Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Racun di Balik Kotak Gaharu
Gambaran kotak kayu gaharu berukir yang tersimpan di balik jubah Sayyid Zahir membeku di benak Yasmeen. Kotak itu adalah tempat Jaddīnya menyimpan racun dosis kecil yang tidak terdeteksi.
Keringat dingin membasahi telapak tangan Yasmeen. Racun. Dia telah memperketat keamanannya, tapi Zahir sudah selangkah lebih maju, mencuri alat yang sangat spesifik dan berbahaya, senjata warisan keluarganya sendiri.
Di kehidupan lalu, Yasmeen yakin Zahir tidak pernah berani menggunakan racun mematikan, dia terlalu pengecut. Namun, Zahir pasti belajar bahwa melukai lebih baik daripada membunuh. Membuat pewaris sakit-sakitan, lemah, dan terlihat tidak kompeten jauh lebih efektif daripada langsung menjadi pembunuh yang ketahuan.
Tidak. Aku tidak akan memberinya kesempatan itu.
Kepalanya berdenyut karena memikirkan strategi tercepat. Dia tidak bisa langsung menyerbu kamar Zahir; dia tidak punya bukti kuat. Dia juga tidak bisa mengabaikan ini sampai Tariq kembali.
Penyelamatnya adalah pihak ketiga yang terhormat dan loyal. Orang yang, demi menjaga integritas istana Nayyirah, akan menentang Zahir tanpa harus mempertaruhkan nyawanya.
“Umm Shalimah,” panggil Yasmeen, suaranya kembali datar dan terukur. “Segera panggil Dr. Hafiz. Jangan biarkan siapa pun melihatmu. Katakan ini urusan kesehatan darurat, urusan Emirat.”
Dokter istana, Dr. Hafiz, adalah seorang pria paruh baya yang tenang, wajahnya dicetak oleh kebijaksanaan dan kekhawatiran yang samar.
Di masa lalu, Hafiz adalah salah satu dari sedikit orang yang bersikeras menyelidiki kelemahan Ibunya, Sayyidah Ameera, sebelum Zahir membungkamnya. Ia adalah pria terhormat, dan reputasinya di kalangan kabilah sangat tinggi.
Lima belas menit kemudian, Hafiz memasuki kamar pribadi Yasmeen. Dia tampak cemas. Umm Shalimah menutup pintu di belakangnya dengan kehati-hatian yang berlebihan.
“Yang Mulia Sayyidah,” sapa Hafiz, membungkuk. “Umm Shalimah mengatakan ini urusan mendesak?”
Yasmeen berdiri di tengah ruangan, menyilangkan tangan kecilnya di depan gaun beludru. Dia harus terlihat seperti anak yang menderita ketakutan batin, tetapi dengan pemahaman yang menakutkan tentang politik.
“Duduklah, Dokter,” kata Yasmeen, menunjuk sofa di hadapannya. “Saya mengalami mimpi yang buruk tadi malam. M itu terasa sangat nyata, dan saya harus bertanya pada orang yang paling saya percayai tentang ramuan dan obat-obatan.”
Hafiz duduk, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Mimpi buruk? Tentu, Sayyidah. Saya mendengarkan.”
“Ini tentang Jaddī,” Yasmeen memulai, melunakkan suaranya. “Saya bermimpi Jaddī sedang terbaring, dan dia meraih tanganku. Dia berbisik bahwa ada racun, racun yang tidak terlihat, yang berada di dalam istana, disimpan dalam kotak Gaharu yang sangat ia cintai.”
Yasmeen berhenti, membiarkan Hafiz memproses informasi. Dia tahu Hafiz tahu tentang kotak itu. Semua loyalis tahu betapa berharganya koleksi Jaddī.
Hafiz berdeham, mencoba mengembalikannya ke ranah medis yang aman. “Sayyidah, Jaddī memiliki beberapa obat pereda nyeri yang kuat, beberapa mungkin termasuk candu untuk sakit punggung kronisnya. Ramuan itu, meskipun legal, bisa disalahgunakan, tentu saja. Apakah Sayyidah khawatir dengan penanganan obat-obatan di ruang farmasi?”
Yasmeen mengangguk pelan. “Bukan sekadar khawatir, Dokter. Jaddī menekankan, berulang kali dalam mimpi itu, bahwa seseorang... seseorang ingin mencampurkan ramuan tersebut ke dalam makananku.”
Ia menyandarkan dirinya ke dinding. Matanya yang gelap memandang lurus ke mata Hafiz, memaksa sang Dokter melihat kebenaran di balik dongeng anak kecil ini.
“Ramuan yang dicuri, Hafiz. Ramuan yang Jaddī anggap sebagai aib, namun tetap ia simpan. Saya telah memerintahkan Umm Shalimah untuk menangani makanan saya, tetapi saya tidak bisa menjaga seluruh gudang farmasi. Itu adalah tanggung jawab Anda.”
Hafiz terlihat sangat tidak nyaman. “Sayyidah, saya menghormati Jaddī Anda, tetapi memindahkan atau mengunci koleksi mendiang Emir memerlukan izin formal. Itu akan dianggap menentang otoritas Sayyid Zahir, yang saat ini menjadi kepala rumah tangga.”
Inilah inti dari konflik: loyalitas pada Emirah versus kepatuhan pada Sayyid Zahir, suami dari mendiang Emirah, yang memiliki otoritas sosial yang lebih besar saat ini.
“Dokter Hafiz, bagaimana jika, rumor tersebar di Kota Agung bahwa Emirah Nayyirah, pewaris satu-satunya dari Emir Nayyirah, tiba-tiba jatuh sakit? Sakit yang berkepanjangan dan melemahkan?” Yasmeen menekan, nadanya berubah menjadi sangat dingin dan kalkulatif. Siapa yang akan dipersalahkan? Anda?
Hafiz terdiam. Wajahnya mulai kehilangan warna.
“Kesehatan saya bukan hanya masalah pribadi, Dokter,” lanjut Yasmeen. Ia bergerak maju, kini bertindak sebagai penguasa yang memberikan perintah. “Ini adalah masa depan Emirat. Jika saya terlihat rapuh, jika saya terlihat tidak layak, Kota Agung akan mengambil kesempatan. Mereka akan mengatakan saya tidak cukup kuat untuk memerintah Nayyirah, dan mereka akan mencaplok kekuasaan Emir Nayyirah.
Yasmeen menyadari dia berhasil menggeser argumennya. Ini bukan lagi tentang ‘racun di piringku,’ tapi ‘jika saya sakit, Nayyirah jatuh.’
“Sayyid Zahir,” Hafiz berbisik, keraguannya berubah menjadi ketakutan, “Beliau tidak akan...
“Zahir menginginkan kekayaan, bukan Emirat,” potong Yasmeen dengan tajam. “Dia tidak keberatan menjualnya kepada siapa pun yang bersedia membayarnya, asalkan saya pergi dan Zain, putranya, diuntungkan. Dan cara terbaik agar saya pergi tanpa memicu perang saudara adalah jika saya... sakit. Selama sisa hidupku.”
Hafiz menutup matanya sejenak. Ia melihat tekad yang menakutkan di mata gadis sepuluh tahun itu, sebuah kebijaksanaan yang terlalu berat untuk usia semuda itu. Ia mengingat betapa cepatnya kekuasaan istana berubah setelah kematian Emir.
“Apa yang Anda ingin saya lakukan, Sayyidah?” tanya Hafiz, keputusannya telah dibuat. Loyalitas kepada mendiang Emir dan kelangsungan dinasti lebih penting daripada sopan santun kepada seorang menantu yang ambisius.
“Saya tidak ingin Anda menyelidiki Ayahanda saya. Itu bukan tugas Anda,” kata Yasmeen. “Saya hanya ingin Anda mengamankan Ruang Farmasi. Ambil semua ramuan yang memiliki kemungkinan menjadi candu atau racun dosis kecil yang pernah Jaddī gunakan, yang ia simpan dalam kotak Gaharu berukir itu. Bawa semuanya ke ruangan rahasia di kediaman Umm Shalimah. Setelah semua diamankan, catat inventarisnya secara detail. Kita tidak akan membiarkan ada satu pun item berbahaya yang jatuh ke tangan yang salah.”
“Ini... Ini berisiko. Jika Sayyid Zahir melihat saya mengambil kotak itu…”
“Tutup Ruang Farmasi itu atas nama protokol kebersihan baru, karena wabah musiman,” instruksi Yasmeen mengalir dengan kecepatan yang mengejutkan. “Dan jika Abī bertanya, katakan itu perintah dari Jaddī, yang meminta agar barang-barang tertentu disegel setelah kematiannya untuk alasan spiritual. Anda, Dokter, hanyalah pelaksana amanah almarhum.”
Hafiz menghela napas. Manuver ini cukup berani, tetapi ia memberinya celah untuk menjalankan tugas tanpa melanggar sumpah jabatannya secara total.
“Saya akan segera melakukannya, Sayyidah,” janji Hafiz, berdiri tegak. “Saya akan melaporkan kembali kepada Anda sebelum fajar.”
Yasmeen mengangguk, melepaskan ketegangan yang selama ini ia pegang. Ini adalah langkah terbaik. Jika Zahir merencanakan tindakan pada malam ini, senjata utamanya akan hilang.
---
Malam pun datang dan menyelimuti istana Nayyirah dalam selubung beludru hitam, dihiasi ribuan bintang gurun yang bersinar tajam. Yasmeen, yang sedang beristirahat di kamarnya ditemani Umm Shalimah, mencoba menenangkan dirinya dengan membaca buku-buku catatan Jaddīnya tentang administrasi pajak, upaya untuk mengalihkan pikirannya dari racun yang berkeliaran di sekitarnya.
Jantungnya terus berdebar tak nyaman. Keheningan ini terasa menyesakkan. Sejak dia berhasil menekan Zahir di depan pelayan, dia tahu serangan balik pasti datang, hanya saja dia tidak tahu bentuknya.
“Sayyidah, biarkan saya menyisir rambut Anda,” bisik Umm Shalimah, mendekat. Kehadiran dayang tua yang tenang itu adalah satu-satunya jaminan keselamatan Yasmeen saat ini.
Tepat ketika Umm Shalimah meraih sisir perak, terdengar ketukan cemas di pintu luar.
“Biarkan dia masuk,” kata Yasmeen, merasakan lonjakan adrenalin.
Itu adalah Dr. Hafiz. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini dipenuhi keringat dan kecemasan yang mendalam. Ia membungkuk dengan tergesa-gesa.
“Bagaimana, Dokter?” tanya Yasmeen.
“Saya sudah ke Ruang Farmasi, Sayyidah. Saya berhasil mengamankannya. Saya sudah mencatat inventaris obat pereda nyeri candu. Namun...” Hafiz ragu, menelan ludah. “Namun, saya segera mencari Kotak Gaharu Berukir yang mulia maksud. Saya tahu persis letaknya, Sayyidah. Itu selalu ada di bawah papan lantai yang longgar di pojok timur.”
Jantung Yasmeen mencelos. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“Lalu?” desaknya.
“Kotak itu... sudah tidak ada, Sayyidah,” kata Hafiz, suaranya pelan dan putus asa. “Saya mencarinya dengan cermat. Saya yakin Kotak Gaharu yang berisi dosis kecil ramuan pengganggu sudah diambil. Ruang Farmasi kosong. Sayyid Zahir sudah mengambilnya sejak siang.”
Yasmeen mencondongkan tubuh ke depan, matanya memancarkan amarah yang bercampur rasa ngeri. Rencana pengamanan utamanya gagal.
Dia sudah menyentuhnya. Dia sudah memilikinya.
“Dokter Hafiz,” Yasmeen mulai, suaranya sangat rendah hingga hampir tak terdengar. “Apakah Anda yakin itu adalah kotak yang sama? Mungkin—”
Yasmeen terpotong. Bukan oleh kata-kata, tetapi oleh suara.
Suara itu menembus dinding tebal Sayap Timur, memotong keheningan malam istana dengan ketajaman yang menakutkan.
Itu adalah teriakan. Bukan teriakan kaget, tetapi lolongan putus asa dan kesakitan.
“YA ALLAH! RUQAYYAH! RUQAYYAH!”
Teriakan itu milik Mehra, istri Zahir, dan itu datang dari Sayap Barat—tempat tinggal Zahir dan keluarganya.
Sebelum Yasmeen bisa bereaksi, terdengar suara lain. Suara batuk, kering, keras, diikuti oleh lolongan yang lebih keras lagi dari Mehra.
“DARAH! ADA DARAH!”
Wajah Dr. Hafiz langsung pucat pasi, sama putihnya dengan linen di kamar itu. “Itu... itu Ruqayyah, putri kecil Sayyid Zahir. Saya harus segera ke sana!”
Hafiz berlari keluar dari kamar, panik. Yasmeen tetap berdiri kaku di tempatnya, menatap ke arah pintu Sayap Barat. Perutnya bergejolak karena kesadaran yang mengerikan.
Racun. Zahir sudah bertindak. Dia ingin membuat pewarisnya sakit. Tapi mengapa...
Ruqayyah, putri Mehra yang berusia tiga tahun, yang menangis kesakitan, terbatuk darah. Yasmeen menutup mata sejenak, memproses kebenaran yang kejam.
Kotak itu kosong. Zahir sudah menggunakan isinya.
Apakah Zahir, dalam kebutaan ambisinya, telah salah memberikan racunnya?