampus sudah sepi, jarum jam menunjukkan pukul 18.00 WIB. Langit mulai gelap, beberapa lampu jalan sudah menyala. Sepanjang koridor, suasana sedikit mencekam. Gerimis mulai turun. Berasa lagi syuting film horor, batin Yuri.
“Ngeong~”
Seekor kucing tiba-tiba muncul dari balik semak, melompat tepat di depan kaki Yuri. Untung saja refleksnya bagus.
“Mama!” kaget Yuri, berhenti mendadak dan memejamkan mata.
Ezra yang jalan di depannya juga ikut berhenti dan menoleh ke belakang. Jelas terlihat rasa takut dan kaget di wajah Yuri. Ezra tersenyum tipis dan berjalan mendekat.
“Nggak papa, cuma kucing,” kata Ezra, menepuk lengan Yuri.
Yuri membuka matanya perlahan dan mengembuskan napas lega. “M-makasih, Bang,” jawabnya kikuk.
Ezra kembali berjalan, kali ini mereka berjalan bersisian. Yuri jelas merasa nggak nyaman. Pasca Ospek, belum pernah ada interaksi lagi di antara keduanya.
“Lo, balik naik apa?” tanya Ezra, memecah kesunyian.
“Bawa mobil, Bang,” jawab Yuri. Ia berjalan sambil menunduk, mengikuti langkah Ezra.
“Oh...” Jawaban Ezra membuat Yuri mengalihkan pandangannya dari lantai ke sosok di sampingnya ini—tinggi besar, seperti gapura.
“Abang naik apa?” tanya Yuri, memberanikan diri.
“Jalan. Tadi pagi bareng temen berangkatnya", Yuri hanya mengangguk tanda mengerti.
“Mau bareng nggak, Bang?” Entah muncul keberanian dari mana, tiba-tiba Yuri bertanya begitu. Padahal sedari tadi dia takut setengah mati.
“Nggak usah. Gue bisa jalan.”
“Tapi hujan, Bang.” Ya, gerimis sudah berubah menjadi rintik hujan yang cukup deras.
“Abang bisa nyetir?” tanya Yuri lagi.
“Bisa.”
“Nih, Abang yang nyetir.” Yuri menyodorkan kunci mobilnya ke arah Ezra, yang langsung diterima.
Sesampainya di parkiran gedung kelas, hanya ada mobil milik Yuri terparkir sendirian di pojok. Keduanya buru-buru masuk ke dalam mobil, setelah menerobos hujan.
“Fiuh...” ucap Yuri, tangannya sibuk mengibas tetesan air di lengan baju.
“Basah banget nggak?” tanya Ezra, melihat Yuri yang duduk di sebelahnya dengan kemeja putih yang sedikit menerawang. Ezra sendiri memakai hoodie abu-abu, untuk menutupi polo shirt putihnya.
“Ah... nggak papa, Bang,” jawab Yuri sambil sibuk menguncir rambutnya asal.
Tiba-tiba Ezra mendekatkan dirinya ke arah Yuri, dan Yuri jelas kaget. Matanya melotot, napasnya tercekat, dengan tangan yang perlahan turun dari selesai menguncir rambut.
“Pasang seatbelt-nya,” kata Ezra, sambil menarik dan memasangkan.
Harum parfum Ezra tercium jelas oleh hidung Yuri, mendadak detakan jantungnya bergerak lebih cepat.
“Sudah.”
Yuri masih membeku, dengan gerakan lambat menoleh ke arah Ezra yang sibuk memasang seatbelt-nya sendiri.